Tax Amnesty Masih Sisakan Problem Keadilan

Tax Amnesty Masih Sisakan Problem Keadilan Dr. Sarwirini SH., MS. Selaku Moderator, bersama Prof. Tjiptohadi Sawarjuwono, M.Ec., Ph.D., Prof. Kacung Maridjan, Ph.D., Prof. Dr. Tatiek Sri Djatmiati, SH., MS., dalam acara Gelar Inovasi Guru Besar Sesi II, Di Aula Kahuripan Kampus C UNAIR.

SURABAYA, BANGSAONLINE.com - Hingga saat ini, (pengampunan pajak) masih menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat Indonesia. Kendati demikian, yang ketiga kali dalam sejarah Indonesia (setelah tahun 1964, 1984) ini bisa dibilang lumayan sukses.

Pernyataan tersebut diungkapkan oleh Guru Besar Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Airlangga, Prof. Tjiptohadi Sawarjuwono, M.Ec., Ph.D dalam Gelar Inovasi Guru Besar Seri II bertajuk “Tax Amnesty : Antara Harapan dan Kenyataan”, di Ruang Kahuripan 300, Gedung Manajemen, pada Selasa (27/9).

Baca Juga: Amnesti Pajak, DJP Jatim II Peroleh Uang Tebusan Rp 1,6 Triliun

Prof. Tjipto masih menyayangkan sedikitnya jumlah wajib pajak yang terdaftar. Nyatanya, jumlah wajib pajak yang terdaftar hanya berkisar 18 juta. “Kalau dilihat dari jumlah penduduk Indonesia, atau jumlah seluruh pebisnis Indonesia, 18 juta itu sedikit sekali,” tandasnya.

Prof. Tjipto menganggap, salah satu faktor diadakannya program amnesti pajak ini didasari atas banyaknya orang atau badan bisnis yang tidak taat pajak. “Ibaratnya orang berpikiran, lha wong saya sudah bekerja keras kok, ngapain harus bayar,” jelasnya.

Dalam talkshow tersebut, hadir pula Guru Besar Ekonomi Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UNAIR Prof. Kacung Maridjan, Ph.D, mengatakan, kemampuan pemerintah untuk melakukan penarikan pajak mengalami penurunan. Sehingga, program ini diharapkan bisa menjadi stimulator bagi pertumbuhan ekonomi. Menurut Prof. Kacung, bila defisit mencapai maksimal tiga persen dari produk domestik bruto, maka presiden bisa berpotensi dimakzulkan.

Baca Juga: Didatangi Sri Mulyani, Sikap Muhammadiyah Berubah, Batal Gugat UU Tax Amnesty

“Bila defisit itu mencapai tiga persen dari PDB, politik akan gaduh karena presiden melanggar undang-undang. Presiden bisa dimakzulkan, meski sekarang parpol (partai politik) dukungannya mengarah ke presiden,” terang Prof. Kacung.

Menurut Prof. Kacung, kebijakan amnesti pajak memang dirasa tidak mempertimbangkan asas keadilan. Karena negara memberikan ampunan bagi warga negara yang tidak melaporkan dan membayar pajaknya sesuai ketentuan yang berlaku. Namun, justru itulah kebijakan amnesti pajak dirasa tepat dilaksanakan agar penerimaan keuangan negara tercapai.

“Iya, ini memang tidak adil. Artinya, orang yang nakal sama yang tidak menjadi sama kedudukannya. Hanya saja, akan lebih tidak adil lagi apabila negara secara terus menerus membiarkan orang yang mengemplang. Saya kira negara ini mengambil suatu posisi, kalau dilanjutkan terus, maka lebih tidak adil. Makanya harus ada kebijakan untuk memangkas pengemplang pajak. Akhirnya, ya sudah diampuni kan diskresi,” tutur Prof. Kacung.

Baca Juga: Haram, Presiden Panggil Hakim MK

Hadir pula Guru Besar Hukum Administrasi Fakultas Hukum UNAIR Prof. Dr. Tatiek Sri Djatmiati, SH., MS. Dalam paparannya Prof. Tatiek menyampaikan bahwa kebijakan amnesti pajak bukan berarti tak menyisakan problem yuridis. Pasalnya, kondisi di lapangan masih ada pro kontra yang berkaitan dengan pemahaman asas keadilan.

Menurut Prof. Tatiek, hal tersebut terjadi karena adanya pemahaman yang belum sesuai antara internal Dirjen Pajak dengan pemahaman amnesti pajak yang dipahami oleh masyarakat pada umumnya.

“Dalam Pasal 2 UU No 11 Tahun 2016 disebutkan tentang asas dan tujuan TA, yaitu pengampunan pajak dilaksanakan atas asas kepastian hukum, keadilan, kemanfaatan, dan kepentingan nasional,” ungkapnya.

Baca Juga: Tidak Ada Dana Masuk dari LN dalam Program Tax Amnesty, Pemerintah Dinilai tidak Jujur

Terkait penegakan hukum dalam konteks hukum administrasi, Prof. Tatiek menyebut ada dua unsur yang melandasi, yaitu pengawasan dan pemberian sanksi. “Pejabat yang memiliki wewenang harus melakukan pengawasan dalam pelaksanaan pengampunan pajak, oleh karena dari instrumen pengawasan ini, sanksi berupa administrasi baru dapat diterapkan apabila terdapat pelanggaran,” jelasnya.

Prof. Tatiek mengimbau, agar pemerintah selaku pengelola pajak dan masyarakat Indonesia harus saling percaya. Agar reformasi sistem perpajakan tersebut dapat berjalan untuk Indonesia yang lebih baik.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO