Oleh: Dr. KHA Musta'in Syafi'ie M.Ag. . .
Subhaana alladzii asraa bi’abdihi laylan mina almasjidi alharaami ilaa almasjidi al-aqshaa alladzii baaraknaa hawlahu linuriyahu min aayaatinaa innahu huwa alssamii’u albashiiru (1).
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty
Baik ayat yang menjelaskan al-isra' seperti ayat kaji ini, maupun yang menjelaskan al-mi'raj seperti pada awal al-Najm, semuanya hanya menceritakan kepergiannya saja dan sama sekali tidak dikisahkan turunnya kembali. Hal itu karena kembalinya Rasulullah SAW sudah terbukti, terlihat, dan nyata, sehingga tidak perlu dikabarkan.
Karena didiamkan, maka menjadi bahasan, apakah perjalanan pulangnya sama dengan rute ketika perginya? Apakah turun dari Sidratil Muntaha Rasulullah mampir dulu ke al-Masjid al-Aqsha, atau langsung menuju al-masjid al-Haram, Makkah. Jika singgah di al-Masjid al-Aqsha, lalu, apakah langsung ke Makkah atau masih mampir di tempat lain, misalnya Madinah, daerah Quba'?. Atau dari Sidratil Munataha, langsung Quba, lalu ke Makkah?. Allah a'lam.
Dari sekian paparan ulama, penulis memilih rute tetap, yakni: Makkah - Palestina -Sidratil Muntaha - Palestina - Makkah. Dasarnya adalah rute yang sudah ditunjuk secara jelas oleh Tuhan pada awal perjalanan. Rute itu mengindikasikan rute yang sama ketika perjalanan kembali pulang.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia
Soal pendapat yang mengatakan nabi mampir dulu ke daerah Quba' dan shalat di masjid Quba', itu pendapat. Quba' adalah pinggiran Madinah, di mana waktu itu belum mengenal syari'ah shalat, sehingga bangunan masjid bisa dikatakan tidak ada atau kecil kemungkinannya sudah ada. Justru dengan isra' dan mi'raj itulah nabi baru mendapat syari'ah shalat lima waktu.
Kini, pembahasan tertuju kepada dua Rasul-Nya, yaitu Isa ibn Maryam A.S. dan Muhammad ibn Abdillah SAW. Sama-sama ke sono, Isa ke langit dan tidak kembali lagi, sedangkan Muhammad SAW langsung malam itu sudah tiba di Makkah kembali. Ada apa?
Pertama, diangkatnya Isa ibn Maryam (mutawaffika wa rafi'uk ilay) ke langit sono lebih karena faktor emergensi, darurat, dan terpaksa. Andai tidak segera dievakuasi ke langit, maka bisa dipastikan mati di tangan penjahat Yahudi yang sudah mengepung di sekeliling rumah. Hal itu merujuk saudara sepupunya, yakni nabi Yahya A.S. yang juga dibunuh oleh Yahudi brutal.
Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana
Sedangkan diperjalankannya Rasululah Muhammad SAW (asra bi abdih) lebih karena misi dan audisi. Bisa dibaca, perjalanan tersebut sejatinya rekreasi yang sangat nyaman dan penuh makna. Juga perjalanan risalah, maka segera kembali ke publik untuk ditunaikan sebagai amanah kerasulan.
Kedua, masa risalah nabi Isa A.S. sudah berakhir dan dicukupkan hanya sampai di situ saja. Ibarat tugas sudah selesai dan tinggal dilanjutkan oleh para murid. Begitu nabi Muhammad SAW diutus, yang berlaku adalah syari'ah pemimpin baru, bukan pemimpin lama. Ibarat Perda, Perppu atau undang-undang bisa direvisi oleh pemerintahan baru. Jika sudah ada aturan baru, otomatis aturan lama tidak berlaku.
Sedangkan nabi Muhammad SAW - ketika isra' dan mi'raj - sedang dalam masa jabatan dan belum berakhir, maka harus cepat kembali. Pemimpin yang sedang plesiran ke luar negeri tidak boleh berlama-lama enak-enakan di sono dan harus segera kembali menunaikan tugas. Keduanya adalah hamba-Nya yang terkasih, keduanya sama-sama kita imani sebagai rasul dan tidak lebih.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News