Oleh: Dr. KHA Musta'in Syafi'ie M.Ag. . .
Subhaana alladzii asraa bi’abdihi laylan mina almasjidi alharaami ilaa almasjidi al-aqshaa alladzii baaraknaa hawlahu linuriyahu min aayaatinaa innahu huwa alssamii’u albashiiru (1).
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty
".. innahu huwa alssamii’u albashiiru". Ayat kaji ini membicarakan soal isra', perjalanan malam nabi Muhammad SAW dari al-masjid al-haram, Makkah ke al-masjid al-Aqsha, Palestina yang jaraknya sekitar 1.500 kilometer dan hanya ditempuh beberapa saat saja.
Perjalanan religius itu tidak lazim karena tidak bisa dinalar oleh akal manusia. Apalagi teknologi transportasi kala itu hanya mengandalkan kecepatan lari hewan, kuda misalnya. Lebih dari itu tidak ada. Burung memang lebih cepat menempuh jarak, tapi hingga kini tidak ada yang menggunakan burung sebagai tunggangan manusia, kecuali dalam cerita khayal dan imajiner.
Lalu, kecepatan apa yang dipakai nabi? Kekuatan dari mana yang digunakan nabi?. Jawabnya murni keimanan, yaitu, kekuatan Allah SWT. Dialah yang memperjalankan, dialah yang melesatkan bodi nabi ke arah tujuan. Nabi tinggal diam saja, tahu-tahu nyampai.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia
Biasanya, penutup ayat disesuaikan dengan isi bahasan ayat. Ayat studi ini memamerkan kedigdayaan, kekuatan dan kemahakuasaan-Nya, maka idealnya penutup ayat diambilkan sifat kuasa-Nya, sifat kebesaran-Nya, keagungan-Nya , seperti al-Qadir (Dzat Maha Kuasa). Jadi, pantasnya ayat tersebut ditutup dengan kalimat, misalnya: " .. innahu 'ala kulli syai'in qadir".
Ternyata tidak demikian, justru yang dipakai adalah sifat maha mendengar dan maha melihat. Innahu huwa alssamii’u albashiiru. Mengapa? Allah a'lam. Tapi, kira-kira begini:
Pertama, senagaja Tuhan tidak menutup ayat tersebut dengan kemahakuasaan-Nya, karena kekuasaan-Nya langsung bisa dibuktikan. Kedatangan kembali sosok nabi Muhammad SAW ke tengah-tengah mereka dengan selamat dan utuh adalah bukti. Bagi yang tidak percaya boleh membuktikan, menguji bahkan boleh mendebat.
Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana
Kedua, bahwa misi ayat ini tidak sekadar pamer kedigdayaan, melainkan lebih pada doktrin teologis, memberi pelajaran keimanan, termasuk tes keimanan. Dengan dipakainya sifat al-sami' dan al-bashir, Tuhan hadir dengan sifat monitoring-Nya yang mahasensitif. Tuhan maha mendengar adalah pemberitahuan, bahwa Tuhan mau mendengarkan respon publik, apa tanggapan umat manusia tentang peristiwa isra' tersebut. Ngomong apa mereka, berlagak bagaimana mereka, mau mengimani atau mengingkari. Begitu halnya dengan al-bashir, sifat maha melihat dan maha memeprhatikan. Tuhan melihat siapa di antara mereka beriman, siapa yang ingkar dan siapa yang masih ragu.
Seolah Tuhan hendak berkata demikian: “Wahai umat manusia, setelah kalian mengetahui adanya peristiwa isra', maka Aku akan memperhatikan sikap kalian, apa tanggapan kalian. Ingat, Aku mendengar suara hati kalian, mendengar bisik-bisik kalian dan Aku juga memperhatikan setiap tingkah laku kalian. Maka jangan berkomentar sembarangan. Dari komentarmu, terbacalah keimananmu”.
Isra', lagi-lagi persoalan keimanan. Sesungguhnya Tuhan sudah tahu ragam keimanan hamba-Nya, meski tanpa isra'-isra'an. Tapi Tuhan - dengan cara-Nya sendiri - ingin memberitahu Rasul-Nya, sekaligus seluruh kaum muslimin agar lebih bijak dalam bersikap ketika menghadapi mereka.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News