Oleh: M Mas’ud Adnan...
BANGSAONLINE.com - Masih ingat tesis Samuel P Huntington tentang “benturan peradaban” (clash of civilizations) yang menghebohkan dunia? Guru besar Harvard University Amerika Serikat itu menulis buku berjudul Clash of Civilizations and The Remaking of Wordl Order yang isinya sangat menghebohkan warga dunia. Huntington, antara lain, menulis bahwa konflik peradaban itu terjadi karena lima faktor.
Baca Juga: Sowan ke Tokoh Agama GKJW di Balewiyata Malang, Khofifah Napak Tilas Perjuangan Gus Dur
Pertama, faktor populasi muslim yang tumbuh secara cepat. Menurut dia, pertumbuhan penduduk Islam ini memunculkan pengangguran dalam jumlah besar. Konsekuensinya, muncul ketidakpuasan di kalangan muda muslim.
Kedua, fenomena kebangkitan Islam. Ia menganalisis bahwa fenonema kebangkitan Islam bisa memberikan keyakinan baru kepada kaum muslim bahwa Islam lebih istimewa secara nilai dan peradaban lebih tinggi ketimbang peradaban Barat. (Huntington tampaknya lalai bahwa dalam doktrin Islam memang ada ajaran al-Islami ya’lu walaa yu’la alaih).
Ketiga, faktor sikap Barat yang berusaha melakukan globalisasi nilai dan bahkan istitusi untuk menjaga superioritas militer dan ekonominya. Karena itu Barat selalu turut campur dalam konflik di dunia muslim.
Baca Juga: Aneh, Baca Syahadat 9 Kali Sehari Semalam, Dahlan Iskan Masih Dituding Murtad
Keempat, peristiwa keruntuhan komunisme. Menurut Huntington, runtuhnya komunis itu telah menggeser musuh bersama. Kalau selama ini Islam dan Barat memandang komunis sebagai musuh bersama, kini Islam dan Barat malah saling jadi ancaman di antara mereka sendiri.
Kelima, intensitas interaksi antara Islam dan Barat. Menurut Huntington, intensitas interaksi ini mendorong perasaan baru pada masing-masing pihak tentang identitias mereka. Artinya, baik Islam maupun Barat sama merasa berbeda diantara mereka. Huntington juga menyebut sejak tahun 80-an dan 90-an sikap toleran antara masyarakat Islam dan masyarakat Barat telah menurun drastis.
Gus Dur sama sekali tak sepakat dengan pemikiran Huntington itu. Kebetulan Gus Dur dapat undangan Young mere Simbon, harian terbesar dunia, yang memiliki oplah dua belas juta tiap hari di Jepang. Gus Dur dipertemukan dengan Huntington dalam sebuah diskusi besar yang dihadiri sekitar 2000 orang . Gus Dur mewakili Islam. Sedang pembicara lain adalah Cang Heng Chi dari Singapore mewakili Konghucu (Duta Besar Singapore untuk Amerika Serikat), dan Prof. Aoki dari Osaka Univercity mewakili agama Shinto Jepang. Huntington sendiri hadir dalam diskusi internasional itu.
Seperti ditulis Syaiful Arif, dalam kesempatan itu Gus Dur mengkritik, bahwa Huntington telah menggeneralisir beragamnya Islam menjadi Islam yang satu: Islam militan. Padahal saat ini tengah terjadi geliat “revivalisme Islam” yang warna-warni. Ada Islam fundamental, Islam liberal, Post-Tradisonalisme Islam, Post-Modernisme Islam, Islam transformatif, Islam emansipatoris, Islam tradisional, Islam modernis, Islam formalis, Islam substantif, dan bahkan istilah Soekarno, Islam sontoloyo.
"Prof, saya terpaksa tidak menerima teori Anda tentang benturan peradaban. Kenapa? Karena ratusan ribu muslim tiap tahun belajar di Barat. ... Walaupun mereka kelihatannya cuma belajar teknologi, administrasi, kedokteran, dll, bukan mustahil jika mereka hanya mengambil ilmunya saja... Mereka bisa tanpa mengambil sedikitpun budaya Barat. Meskipun hakikatnya mau tidak mau harus mengambil kultur/kebudayaan Barat. Namun, ini yg prof harus tahu! Mereka tidak mungkin menjadi Barat 100%. Karena itu harapan Anda untuk membaratkan mereka itu tidak betul,” kata Gus Dur.
Mendengar bantahan Gus Dur, Huntington terlihat gugup, beberapa orang nampak tersenyum. “Saya kasih contoh. Saya ini memakai celana, kemeja, dasi, sepatu, juga pergi ke bioskop, itu semua dari Barat. Tetapi di rumah saya tetap seperti dulu. Saya tidak pernah makan babi, tidak pernah minum minum-minumanan keras, judi, dan seterusnya. Sebab saya bukan Barat 100%. Saya mengikuti modernisasi tetapi tidak mengikuti westernisasi,” tegas Gus Dur.
Baca Juga: Luncurkan Video Kampanye Bareng Dewa 19, Khofifah-Emil Kompak Nyanyikan Hidup adalah Perjuangan
Menurut Gus Dur, kenyataan di lapangan itu bahwa ratusan ribu warga muslim di seluruh dunia yang belajar di sejumlah negara Barat. Sebaliknya, juga tidak sedikit yang dipelajari oleh dunia Barat dari Islam. "Kita (Islam) mengambil dari Barat dan Barat memberikan kepada kita. Sebaliknya, Barat mengambil dari kita dan kita juga memberikan kepada Barat," tegasnya.
Namun, Gus Dur mengakui, kondisi itu bukan berarti Islam dan Barat tidak memiliki perbedaan. "Perbedaan di antara dua orang bersahabat tidak berarti mereka harus berhadapan dan berkonfrontasi," katanya.
Menurut Gus Dur, Huntington menggunakan standar ganda. Group Yahudi ultra ortodoks, setiap hari Sabbat (sabtu) melempari mobil yang lewat di Yerussalem (karena nyetir mobil menurut mereka adalah kerja, sementara agama Yahudi melarang kerja pada hari Sabtu). Akan tetapi kelakuan orang Yahudi ini oleh Huntington tetap di-ma’fu, dan dianggap sebagai big family dari peradaban Barat yang modern. Sementara, ketika ada muslim yang berbuat agak keras dalam beragama langsung dicap ekstrimis dan teroris. Bahkan Huntington menganggap semua muslim ekstrim.
Baca Juga: Khofifah Pernah Jadi Bintang Senayan, Prof Kiai Asep: Cagub Paling Lengkap dan Berprestasi
Gus Dur juga mengungkapkan sikap militansi atau fundamentalisme dalam Islam muncul akibat kesalahan dalam memahami inti ajaran agama. "Hal serupa bukan saja terjadi pada Islam tapi juga Kristen dan agama apa pun di dunia ini," katanya.
Dari pandangan ini tampak sekali bahwa pemikiran Gus Dur lebih kosmopolit, sedang pemikiran Huntington juteru cenderung konservatif dan fundamentalis.
Walalhua'lam bisshawab
Baca Juga: Pemkab Resmi Ganti Beberapa Acara di Gelaran Jombang Fest 2024, Ini Alasannya
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News