JAKARTA(BangsaOnline)Pertemuan antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan Presiden Terpilih 2014-2019 Joko Widodo, direncanakan berlangsung nanti malam, Rabu (27/8). Akan tetapi, dialog keduanya mengenai Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2015, bakal tidak mencapai titik temu soal kenaikan harga jual Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi.
Baca Juga: Pascaputusan MK, PDIP Gresik Minta Bawaslu Tindak Pejabat dan TNI-Polri Tak Netral di Pilkada 2024
Hal itu disampaikan Menteri Koordinator Perekonomian Chairul Tanjung yang menegaskan sikap pemerintah untuk tidak menaikkan harga jual premium dan solar. "Pemerintahan SBY menilai sudah cukup beban tersebut ditanggung masyarakat. Sehingga tidak selayaknya diberikan beban lagi," kata pria akrab disapa CT itu seperti dikutip dari laman setkab.go.id. Rabu (27/8).
Dia mengatakan pemerintah dalam waktu berdekatan sudah membebani inflasi yang ditanggung masyarakat. Pertama, karena harga BBM sudah dinaikkan 33 persen pada 2013 lalu. Ditambah dengan adanya kenaikan tarif dasar listrik (TDL) bertahap pada tahun ini.
Dengan rasionalisasi itu, CT menegaskan bosnya, bukan berarti takut menaikkan harga BBM seperti disuarakan beberapa politikus pendukung Jokowi-JK. Pemerintah khawatir kalau harga jual BBM naik jelang dua bulan berakhirnya kabinet SBY, maka inflasi bisa meningkat tajam.
Baca Juga: Umroh Pakai Hijab, DPR RI Minta Selebgram Transgender ini Ditangkap
"(Inflasi) Ini keprihatinan pemerintah sekarang. Oleh karenanya, langkah-langkah yang diambil masih langkah-langkah penghematan yang tidak menimbulkan dampak langsung pada masyarakat," ungkapnya.
Isu perlunya diambil kebijakan kenaikan harga BBM kembali muncul ke permukaan seiring dengan makin membesarnya alokasi anggaran subsidi bidang energi, khususnya BBM. Wacana ini bukan berasal dari pemerintah, melainkan dari kalangan akademisi, ekonom, pengusaha, dan partai politik.
Bukan hal mudah bagi pemerintah untuk memutuskan kembali menaikkan harga BBM. Terlebih, tahun lalu pemerintah sudah menaikkan harga BBM bersubsidi untuk premium dari semula Rp 4.500 menjadi Rp 6.000 dan solar dari semula Rp 4.500 menjadi Rp 5.500.
Baca Juga: Pj Wali Kota Kediri Sampaikan Bela Sungkawa Atas Wafatnya Agus Sunoto Imam Mahmudi
Pada akhir masa jabatannya sebagai presiden, SBY sepertinya menahan untuk tidak mengambil kebijakan nonpopulis tersebut. Pemerintah lebih memilih jalan 'aman' dengan kebijakan membatasi konsumsi dan penjualan BBM bersubsidi.
Dalam postur anggaran tahun depan yang akan digunakan oleh pemerintahan baru, SBY juga tidak memasukkan rencana kenaikan harga BBM. Inilah yang kemudian memunculkan desakan dan sindiran dari PDIP soal kesalahan SBY membiarkan anggaran negara terus dibebani subsidi BBM.
Salah satunya, SBY dianggap menjebak pemerintahan baru yang bakal dipimpin Joko Widodo sebagai presiden terpilih dan Jusuf Kalla sebagai Wakil Presiden terpilih.
Baca Juga: Pemilih PDIP dan Demokrat di Jombang Terbelah, Dukung Warsubi-Salman pada Pilkada 2024
PDIP menganggap SBY mengarahkan suksesornya untuk menaikkan harga BBM bersubsidi.
