JAKARTA, BANGSAONLINE.com - Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla (JK) menyadari bahwa penerapan tax amnesty atau pengampunan pajak tidak melulu berjalan lancar. Diakuinya bahwa ada masalah dalam pelaksanaan program yang dimaksudkan untuk meningkatkan pemasukan negara dari sektor pajak tersebut.
Ketika memberi kuliah umum kepada jajaran Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) di Istana Wapres, Jakarta, Selasa (30/8) kemarin, JK sempat menyinggung bahwa ada masalah dalam pelaksanaan program pengampunan pajak. Tetapi, tidak dijabarkan masalah yang dimaksud.
Baca Juga: Amnesti Pajak, DJP Jatim II Peroleh Uang Tebusan Rp 1,6 Triliun
Usai membuka Indonesia ICT (Information Communication and Technology) tahun 2016, JK mengatakan bahwa masalah terkait tax amnesty adalah masalah sosialisasi. Tetapi, tidak dijelaskan lebih detil lagi, masalah apa yang timbul dari sosialisasi tersebut.
"Sosialisasi tentu harus lebih jelas. Tentu yang paling penting bagaimana pengusaha-pengusaha besar yang mempunyai aset besar itu turut serta. Jadi sekali lagi ini kan adalah suatu kebaikan hati pemerintah mengampuni para pengusaha atau masyarakatnya yang sebelumnya tidak bayar pajak. Jadi ini pengampunan dosa. Tentu kalau tidak dipakai ya silakan tapi akibatnya di kemudian hari besar," kata JK di Jakarta International Expo, Kemayoran, Jakarta, Rabu (31/8).
Untuk diketahui, sejak disahkannya Undang-Undang (UU) No 11 tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, Juli lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memaparkan hingga awal Agustus sudah terdaftar Rp 9,27 triliun harta yang dideklarasikan dalam program tax amnesty dengan nilai tebusan sebesar Rp 193 miliar.
Baca Juga: Tax Amnesty Masih Sisakan Problem Keadilan
Penerimaan sebesar Rp 193 miliar tersebut dinilai masih jauh dari target pemerintah sebesar Rp 165 triliun pemasukan dari kebijakan pengampunan pajak.
Ditambah lagi, UU Pengampunan Pajak ini sedang diuji ulang (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh Yayasan Satu Keadilan. Sebab, dianggap upaya melindungi para pengusaha pengemplang pajak. Mengingat, dalam Pasal 20 UU No 11 Tahun 2016 disebutkan bahwa data atau informasi yang terungkap tidak dapat dijadikan sebagai dasar atau bukti permulaan penyelidikan, penyidikan, atau penuntutan pidana terhadap Wajib Pajak (WP) atas tindak pidana perpajakan atau tindak pidana lainnya.
Padahal, Bank Indonesia (BI) sendiri mengungkapkan bahwa data pengampunan pajak berasal dari traksaksi ilegal. Langkah Yayasan Satu Keadilan tersebut diikuti oleh PP Muhammadiyah yang berencana akan mengajukan judicial review ke MK terhadap UU yang sama.
Baca Juga: Didatangi Sri Mulyani, Sikap Muhammadiyah Berubah, Batal Gugat UU Tax Amnesty
Sementara itu, Dewan Pertimbangan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Sofjan Wanandi mengatakan, para pengusaha tidak pernah menjanjikan besaran angka tambahan untuk APBN sebesar Rp 165 triliun.
"Pengusaha-pengusaha tidak pernah janjikan akan tercapainya angka sebesar Rp 165 triliun, sebab saya hanya diminta estimate dulu, kita akan capai estimate Rp 60-Rp 80 triliun," kata Sofyan di Gedung Permata Kuningan, Jakarta, Rabu (31/8).
Sofyan pesimis dengan target pemerintah yang dipatok sangat tinggi. Dalam hitungan Sofjan, jika uang tebusan mencapai Rp 165 triliun maka uang yang harus masuk ke Indonesia harus mencapai Rp 8.000 triliun.
Baca Juga: Haram, Presiden Panggil Hakim MK
"Untuk capai Rp 165 triliun itu tidak mungkin. Mana punya kita uang sebanyak itu di luar, tapi kita usahakan bantu," ungkap Sofyan.
"Saya tidak percaya target ini akan tercapai," imbuh Sofyan.
Di sisi lain, tax amnesty yang semula mengarah pada warga negara Indonesia (WNI) Wajib Pajak (WP) pengusaha, konglomerat, dan eksportir yang memarkir dananya di luar negeri, kini mulai mengarah ke WP dalam negeri mendapat sorotan tajam berbagai kalangan.
Baca Juga: Tidak Ada Dana Masuk dari LN dalam Program Tax Amnesty, Pemerintah Dinilai tidak Jujur
Nilai tebusan yang disamaratakan sebesar 2 persen untuk repatriasi sampai dengan 30 September 2016 bagi WP dalam dan luar negeri dianggap mencerminkan nilai ketidakadilan.
Bagi para WP luar negeri, nilai 2 persen adalah kecil. Namun bagi WP dalam negeri, walaupun jumlah tebusannya kecil, tetapi kontribusi mereka untuk menggerakkan perekonomian nasional lebih signifikan ketimbang WP luar negeri yang kebanyakan lari ke instrumen pasar uang. Ditambah, ada tekanan kepada WP dalam negeri yang akan dikenakan denda 200 persen jika tidak melaporkan keseluruhan asetnya.
"Ini adalah bentuk pemaksaan kepada rakyat guna menutupi bobroknya sistem pengelolaan keuangan negara," kata Presiden Konfrederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, Rabu (31/8).
Baca Juga: Tax Amnesty Meneror Rakyat Kecil, Mahfud MD: Rakyat Jangan Dikejar-kejar
Menurut KSPI, satu-satunya jalan bagi negara untuk meningkatkan penerimaan pajak adalah menegakkan aturan, bukan tax amnesty.
"Pajak adalah bersifat memaksa, dan pengampunan pajak justru memperlihatkan ketertundukan negara di hadapan pengemplang pajak," lanjut Iqbal.
KSPI mengajak seluruh rakyat tegas menolak UU Pengampunan Pajak tersebut dengan beberapa poin alasan. Pertama, UU Pengampunan Pajak bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 23 dan 23 A yang menyatakan bahwa pajak dan pungutan lain adalah bersifat memaksa.
Baca Juga: Jokowi Dianggap Tak Mampu dan Cekik Rakyat Kecil Lewat Tax Amnesty
Alasan selanjutnya, selama ini KSPI mengklaim bahwa kaum buruh sangat taat dalam hal pembayaran pajak melalui PPh 21. Demikian juga pengusaha mikro-kecil dan menengah yang selalu ditarik pajak. Secara umum, UU Pengampunan Pajak tidak adil bagi masyarakat Indonesia yang selalu patuh bayar pajak bumi dan bangunan, pajak kendaraan bermotor, dan pajak atas bunga bank.
"UU Pengampunan Pajak yang mengampuni pengusaha besar adalah bukti ketidakadilan pemerintah dalam memandang objek pajak," jelasnya. (mer/tic/kcm/lan)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News