JAKARTA, BANGSAONLINE.com - Komisi Yudisial (KY) diminta jemput bola dan tak sekedar ‘mengamini’ permintaan Makhamah Agung (MA) dalam proses seleksi calon Hakim Agung. Diketahui, saat ini, KY kembali membuka seleksi Calon Hakim Agung untuk mendapatkan delapan orang Hakim Agung dengan formasi empat untuk Kamar Perdata, satu untuk Kamar Pidana, satu untuk Kamar Agama, satu untuk Kamar TUN, dan satu Kamar Militer.
Saat ini 86 orang telah lulus seleksi administrasi. Seleksi tersebut dilakukan apabila Mahkamah Agung (MA) menyampaikan daftar nama Hakim Agung yang akan habis masa jabatannya (pensiun) kepada KY dalam jangka waktu enam bulan.
Peneliti Pusat Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Miko Susanto Ginting menilai, selama ini seleksi dilakukan terkesan cuma prosedural belaka.
"Selama ini indikator untuk melakukan seleksi masih terjebak dalam aspek prosedural saja. KY hanya menunggu permintaan MA untuk proses seleksi dengan hasilnya nanti berujung ke dilantik di DPR, hanya seperti itu saja," kata Mico di Gedung LBHI, Jakarta Pusat, Minggu (27/3) dikutip dari merdeka.com.
Mico memaparkan, pengaturan ini menunjukkan bahwa undang-undang hanya mengatur pengisian jabatan untuk hakim yang akan pensiun, tetapi tidak mengatur untuk pengisian dengan alasan Hakim Agung meninggal dunia atau kebutuhan MA terkait penerapan sistem kamar.
"Seharusnya dalam hal ini KY lebih aktif lagi. KY bukan hanya sebagai penyelenggara dan menyeleksi di tempat saja, tapi juga harus mengecek mengejar bola. KY ini memiliki wewenang dan tugas dalam rekruitmen Hakim Agung," ujarnya.
"KY harus punya database dan sosok apa yang dibutuhkan, jadi KY tak hanya pasif menerima lamaran, tapi juga menjemput bola dan mencari calon Hakim Agung yang profesional," bebernya.
Peran aktif yang dimaksud adalah ikut meneliti dan membuat rekomendasi kebutuhan hakim agung di Mahkamah Agung (MA). KY diharapkan tidak hanya 'mengamini' permintaan MA soal kebutuhan hakim agung, tanpa bisa mengklarifikasi dan meneliti kebutuhan MA sesungguhnya.
"Kami tidak mau KY seperti kotak surat yang hanya menerima surat dari MA, melakukan seleksi lalu dibawa ke DPR. Yang kami mau, KY lebih aktif dalam melakukan penjaringan ke hakim-hakim potensial di daerah," tandas Miko.
Selama ini MA hanya mengajukan permintaan seleksi hakim agung ke KY berdasarkan hakim agung yang pensiun dan meninggal dunia. Tetapi menafikan kebutuhan hakim agung di masing-masing kamar. Sehingga kerap terjadi kegemukan di satu kamar, tetapi di kamar lain kekurangan hakim agung.
Berdasarkan catatan Koalisi Pemantau Peradilan, berikut beban perkara yang ada di MA di tahun 2015: Kamar Perdata, terdapat 15 hakim agung, dengan beban 7.756 perkara dan diputus 5.835 perkara. Untuk Kamar Pidana, terdapat 16 hakim agung, dengan beban 6.559 dan diputus 5.032 perkara. Sedangkan Kamar Agama, terdapat 7 hakim agung, dengan beban 980 perkara dan diputus 979 perkara. Untuk Kamar Militer, terdapat 4 hakim agung, dengan beban 387 perkara dan diputus 299 perkara. Sementara, Kamar Tata Usaha Negara, terdapat 7 hakim agung, dengan beban 2.720 perkara dan diputus 2.307 perkara.
Dari data di atas, KY lalu merumuskan kebutuhan hakim agung dan tidak langsung mengamini surat permohonan MA. "Kami menyarankan KY melakukan chek and balances dan diskusi dengan MA, di mana KY harus cek berapa hakim agung yang dibutuhkan," imbuh peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), Liza Farihah di tempat yang sama, seperti dikutip dari detik.com.
Di sisi lain, PSHK juga menyayangkan adanya calon Hakim Agung, yang memiliki rekam jejak bermasalah atau berstabilo merah, namun lolos dalam seleksi.
"Selama ini kami masih melihat beberapa calon bermasalah yang ternyata lolos seleksi, baik bermasalah secara kompetensi maupun kredibilitas," kata Miko di Gedung LBHI, Jakarta Pusat, Minggu (27/3).
Meski enggan menjelaskan siapa-siapa saja nama yang bermasalah yang dimaksud, Miko memaparkan di antara yang lolos seleksi tersebut adanya advokat, LSM dan beberapa nama yang pihaknya sudah 'stabilo merah' dan dipantau pergerakannya.
"Ada beberapa calon yang latar belakang advokat, misalnya dia pernah membela tersangka tipikor. Latar belakang sebenarnya enggak masalah, tapi yang jadi masalah kalau dikaitkan dengan kompetensi, kredibilitas dan integritas. Misal dia advokat, apakah dia pernah bela terdakwa korupsi? Kalau dia pernah bela terdakwa itu jadi catatan sendiri, terutama kalo konteks dia melamar di kamar pidana," ujarnya.
"Kita harus pikirkan ketika nantinya dia jadi Hakim Agung, seberapa jauh dia mutus hubungan dengan klien atau mantan kliennya. Soalnya konflik kepentingan juga. Namun jika dia memenuhi syarat yang ada dan ketentuan yang berpaku, tak ada masalah," tutupnya. (mer/dtc/okz/sta)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News