Oleh: Dr. KHA Musta'in Syafi'ie MAg. . .
Yawma ta/tii kullu nafsin tujaadilu ‘an nafsihaa watuwaffaa kullu nafsin maa ‘amilat wahum laa yuzhlamuuna (111).
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty
Setelah membicarakan keimanan para sahabat terdahulu dengan segala risikonya, dari yang disiksa, yang susah payah berhijrah, bahkan yang durhaka dan bertobat, kini Tuhan membicarakan alam akhirat, alam pembalasan nanti. Di alam itu, semua umat manusia merasa salah dan kekurangan amal kebajikan. Mereka menyadari kebrutalan emosinya masa lalu, menyadari kesalahannya yang memburu nafsu dan menyadari keangkuhannya terhadap pesan agama demi kepentingan duniawi yang palsu.
Hari pengadilan itu pasti datang dan keadaan macam itu pasti terjadi. Semua kembali menyalahkan diri sendiri setelah bertengkar dan saling menyalahkan sesama yang ternyata tiada guna. Masing-masing akan mendapatkan balasan dan imbalan utuh dari apa yang pernah mereka perbuat, tanpa kurang barang sedikit. "Watuwaffaa kullu nafsin maa ‘amilat wahum laa yuzhlamuuna".
Semua umat manusia podo sambat, merintih dan meratapi diri: "nafsy, nafsy", duhai nasibku, nasibku begini malang, begini sengsara dan seterusnya. Kecuali diri Rasulullah SAW saja yang justru memberi syafaat kepada umatnya yang dikenal dan dikasihi. Jika mereka meratapi diri, nafsy, nafsy, tapi Nabi justru berucap: "ummaty, ummaty", Ya Tuhan, sayangilah umatku, sayangilah umatku.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia
Umar ibn al-Khattab pernah meminta nasihat spektakuler kepada Ka'b al-Ahbar, mantan pendeta senior yang sangat disegani. "Hai Ka'b, beri aku nasehat yang memilukan hati".
Ka'b berkata: Wahai amir al-mu'minin, demi Dzat, di mana jiwa dan ragaku berada dalam genggaman-Nya. Andai tuan punya amal kebajikan sekelas amal tujuh puluh Nabi, tuan tetap merana di hari kiamat nanti. Bukan faktor lain, tapi justru diri tuan sendiri yang meresahkan hati tuan. Jangankan tuan, sekelas Nabi Ibrahim A.S. saja sangat panik dan hanya mementingkan keselamatan diri sendiri.
Umar terperanjat kaget dengan paparan macam itu, seolah menuduh Ka'b, sang pendeta mengada-ada. "Dari mana engkau berkata demikian, adakah rujukannya?".
Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana
"Ya, itulah makna firman Allah..., " jawab Ka'b lalu membaca ayat studi ini, Yawma ta/tii kullu nafsin tujaadilu ‘an nafsihaa watuwaffaa kullu nafsin maa ‘amilat wahum laa yuzhlamuuna.
Kekalutan hari akhirat nanti tidak saja membuat seseorang menghujat orang lain, tidak saja membuat anak menghujat orang tua, murid menghujat guru, santri menghujat kiai, rakyat menghujat pemimpin, teman menghujat teman, bahkan antara Ruh dan Jasad yang semasa di dunia hidup menyatu dan tak terpisahkan-pun saling bertengkar, saling menghujat dan menyalahkan. Itulah makna "kullu nafsin tujaadilu ‘an nafsihaa".
Ruh dan jasad bertengkar di hadapan Tuhan, saling mengadu dan menyalahkan. Kata Ruh: Ya Tuhan, Engkaulah yang menciptakan aku dan kondisi fisik macam ini, tanpa punya bodi, tanpa tangan, tanpa kaki, tanpa apa-apa. Kemudian aku masuk ke dalam jasad yang Engkau ciptakan secara sempurna. Engkau juga mengerti, bahwa aku ada di dalam jasad itu hanya berada dan hanya diam di sana, tanpa gerakan nyata. Jasadlah, tanganlah, kakilah, mulutlah yang bekerja melakukan sesuatu, yang berdurhaka, yang maksiat kepadaMu, sementara aku hanya diam tak berdaya di dalamnya. Maka mohon sayangilah aku, jangan siksa aku. Siksalah dia, karena dia yang melakukan.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok
Mendengar ocehan sang Ruh yang menyudutkan dirinya, si Jasad tidak terima. Lalu membalas: "Ya Tuhan, Engkau jualah yang menciptakan aku, lengkap dengan segala anggota badan. Tapi itu semua tidak ada artinya apa-apa, hanya wadak dan kerangka biasa, tak bisa bergerak, kaku dan mati bagai kayu tergeletak. Lalu si Ruh ini datang memasuki diriku dan menggerakkan aku, sehingga aku bisa melakukan apa-apa. Aku hanya bisa menurut saja apa yang dia inginkan. Maka, apakah aku salah? Justru dialah yang salah. Ya Tuhan, mohon sayangilah aku, jangan siksa aku, siksalah dia".
Cobalah terka, kira-kira bagaimanakah Tuhan menyelesaikan pertengkaran ini?
Lalu Tuhan berkata: "Wahai Ruh dan Jasad, dengarkan penjelasanKU. Ada dua orang masuk kebun buah. Yang satu buta dan yang lain lumpuh. Si Buta segar fisik tapi tidak bisa melihat buah, sedangkan yang lumpuh tidak bisa memetiknya tapi bisa melihat buah. Kata si Lumpuh: "Hai si Buta, kemarilah, kamu akan aku beri buah ranum yang lezat. Tapi gendonglah aku dulu menuju buah itu. Dengan digendong si buta, dibimbing menuju buah, akhirnya si lumpuh berhasil memetik buah yang diinginkan. Walhasil, dengan kerja sama itu, keduanya sama-sama bisa menikmati buah. Jika pemilik kebun datang memergoki keduanya, siapa yang disalahkan ?, sispa yang ditangkap sebagai pencuri?"
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata
Waw, si Ruh dan si Jasad terdiam merunduk, saling meratapi diri karena mengerti, bahwa keduanya akan disiksa di nereka. Keputusan Tuhan itu pasti, adil dan terlaksana. Begitu riwayat al-Tsa'laby mengutip paparan Abdullah ibn Abbas. (al-Qurthuby : X/p.193). Lalu, aktualisasinya apa?
Bahwa sudah bisa dipastikan tanpa keraguan sedikit pun, besok di hari kiamat nanti, antara pengikut, pendunkung, pemilih Ahok dengan Ahok akan bertengkar hebat, saling mencaci dan menyalahkan di hadapan Tuhan terkait dukung mendukung dalam pemilukada DKI. Ya, tapi percuma saja. Tuhan sejak dulu sudah mengingatkan: "... barang siapa bergabung dengan nonmuslim, maka dia termasuk kelompoknya". Keputusan Tuhan sudah final. Silakan bareng menikmati neraka Jahanam.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News