Pada tahun 80-90an, di Jawa ada semacam ritual atau kebiasaan unik setiap keluarga di meja makan. Sang Ayah -sebagai pemimpin keluarga- akan membagi sebutir telur sesuai jumlah keluarganya. Jika terdapat empat anggota keluarga, maka sebutir telur tersebut akan dipotong sama rata menjadi empat bagian. Falsafah dalam telur ini ternyata mampu membentuk nilai karakter, empati, dan kebersamaan terutama pada anak. Bahkan kehidupan bermewah-mewah dianggap aneh dan tidak wajar bagi keluarga pada era tersebut.
Dari tahap telur, sang anak akan menapaki tingkat selanjutnya. Mereka harus telaten makan bagian-bagian ayam sesuai dengan usianya. Ketika berusia 1-6 tahun, anak-anak hanya diperbolehkan makan ceker ayam, yang bertujuan melatih mandiri dan membantu proses berjalan. Di usia 7-12 tahun, anak-anak mulai memakan sayap ayam, dengan asumsi siap terbang (terjun di tengah masyarakat). Setelah itu, anak-anak sudah dipersilahkan untuk memakan bagian-bagian ayam yang dinginkan: kepala, paha, atau brutu sekalipun. Bisa disimpulkan, orangtua telah menanamkan sebuah nilai moral bagi anaknya sebelum terjun ke lingkungan sekolah dan masyarakat. Dan yang terpenting, ilmu dalam telur atau ceker dan sayap ayam akan melekat dan terbawa sampai kapan pun.
Baca Juga: Esensi Kemerdekaanku dan Kemerdekaanmu
Namun, kenapa di era milenium sekarang ini, saat model pendidikan lebih maju dan berkembang, output yang dihasilkan malah "terbelakang" bahkan bobrok? Jawabannya adalah modernitas yang tak diimbangi dengan ilmu pendidikan moral. Ritual telur dan berdoa bersama sebelum makan telah diganti dengan kekhusyukan pada gadget di samping piring.
Dampak kondisi tersebut mulai menjalar ke lingkungan sekolah. Kita tidak lagi menemukan pola pembelajaran yang membuat murid nyaman di kelas, seperti Patrap Triloka melalui Tut Wuri Handayani yang menjadi prinsip dasar Sekolah Taman Siswa. Dalam hal ini apakah guru dapat dikatakan gagal? Tidak. Maksudnya tidak sepenuhnya gagal. Guru gagal dalam hal ketidakmampuannya membangun atmosfer kelas yang asyik dan membuat semua murid betah. Dan semakin diperparah dengan sikap cuek murid terhadap gurunya.
Kasus akhir-akhir ini, menjadi bukti nyata bahwa ada yang bergeser di lingkungan keluarga, masyarakat, dan sekolah. Mulai dari Yuyun hingga seorang siswi SMP berusia 13 tahun dicabuli 14 bocah di bawah umur yang masih duduk di bangku SD dan SMP di Surabaya. Bahkan siswi tersebut telah melakukan hubungan intim sejak usia 4 tahun. Itulah yang terjadi apabila orangtua atau keluarga gagal memberi pendidikan awal dan berada satu langkah di belakang anaknya. Seyogianya orangtua harus berada di samping anaknya, menggandeng tangannya, melangkah bersama -bukan menyeret- lalu memberi informasi atau saran saat sang anak hendak berbelok ke jalan yang diinginkannya.
Baca Juga: Kasus Enno dan Yuyun, Pelajaran Bagi Para Orang Tua
Habitat Ilmu
Di dalam buku Panggil Aku Kartini Saja karya Pramoedya Ananta Toer, dituliskan Kartini memperoleh ilmu dari buku-buku yang diberikan oleh Sosroningrat, sang ayah. Kartini bahkan mampu berbahasa Inggris dan Belanda dari buku-buku atau majalah yang beliau pelajari di rumah, bukan di sekolah.
Selaras dengan Kartini, Butet Manurung, seorang aktivis lingkungan juga membagi ilmunya kepada anak-anak rimba di Hutan Bukit Duabelas, Jambi. Kisah itu terangkum manis dan getir dalam bukunya Sokola Rimba. Bahkan sebuah band rock asal Inggris, Pink Floyd, dalam lagunya yang berjudul Another Brick In The Wall, menyamakan konsep pendidikan di sekolah seperti sebuah pabrik roti. Dalam video klip yang berdurasi 6 menit tersebut, tampak murid-murid berseragam sekolah mengenakan topeng berjalan beriringan menyusuri lorong-lorong, kemudin jatuh satu persatu dalam mesin penggiling dan keluar menjelma roti yang bentuknya sama.
Baca Juga: Penyakit Itu Bernama Trauma
Meminjam kutipan dari Walter Bonatti yang berbunyi, Aku percaya bahwa gunung dengan segala keindahannya serta hukum-hukumnya merupakan sekolah terbaik bagi manusia. Ya, ilmu tidak hanya menetap dalam sebuah ruangan yang disebut sekolah atau lembaga pendidikan lain. Mereka tersebar, beterbangan, dan hinggap dari mana saja. Bahkan sebuah tong kosong nyaring bunyinya juga mengandung ilmu: bahwa orang yang banyak bicara biasanya bodoh.
Ilmu tidak hanya bersumber dari guru, dosen, atau staf pengajar berseragam formal. Tukang tambal ban, pengasong koran pinggir jalan, satu butir telur dalam meja makan, atau kuli panggul Pasar Keputran juga berilmu. Mereka (ilmu) tidak memilih subjeknya. Ilmu berkubang di mana-mana sesuai kapasitas dan kemampuannya masing-masing lalu masuk dan meresap bagi mereka yang menengadahkan gelasnya ke atas.
Sebelum mengakhiri opini, mari kita ucapkan belasungkawa atas meninggalnya Siti Rahmani Rauf, perempuan asal Sumatera Barat yang memperkenalkan metode baca 'Ini Budi'. Beliau meninggal pada usia 97 tahun akibat diabetes.
Selamat jalan 'Ibu Budi', semoga tenang di sisi Yang Maha Kuasa.
Oleh: Aulia Rachman, Mahasiswa aktif di UIN Sunan Ampel Surabaya, Fakultas Ushuluddin
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News