Tafsir Al-Isra 11: Kanjeng Nabi SAW Pernah Lepas Kontrol

Tafsir Al-Isra 11: Kanjeng Nabi SAW Pernah Lepas Kontrol Ilustrasi

Oleh: Dr. KH A Musta'in Syafi'ie M.Ag. . .  

Wayad’u al-insaanu bialsysyarri du’aa-ahu bialkhayri wakaana al-insaanu ‘ajuulaan (11).

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty

Ayat ini mengingatkan kita, utamanya saat kita marah atau emosi. Bagaimana tidak, sering kita meledak-ledak bahkan mengumpat ketika disakiti atau dizalimi. Hati mendongkol dan sakit sekali. Mau membalas secara kasar, tidak mungkin, karena berbagai pertimbangan. Meskipun bisa, tapi kadang kurang pantas, lalu diam dan disimpan dalam hati.

Saat marah besar, yang muncul begitu saja, biasanya mengutuk atau berdoa buruk kepada si pelaku kejahatan. Mudah-mudahan kualat, dibales Tuhan lebih parah dan sebagainya. Malahan, ketika seseorang berdoa buruk atas si penzalim, hatinya ingin banget doa itu dikabulkan sesegera mungkin. Kenapa?

Pertama, Jika doa dikabulkan sesegera mungkin, dia merasa dirinya orang shalih yang diperhatikan Tuhan, disayang dan direspons permintaannya. Kedua, merasa sebagai orang sakti yang "malati", menyebabkan si penjahat terkutuk setelah menjahati dia. Dengan kualat tersebut, publik tahu, lalu pamor dia naik.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia

"isti'jalahum bi al-khair". Desakan menyegerakan terkabulnya doa buruk itu seperti ketika dia berdoa kebaikan untuk dirinya, tentu ingin segera dikabulkan. Itulah yang disindir ayat studi ini. Beberapa penafsiran dikedepankan di sini, antara lain:

Pertama, adalah al-Nadlr ibn al-Haris, tokoh kafir yang pintar berdiplomasi dan sering meledek nabi Muhammad SAW. Ketika adu argumen soal agama, al-Nadlr menantang: "Ya Tuhan, jika agama yang dibawa Muhammad itu benar, maka hujanilah kami bebatuan yang mematikan, atau siksa kami sepedih mungkin..". Akhir secita, tidak ada hujan batu meskipun kebenaran ada di pihak nabi dan dialah yang durhaka.

Hal itu karena Tuhan telah mengikat Diri-Nya Sendiri sebagai Tuhan yang maha pemurah, pemberi rahmat tak terhigga, memberi kesempatan bertobat, dan tidak segera menyiksa umat-Nya yang berdosa. Tafsir sufistik mengajarkan, bahwa ayat ini adalah larangan keras bedoa buruk menimpa dirinya. Semisal, ingin segera mati saja daripada sakit berkepanjangan dan belum kunjung sembuh.

Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana

Termasuk diri sendiri adalah keluarga, anak keturunan. Begitu pendapat ibn Abbas R.A. Jadi, sedurhaka apapun dan senakal apapun anak kita, kita tidak boleh berdoa buruk kepadanya. Karena anak adalah darah-daging kita sendiri. Berdoa buruk untuk anak sama dengan berdoa untuk diri sendiri. Kurang apa durhakanya si Kan'an kepada ayahnya, nabi Nuh A.S. Tapi nabi Nuh A.S. tetap bersikap sangat baik, bahkan memprotes Tuhan ketika Tuhan menenggelamkannya hanyut dalam banjir besar.

Kedua, jika seseorang terlanjur berdoa buruk kepada orang lain, apalagi kepada anak sendiri, santri, siswa, maka diperintahkan menarik kembali. Caranya, beristigfarlah sesungguh mungkin, sesalilah doa anda dan memohon kepada Allah agar doa buruk tadi diabaikan, yakni tidak dikabulkan. Lalu gantilah dengan berdoa kebaikan untuk mereka.

Diriwayatkan, bahwa nabi pernah menyerahkan seorang tawanan kepada seorang sahabat agar dijaga baik-baik. Sahabat itu mematuhi, tapi si tawanan kafir tersebut pandai sekali merayu dan mengambil hati. Ngajak gobrol santai semalaman, akhirnya sang sahabat tertidur. Tawanan lari dan lepas. Esok hari, dia lapor ke Rasulullah SAW perihal kaburnya tawanan semalam. Spontan nabi mengutuk. "… terkutuklah kedua tanganmu".

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok

Sahabat itu gelisah banget dan tidak bisa tidur membayangkan apa yang bakal terjadi atas dirinya terkait doa buruk nabi tadi. Ternyata, nabi mulia tampil di hadapan sahabat dan memberi penjelasan: “Kemarin aku berdoa buruk kepada orang yang tidak berhak aku doakan begitu. Sungguh aku telah memohon kepada Allah SWT agar doa burukku itu berbalik menjadi rahmat baginya. Ya, karena aku hanyalah manusia biasa yang bisa marah seperti layaknya manusia kebanyakan".

Tesis ini dikuatkan oleh pernyataan Abu Hurairah yang mendengar Rasulullah SAW pidato begini: "Ya Tuhan, aku ini hanyalah manusia biasa yang bisa marah seperti yang lain. Sekiranya ada seorang mukmin pernah aku sakiti atau aku umpat atau aku pukul, mohon jadikan itu semua sebagai penebus dosa baginya, sebagai amal yang mendekatkan dia kepadaMu kelak di hari kiamat nanti.” (H.R. Muslim).

Persoalannya kini adalah, di sisi lain nabi juga pernah berdoa buruk bahkan mengutuk-ngutuk seseorang, juga kabilah tertentu. Seperti terhadap raja Herqules yang menyobek surat ajakan damai yang dilayangkan nabi. Nabi mengutuk: "semoga Allah merobek-robek kerajaannya". Dan setelah sekian tahun, di era sahabat, doa nabi itu terbukti. Juga terhadap suku Dzakwan dan beberapa suku lain. Jawabnya, kira-kira begini:

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata

Pertama, jika yang penjengkelan nabi itu sifatnya menimpa pribadi, yang disakiti itu diri nabi, maka nabi bermulia hati, toleran, dan memaaf. Termasuk hal yang secara kalkulasi tidak membahayakan banget kepada umat islam, seperti keteledoran, maka nabi juga bermurah hati. Contohnya kasus sahabat yang teledor menjaga tawanan di atas.

Kedua, jika penjahatan tersebut merugikan umat islam, merendahkan agama islam, maka nabi bersikap tegas, mengutuk, bahkan siap angkat senjata. Seperti perang waktu itu, semuanya karena mereka menjahati lebih dahulu, mengancam nyawa atau mendurhakai agama. Meskipun perang diizinkan Tuhan, tapi persyaratan, aturan dan etika tetap wajib dipatuhi. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO