
Oleh: Dr. KH. Ahmad Musta'in Syafi'ie
Rubrik Tafsir Al-Quran Aktual ini diasuh oleh pakar tafsir Dr. KH. A. Musta'in Syafi'i, Mudir Madrasatul Qur'an Pesantren Tebuireng Jombang, Jawa Timur. Kiai Musta'in selain dikenal sebagai mufassir mumpuni juga Ulama Hafidz (hafal al-Quran 30 juz). Kiai yang selalu berpenampilan santai ini juga Ketua Dewan Masyayikh Pesantren Tebuireng.
Tafsir ini ditulis secara khusus untuk pembaca HARIAN BANGSA, surat kabar yang berkantor pusat di Jl Cipta Menanggal I nomor 35 Surabaya. Tafsir ini terbit tiap hari, kecuali Ahad. Kali ini Kiai Musta’in menafsiri Surat Al-Hajj': 19-21. Selamat mengaji serial tafsir yang banyak diminati pembaca.
19. Hāżāni khaṣmānikhtaṣamū fī rabbihim fal-lażīna kafarū quṭṭi‘at lahum ṡiyābum min nār(in), yuṣabbu min fauqi ru'ūsihimul-ḥamīm(u).
Inilah dua golongan (mukmin dan kafir) yang bertengkar. Mereka bertengkar tentang Tuhan mereka. Bagi orang-orang yang kufur dibuatkan pakaian dari api neraka. Ke atas kepala mereka akan disiramkan air yang mendidih.
20. Yuṣharu bihī mā fī buṭūnihim wal-julūd(u).
Dengan (air mendidih) itu akan diluluhlantakkan apa yang ada dalam perut mereka dan (juga) kulit (mereka).
21. Wa lahum maqāmi‘u min ḥadīd(in).
Untuk mereka (azab berupa) palu (godam) dari besi.
TAFSIR
“Hadzan khashman, ikhtashamu fi Rabbihim..”. Dua kelompok berdebat tentang Tuhan mereka. Memang banyak tafsir perihal “khashman” ini. Salah satunya adalah kelompok muslim dan kelompok kafir yang mubarazah, duel di medan Badar, seperti yang diunggah dalam sabab nuzul di atas.
Jadi, duel fisis itu terjadi karena mereka sebelumnya sudah berbeda keyakinan, yaitu: antara islam dengan kafir. Bantah-bantahan, adu mulut, adu argumen, dan tidak ada yang mau mengalah. Akhirnya diselesaikan di medan perang.
Makanya, meski adu fisik, tapi tetap dalam makna: “khashman ikhtashamu fi Rabbihim”. Karena yang satu membela Allah SWT dan yang lain membela berhala.
Pendekatan sabab nuzul yang berproyeksi pada debat akademik, orasi dan nonfisik banyak juga diunggah oleh para ahli. Salah satunya adalah riwayat Abdullah ibn Abbas R.A., yakni:
Pada suatu hari, tidak ada hujan tidak ada angin, beberapa pendeta gabungan ngelurug ke komunitas sahabat dan mengatakan: “kalian jangan sok-sok-an merasa beriman paling benar. Ketahuilah, kami-kami ini lebih senior dan lebih berhak mendapat sanjungan Tuhan dari pada kalian”.
“Lho, apa alasan kalian?” tohok kaum muslimin.
Mereka menjelaskan: “Kalian mengerti kan.. bahwa kitab suci kami lebih dulu ketimbang kitab suci kalian. (yang dimaksud adalah al-Taurah dan al-Injil). Begitu juga nabi kami, lahir duluan sebelum nabi kalian” (nabi Musa A.S., nabi Isa A.S), yang langsung dijawab oleh para sahabat.
“Lho, apa gak kebalik, justru kami yang lebih berhak mendapatkannya. Ya, kalau dari sisi waktu, memang benar. Duluan kitab dan nabi kalian. Tapi ingatlah, bahwa kami beriman kepada kitab kami sendiri, al-qur’an dan sekaligus beriman kepada kitab kalian juga, al-Taurah dan al-Injil dan lembaran suci sebelumnya.
Begitu juga soal keimanan kepada nabi. Kami beriman kepada nabi kami sendiri, Muhammad SAW, sekaligus beriman pula kepada nabi kalian, Isa ibn Maryam dan Musa ibn Imran dan semua para nabi sebelumnya. Diperlakukan sama dan tidak dibeda-bedakan di antara mereka.
Tidak sama dengan kalian yang tidak fair, hanya mau beriman kepada nabi dan kitab kalian sendiri, sementara mengingkari kitab suci dan nabi kami. Padahal itu benar, terbuka, dan siap dievaluasi. Kami mengerti, bahwa apa yang kalian lakukan itu murni karena kedengkian belaka dan bukan karena akal sehat dan kejujuran”.
Di sini, para sahabat mengajak berpikir ke sisi kualitas dan kuantitas keimamanan dan bukan sebatas dulu dan akhir belaka. Secara umum, sesuatu yang datang belakangan sudah pasti menyempurnakan yang sudah ada pada masa lalu.
Setelah ditohok demikian, para pendeta gabungan itu terdiam dan ngeluyur balik. Ayat ini turun mengabadikan momen tersebut. Begitu versi al-imam Qatadah.
Selanjutnya dikabarkan tentang nasib orang-orang kafir kelak di akhirat nanti. Mereka diberi pakaian yang terdiri dari lempengan tembaga yang dipanaskan tak terhingga. Ini mengisyaratkan, betapa pedih dan sakit yang tak pernah bisa lepas sedikitpun. Seperti baju yang terpakai dan terus lengket di badan. Tidak hanya itu, di kepakalanya disiram cairan tembaga yang panas meleleh dan seterusnya.
Pesan ayat ini adalah, bagi mereka yang kafir. Silakan kafir, itu hak dan urusan anda pribadi. Tapi janganlah sekali-sekali memusuhi umat islam, mengganggu agama islam. Kelak, Tuhan pasti akan menyiksa lebih pedih. Umat islam tidak pernah dan tidak boleh menggangu umat lain. Tapi wajib mempertahankan diri dan agama sendiri dari gangguan orang lain.