BANGSAONLINE.com - Kiai Asep Saifuddin bercerita, ayahnya, Kiai Abdul Chalim, asli Cirebon Jawa Barat. Namun ia kemudian menetap di Surabaya. ”Dari Cirebon ayah saya jalan kaki ke Surabaya,” tuturnya kepada bangsaonline.com.
Kiai Abdul Chalim tinggal di Jalan Kedungsroko Gang V, Kelurahan Pacar Kembang, Kecamatan Tambaksari Surabaya. Rumah ini kemudian jadi Sekolah SMP dan SMA Diponegoro hingga sekarang.
Baca Juga: Pesantren di Lereng Gunung, 624 Santrinya Lolos PTN dan di 11 Perguruan Tinggi AS, Eropa dan Timteng
Di kawasan kampung ini banyak tokoh bertempat tinggal. Selain Kiai Abdul Chalim, KH Ahmad Syaichu pernah tinggal di kawasan ini sebelum tinggal di Jakarta. Tokoh NU yang yang dulu sangat popular ini bertempat tinggal di Jalan Kedung Tarukan yang masih satu kawasan dengan kampung Kedung Sroko.
”Kiai Saichu itu santri ayah saya,” tutur Kiai Asep.
Kiai Ahmad Syaichu pernah menjadi kandidat ketua umum PBNU bersaing dengan KH Idham Chalid. Namun Kiai Syaichu kalah. Ia kemudian mendirikan organisasi Ittihadul Muballighin (persatuan para muballigh). Kiai Ahmad Syaichu pernah menjadi Presiden Dewan Pusat Organisasi Islam Asia-Afrika. Peninggalan Kiai Ahmad Syaichu sampai kini masih ada yaitu Gedung Yayasan Al-Hamidiyah di Jalan Kedung Tarukan Surabaya.
Baca Juga: Aqiqah Cucu ke-20 Kiai Asep, Prof Ridwan Nasir Singgung Rabiah Al Adawiyah dan Khofifah
Saat remaja Kiai Asep mengaku hidup miskin dan memprihantikan. ”Saya tak mewarisi harta ayah sesen pun,” katanya. Saking miskinnya ia pernah menjadi kuli bangunan untuk menyambung kebutuhan hidup.
Namun ia punya semangat belajar sangat kuat. Meski tak punya uang ia kuliah di IAIN (kini UIN) Sunan Ampel Surabaya. Untuk biaya hidup dan kuliah ia mengajar di sekolah. ”Tapi saya kemudian distop tak boleh mengajar karena saya tak punya ijazah,” katanya.
Sejak distop mengajar itulah ia tak punya penghasilan. ”Ya, saya tak punya uang untuk makan. Padahal saya kan kuliah di IAIN. Maksud saya walau gak punya ijasah saya kan dari IAIN (mampu mengajar). Tapi tetap diberhentikan,” katanya. Terpaksa ia berhenti mengajar. ”Ya, itu akhirnya saya kerja kuli bangunan dua bulan. Uangnya untuk mendaftar di IKIP,” katanya.
Baca Juga: Pembukaan Multaqa Alumni Al Azhar VIII, Kiai Asep Ungkap Sejarah Amanatul Ummah, Dulu Tempat Jin
Tapi di IKIP Kiai Asep tidak langsung diterima karena ijazahnya Madrasah Aliyah. ”Saat itu ditanya, ini ijazah apa,” katanya. Ijazah Kiai Asep ijazah persamaan. Untungnya ada seseorang yang membantu sehingga diluluskan. ”Saya kuliah di jurusan bahasa Inggris,” katanya. Sejak itu ia bisa jadi guru lagi.
”Saya kuliah tahun pertama sudah ngajar. Saat itu saya tidak melamar, tapi banyak dilamar sekolah untuk mengajar,” katanya sembari menuturkan bahwa ia sempat mengajar di sekolah di Lamongan.
Perjalanan hidupnya mulai berubah. Paling tidak, untuk kebutuhan sehari-hari sudah tercukupi sampai akhirnya ia menjadi kiai yang kaya raya.
Baca Juga: Kagumi Prestasi Amanatul Ummah, Kementerian Pendidikan Malaysia Studi Banding ke Pacet Mojokerto
Namun ia selalu meyakini bahwa sukses yang ia raih sekarang – terutama punya pesantren besar – karena faktor do’a dan barakah ayahnya. ”Jadi ini karena barakah dari ayah saya,” katanya berulang-ulang.
Maka ia selalu bersyukur, terutama dengan cara bersedekah secara ajeg. Tiap pagi ia berkeliling di sekitar pesantrennya membagi-bagikan uang sebesar 1 juta rupiah dalam bentuk pecahan Rp 10.000 an. Uang itu dibagikan kepada siapa saja yang ditemui, seperti satpam, tetangga, polisi dan siapa saja yang mau.
”Tiap pagi saya bawa uang Rp 1 juta berupa pecahan Rp 10.000, saya berikan kepada orang-orang di sekitar pesantren,” katanya.
Baca Juga: Akad Nikah Putri Kiai Asep Dihadiri Syaikh Mesir, Dubes Sudan, Khofifah, Wakil Ketua MPR, dan Kiai
Praktis Kiai Asep bersedekah Rp 30 juta tiap bulan. Belum lagi sedekah kepada para tamu yang diundang ke ndalemnya. Ia selalu memberi transport dan sarung, termasuk kepada wali santri yang sowan. ”Allah sudah berjanji, kalau kita bersyukur, Allah akan menambahi kenikmatan kita, rejeki kita,” katanya mengutip ayat al-Quran. Praktis untuk sedekah Kiai Asep mengeluarkan puluhan juta. bahkan kadang sampai ratusan juta.
Selain bagi-bagi uang Kiai Asep tiap pagi mengajak sarapan pagi sekitar 20 orang sampai 40 orang. ”Termasuk santri yang gak kerasan saya ajak makan,” ungkapnya.
Kiai Asep juga aktif mendanai kegiatan-kegiatan keagamaan asal demi perjuangan Islam. ”Terutama NU saya siap mendanai,” katanya.
Baca Juga: Raih Gelar Master di UAC, Wakil Ketua MPR RI: Bila Republik Ini Miliki 10 Kiai Asep Makin Cepat Maju
Banyak sekali lembaga-lembaga keagamaan seperti Pergunu yang ia danai ketika menggelar acara di Pesantren Amanatul Ummah. ”Mulai konsumsi sampai transport peserta dan cindera mata saya yang nanggung,” katanya. Biasanya semua peserta acara itu disiapkan tas cukup bagus (bukan asal tas) yang isinya sarung atau sajadah plus amplop uang saku.MUI juga pernah menggelar acara di Pesantren Amanatul Ummah. (bersambung)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News