Oleh: Dr. KHA Musta'in Syafi'ie MAg. . .
BANGSAONLINE.com - "Inna allaaha ya'muru bial’adli waal-ihsaani wa-iitaa-i dzii alqurbaa wayanhaa ‘ani alfahsyaa-i waalmunkari waalbaghyi ya’izhukum la’allakum tadzakkaruuna".
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty
"Wa 'ita dzi al-qurba". Sudah dijelaskan, bahwa ada tiga perintah pada ayat studi ini (90), yaitu : berbuat adil, ihsan dan menyantuni keluarga dekat. Kata ihsan yang konotasinya sebagai amal sosial sangat mendukung orientasi makna "ita dzil qurba", sehingga berfokus pada pemberian bantuan secara materiel, tidak sekedar berbaik-baik laku dan tindak tanduk saja.
Orang yang menjadi budak itu terpental dari struktur keluarga, sehingga dalam beberapa hal lebih dekat kepada sayid atau majikannya daripada kepada keluarga sendiri. Seperti layanan, dia lebih wajib melayani majikan ketimbang orang tuanya. Hal itu karena dirinya tidak memiliki dirinya. Dirinya bagai barang yang dimiliki orang. Barang tidak punya hak atas diri sendiri. Tapi budak juga orang, maka majikan tertinggi adalah Tuhan. Memang harus melayani majikan, asal tidak menyalahi Tuhan.
Itulah sebabnya, maka bagi al-Syafi'iy, "mukatabah" itu hukumnya wajib atas si sayid. Mukatabah adalah permohonan budak mengajukan upaya memerdekakan diri dengan cara membayar angsuran atau kredit hingga lunas. Umat islam wajib membantu proses ini seperti distribusi zakat diberikan kepadanya. Bagi al-Syafi'iy, dengan mukatabah dan berhasil merdeka, maka hubungan dengan keluarga nasabnya pulih kembali. Dengan demikian, mukatabah termasuk bagian dari perintah "ita dzil qurba".
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia
Tapi sifat manusia acap kali diliputi oleh kikir dan gengsi, sehingga merasa lebih bergengsi bergabung dengan orang-orang besar dan berstatus sosial tinggi. Kita sering menjumpai orang yang luekoh banget, bangga banget membicarakan kedekatan dirinya dengan orang-orang besar tertentu, pejabat, ulama, gus, pengusaha dan sebagainya.
Ada sebagian orang yang dengan bangga memberitahu kesuksesan keluarganya. Kapolda itu paman saya, menteri Anu itu misanannya istri saya. Jadi kalau ke rumah, saya panggil dia "dik" (adik). Tapi diam, menutup diri dan enggan diajak bicara soal keluarganya yang miskin. Bagaimana mengentasnya, bagaimana anak-anaknya bisa melanjutkan sekolah dsb.
Orang macam begini biasanya serius bersilaturrahim kepada keluarga yang sukses atau setara, tapi enggan bersilaturrahim kepada sanak famili yang miskin. Mungkin takut disambati, takut diutangi dan lain-lain. Saat hati demikian, berarti keimanan sedang berkurang. Menyantuni keluarga dekat memang merugikan secara ekonomi dan begitulah pandangan orang tidak beriman. Sedangkan bagi orang yang beriman sebaliknya, dia yakin Tuhan pasti memberkahi.
Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana
Silaturrahim adalah nyambung sanak. Kata rahim (rahim wanita, tempat janin) sengaja dipilih Tuhan dalam urusan ini karena identik dengan sifat-Nya yang mahakasih, Rahman dan Rahim. Jadi, silaturrahim sama halnya dengan melakukan kerja ketuhananan. Siapa bersilatur rahim, maka Tuhan yang Maha Rahim akan merahmati.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News