Soalnya, Rancangan APBN (RAPBN) 2015 disusun dengan tidak menyisakan ruang fiskal cukup bagi presiden mendatang untuk menjalankan program-program yang dijanjikannya semasa kampanye.
"Nampaknya RAPBN ini didesain oleh pemerintahan SBY agar pemerintahan baru menaikkan harga BBM subsidi. Enggak fair dong," ujar politisi PDIP Dolfie O.F Palit.
Baca Juga: Respons Ketua DPC PDIP Kabupaten Kediri soal Sejumlah Oknum Ngaku Kader dan Dukung Deny-Mudawamah
Seolah tidak mau 'masuk dalam jebakan', PDIP mendorong SBY untuk menaikkan harga BBM bersubsidi sebelum dia lengser. Salah satu strategi awal adalah menolak pelimpahan atau skema tunda tagih (carry over) subsidi premium dan solar tahun ini, untuk masuk anggaran 2015.
Dalam RAPBN 2015, SBY mewariskan subsidi BBM membengkak hingga Rp 363,5 triliun, dari total subsidi sebesar Rp 433,5 triliun. Ini akibat adanya carry over subsidi PT Pertamina, termasuk untuk elpiji 3 kg, yang bengkak pada 2014 lantas ditagihkan pada APBN tahun depan.
Dolfie mengingatkan, potensi bengkaknya dana PSO Pertamina karena SBY kemungkinan gagal mengendalikan konsumsi volume 46 juta kilo liter subsidi BBM. Untuk itu, PDI-P bakal ngotot memaksa pemerintahan sekarang menaikkan harga jual ketika batas konsumsi sudah hampir terlewati. "Kalau volumenya 46 juta KL dan jebol ya harus menyesuaikan harga BBM," ujarnya.
Baca Juga: Usai Dibentuk, Ketua DPRD Kota Batu Minta Komisi Langsung Bekerja Sesuai Tupoksi
Sikap PDIP ini jelas berbeda 180 derajat dengan sikap sebelumnya, terutama ketika jadi oposisi pemerintahan SBY. Dulu setiap muncul isu kenaikan harga BBM, PDIP selalu berdiri di garda terdepan untuk menolaknya.
Ambil contoh saat 2012, DPP PDIP menginstruksikan jajaran partai agar memasang spanduk menolak kenaikan harga BBM. Instruksi ini diberikan DPP kepada elemen partai hingga tingkat terbawah.
"Instruksi partai ke seluruh struktur partai se-Indonesia dan kepada seluruh anggota fraksi DPR-DPRD se Indonesia untuk memasang spanduk penolakan kenaikan harga BBM di seluruh pelosok tanah air," ujar Sekjen PDIP Tjahjo Kumolo dalam pesan singkat yang diterima merdeka.com, Sabtu (17/3).
Baca Juga: Politisi PDIP Ungkap Alasannya Pilih Pasangan MUDAH di Pilbup Pasuruan 2024
Tidak berhenti sampai di situ, setahun kemudian saat isu kenaikan harga BBM kembali mengemuka, PDIP kembali ke barisan terdepan bersuara lantang menolaknya. Tidak sekadar menolak, partai oposisi ini juga merumuskan postur APBN-P 2013 versi sendiri.
Postur APBN-P 2013 yang ditulis dalam buku saku itu menunjukkan pemerintah sebenarnya bisa mencari sumber-sumber lain untuk menutupi biaya subsidi, ketimbang menaikkan harga BBM.
"Kami sudah bagikan buku kecil. Sesuai buku yang kami buat ini, akan diberikan kepada masyarakat luas bahwa pandangan PDIP kenapa beda dengan pemerintah," kata Ketua Fraksi PDIP Puan Maharani di DPR, Senayan Jakarta, Senin (17/6).
Baca Juga: Doding Rachmadi Resmi Jabat Ketua DPRD Trenggalek
Terlihat jelas perubahan sikap politik anggaran PDIP di penghujung lengsernya SBY.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News