SURABAYA, BANGSAONLINE.com - Laga pertandingan antar klub sepakbola di liga Spanyol antara Real Madrid versus Barcelona selalu dinanti para penggemar sepakbola. Tidak hanya penggemar liga Spanyol tapi juga penggemar sepakbola di belahan dunia termasuk Indonesia. Saking ketatnya persaingan antar dua klub papan atas itu, laga keduanya dijuluki El Clasico.
Di dunia politik, persaingan antara Khofifah Indar Parawansa dengan Saifullah Yusuf (Gus Ipul) dalam kontestasi pemilihan gubernur Jawa Timur juga bisa dijuluki El Clasico. Hal itu mengacu ketatnya rivalitas di antara dua kader Nahdlatul Ulama tersebut. Khofifah dengan gerbong ibu-ibu Muslimatnya, Gus Ipul dengan barisan anak-anak muda yang tergabung dalam Gerakan Pemuda Ansor.
Baca Juga: Usai Luluk Hamidah, Lukmanul Hakim dan Wisnu Wardhana Ucapkan Selamat untuk Kemenangan Khofifah-Emil
Pengamat politik dari Universitas Trunojoyo Madura, Surokim Abdussalam mengakui istilah El Clasico pas disematkan pada persaingan Khofifah dengan Gus Ipul, mengingat tingginya rivalitas keduanya. Terlebih, kalau benar nantinya Khofifah maju dalam pilgub Jatim 2018.
“Meskipun pada dua pilgub lalu, Khofifah head to head dengan Soekarwo, tapi yang lebih kentara justru rivalitas Khofifah dengan Gus Ipul. Apalagi bila nanti Khofifah maju pilgub, pasti akan berhadapan dengan Gus Ipul yang naik kelas jadi Cagub. Jadi tak salah kalau nanti persaingan keduanya dijuluki El Clasico,” tutur Surokim.
Peneliti Surabaya Survei Center (SSC) ini menilai, Gus Ipul mewakili karakter Real Madrid yang dikenal kuat dalam bertahan. Pertahanan El Real yang kokoh itulah yang kerap membuat musuh putus asa dan akhirnya lengah dengan serangan balik Real Madrid yang terkenal mematikan.
Baca Juga: Aksi Heroik Relawan Jalan Kaki ke IKN, Khofifah Titipkan Udeng Madura
Sementara karakter Khofifah diwakili dengan karakter klub Barcelona yang dikenal dengan pola serangan yang dinamis. Serangan yang dibangun oleh klub berjuluk El Barca itu tidak monoton, bisa lewat sayap tapi bisa juga lewat tengah, semua dibangun dari kaki ke kaki dengan kerjasama tim yang tinggi. Pola strategi Barcelona itu kerap disebut Tika taka.
“Tiki Taka Bu Khofifah akan berhadapan dengan tembok perkasa Gus Ipul. Ini akan menjadi kompetisi yang seru dalam pilgub,” imbuh Surokim.
Surokim berharap kompetisi pilgub mendatang didominasi oleh pemilih yang rasional, sehingga siapa pun yang keluar sebagai pemenang tidak menimbulkan perpecahan di kalangan akar rumput. Karena itu, dirinya mendorong terbangunnya pemilih tradisional yang bisa tercipta lewat keterbukaan informasi publik.
Baca Juga: Dapat Ucapan Selamat dari Kompetitor Pilkada 2024, Khofifah Ucapkan Terima Kasih ke Luluk Hamidah
"Jumlah pemilih tradisional masih dominan dalam pemilukada Jatim. Masyarakat yang tinggal di daerah rural jauh lebih tinggi daripada pemilih yang tinggal di daerah urban. Masyarakat rural biasanya memilih calon berdasarkan patron tokoh yang dianut. Tingkat independensi mereka masih rendah. Hal ini yang membuat strategi meraih dukungan dan keterpilihan menjadi sulit dilakukan dan butuh peta komprehensif jika ingin menang kontestasi di Jatim. Pemilu yang ideal mensyarakatkan adanya pemilih rasional, tetapi dalam berbagai hal itu sulit dicapai," paparnya.
“Pemilih rasional linier dengan tingkat pendidikannya. Jika ingin pemilih rasional semakin bertambah maka jumlah perguruan tinggi di kawasan periphery seperti di Madura harus terus didorong dan pendidikan harus semakin maju di Madura. Itu bisa mendorong tumbuhnya pemilih rasional,” tandas Dosen FISIP Unijoyo ini.
Surokim menambahkan, semua pihak tidak boleh lelah membuka informasi dan keterbukaan informasi publik di Madura. Akses informasi penting supaya masyarakat memiliki informasi dan pengetahuan yang up to date untuk memperkuat wawasan dan preferensi dalam pemilu,
Baca Juga: Pj Gubernur Jatim Tinjau Langsung Rekapitulasi Hasil Hitung Suara Pilkada Tingkat Provinsi
"Terlebih Jatim ini daerah ekstrim, jumlah pemilih tradisional banyak, jumlah pemilih rasional juga tengah berkembang, sehingga menuntut strategi yang tepat dari para kandidat dan tidak menerapkan strategi yang sama di masing-masing wilayah. Kawasan ini bisa berbeda baik secara geopolitik maupun kultur politik. Secara geopolitik di Jatim akan efektif memenangkan pilkada jika terjadi koalisi kultural antara kaum nahdliyin dan nasionalis mengingat sebagian besar warga jatim memiliki latar identitas kultural seperti itu".
“Kita wajib mendorong tumbuhnya pemilih yang rasional dan independen karena akan meningkatkan kualitas pemilu. Mereka akan memiliki preferensi dan pertimbangan berdasar atas kehendak diri sendiri dengan ukuran yang logis dan obyektif tidak mudah goyah dan terombang-ambing,” pungkas Surokim. (mdr/rev)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News