Syaiful Bahri.
Oleh: Syaiful Bahri
Sebagai Nahdliyin, gejolak yang belakangan ini menerpa Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) tentu mengundang keprihatinan. Media ramai melabeli setiap dinamika internal sebagai "prahara."
Namun, ada keyakinan historis: NU selalu menemukan jalan keluar, seberat apa pun persoalan yang dihadapi. Doa kita sama: semoga Allah SWT membimbing para kiai dan elite PBNU agar kapal besar organisasi ini kembali berlayar dengan selamat, kokoh, dan semakin progresif.
PBNU: Dualisme antara Sarung Kiai dan PowerPoint
Pernahkah Anda membayangkan kompleksitas memimpin organisasi yang usianya seabad, beranggotakan jutaan, di mana tradisi spiritual kitab kuning bersanding dengan tuntutan manajemen modern serba digital?
Inilah drama abadi yang dipentaskan di kantor PBNU. Keributan kecil yang cepat diangkat media sebagai "prahara" sering kali hanyalah manifestasi dari tarik-menarik dua gaya kepemimpinan yang berbeda—ibarat mixer modern bertemu cobek batu warisan. Ini bukan sekadar konflik personal, melainkan benturan struktural antara Otoritas Spiritual dan Otoritas Administratif.
Kiai vs. CEO: Pertarungan Otoritas di Tengah Meja Rapat Di PBNU,
kepemimpinan terbagi dua: Rais ‘Aam (pemimpin tertinggi agama, Syuriyah) dan Ketua Umum (pemimpin eksekutif, Tanfidziyah).
Rais ‘Aam (Otoritas Spiritual): Beliau adalah soul organisasi, pemegang otoritas moral. Keputusan beliau didasarkan pada musyawarah kiai, fatwa, dan wisdom dari masa lalu—sebuah gaya kepemimpinan konvensional yang berpegang teguh pada khittah.
Ketua Umum (Otoritas Administratif): Beliau berperan sebagai CEO sekaligus manajer. Tugasnya memastikan sistem berjalan, aset dikelola profesional, dan administrasi—termasuk surat-menyurat dan keuangan—diurus secara modern dan digital.
Konflik mencuat ketika sebuah keputusan yang sah secara spiritual (hasil musyawarah kiai) dianggap tidak sah secara legal administratif karena prosedur modern—misalnya, masalah stempel digital atau mekanisme persetujuan resmi—tidak terpenuhi. Ini bukan tentang perbedaan pandangan agama, melainkan pertanyaan fundamental: Otoritas mana yang tertinggi? Otoritas Spiritual Kiai atau Otoritas Legal Administratif dan Prosedur Modern?
Gus Dur dan Jalan Tengah Menghidupkan Tradisi
Mengenang sosok K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah kunci. Beliau adalah tradisionalis sejati, namun berpemikiran hyper-modern. Gus Dur menawarkan jembatan: NU harus tetap mencintai tradisi (sarungnya), tetapi wajib beradaptasi dengan modernitas (komputernya).
Inti ajarannya: Almuhafadhotu lilqadimis sholeh, wal akhdu bil hadidil ashlah (jaga warisan lama yang baik, ambil sesuatu yang baru yang lebih baik)
Beliau mengajarkan bahwa keterlibatan NU di panggung global dan politik harus dilandasi satu niat: khidmah (pelayanan umat), bukan alat politik sesaat atau sarana memperkaya diri. Inilah cetak biru jalan tengah yang hari ini terasa begitu sulit dipraktikkan.
Dilema "Cuan" dan Konsistensi Khittah
Area konflik yang paling memanas belakangan ini adalah isu ekonomi dan bisnis:
Pihak Tradisi: fookus: Dakwah dan Pesantren, Pendanaan: Infaq, amal usaha kecil, dan kesederhanaan. Kekhawatiran: Keterlibatan bisnis raksasa (tambang, properti) akan menyeret NU ke dalam kepentingan politik, melupakan khittah, dan menghilangkan citra kiai yang zuhud.
Sedang Phak Modern, Fokus: Profesionalisme dan Kemandirian, Pendanaan: Holding company besar, bisnis profesional, dan mencari sumber "cuan" berkelanjutan, Tujuan: Agar NU mandiri secara finansial, dapat menafkahi puluhan ribu lembaga di bawahnya, dan membayar staf secara layak untuk memajukan organisasi.
Perdebatan ini sah. Namun, di mata publik, ketika NU terlibat dalam bisnis besar, bayangan para Kiai bersarung yang bersahaja tiba-tiba digantikan oleh citra pengusaha berdasi. Menjaga citra spiritual sambil mengelola aset triliunan adalah tantangan terberat PBNU hari ini.
Epilog: Kompromi Abadi demi Masa Depan Khidmah
Jika terjadi "prahara" di PBNU, mari kita anggap itu sebagai gejala pertumbuhan, bukan keruntuhan. Itu adalah suara tradisi yang berdialog dengan suara administrasi yang menuntut efisiensi. Intinya adalah upaya NU untuk menjawab pertanyaan paling sulit di abad ke-21:
Bagaimana caranya menjadi organisasi yang sangat tradisional secara spiritual (Istiqomah), tapi sangat modern dan profesional secara manajemen (Progresif)?
Kapal besar NU akan selalu dihantam gelombang—baik gelombang politik, isu bisnis, maupun isu stempel digital yang eror. Namun, selama Syuriyah (Kiai) dan Tanfidziyah (CEO) bisa berkompromi dan menjadikan khidmat kepada umat sebagai kompas utama, maka fondasi organisasi ini akan tetap kokoh.
Yang dibutuhkan saat ini adalah rekonsiliasi prosedur. Otoritas spiritual dan otoritas administratif harus menemukan titik temu yang mengakui kearifan kiai sekaligus legalitas administrasi.
(*)





