Oleh: M Mas’ud Adnan*
Para elit NU struktural tak bisa menyembunyikan kekecewaannya ketika Presiden Joko Widodo mengumumkan susunan Kabinet Indonesia Maju pada 23 Oktober 2019 lalu. Kekecewaan itu dieskpresikan secara terbuka oleh Wakil Ketua PBNU Robikin Emhas. Dengan alasan mendapat pertanyaan dan protes dari para kiai di berbagai daerah, ia menyesalkan kader NU gagal mendapat posisi di kabinet, terutama posisi Menteri Agama.
Baca Juga: Digawangi Perempuan Muda NU, Aliansi Melati Putih se-Jatim Solid Menangkan Khofifah-Emil
Indikasi elit NU struktural ingin masuk kabinet sudah terdeteksi sejak awal. KH Agoes Ali Mashuri (Gus Ali), Wakil Rais Syuriah PWNU Jawa Timur, mengungkapkan bahwa dukungan NU kepada Jokowi-Kiai Ma’ruf Amin tidak gratis. Pernyataan Gus Ali itu menuai kontroversi, termasuk di internal NU, karena selain dianggap terlalu vulgar dan tidak taktis, juga banyak yang menilai bahwa NU terlalu jauh terlibat politik praktis.
Namun ibarat pepatah: nasi sudah menjadi bubur. Ekspresi kekecewaan elit NU struktural secara terbuka itu justru membuka “tabir politik NU” yang selama ini menyelimuti organisasi keagamaan terbesar di Indonesia itu. Artinya, PBNU ternyata diam-diam larut dalam permainan politik praktis. Ini juga berarti bahwa PBNU telah mengabaikan khittah NU yang selama ini masih menjadi frame of reference warga NU.
Kabar yang berhembus, Jokowi sempat menjanjikan NU dapat tiga menteri. Yaitu Menteri Agama, Menteri Pertanian, dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Ternyata tak satu pun jabatan itu jatuh ke kader NU struktural. Tentu saja mereka kecewa.
Baca Juga: Rais Aam PBNU Ngunduh Mantu dengan Pemangku Pendidikan Elit dan Tim Ahli Senior di BNPT
Bagaimana dengan tiga menteri dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)? Apakah mereka bukan representasi NU? Bukankah Jazilul Fawaid, Wakil Ketua Umum DPP PKB, mengatakan bahwa PKB anak NU?
Elit NU secara tegas menampik. Wakil Sekretaris Jenderal PBNU Isfah Abdul Aziz menjawab: beda. Sebab, kata Isfah - seperti dikutip Majalah Tempo edisi 4-10 Nopember 2019 – NU berbeda dengan PKB yang merupakan partai politik.
Pada sisi lain, di internal PKB sendiri - menurut laporan Majalah Tempo – terjadi riak-riak atas penunjukan tiga menteri yang diperoleh. PKB mendapat tiga menteri. Menteri Ketenagakerjaan yang dijabat Ida Fauziyah, Menteri Perdagangan yang dijabat Agus Suparmanto, dan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi yang dijabat Abdul Halim Iskandar, kakak kandung A Muhaimin Iskandar (Cak Imin), ketua umum DPP PKB.
Baca Juga: Khofifah: Muhammadiyah Pilar Kemajuan Bangsa dan Umat
Yang paling dipersoalkan ke-NU-annya tentu Agus Suparmanto. Ia bukan saja tak dikenal di lingkungan NU, tapi juga bukan pengurus PKB. Namun, tiba-tiba ia diberi jabatan menteri mewakili PKB menyalip kader PKB asli. Padahal, banyak kader PKB senior berpuluh tahun menjadi pengurus DPP PKB, tapi tak mendapat jabatan hingga kini.
Dalam laporan Majalah Tempo, bukan hanya Agus Suparmanto yang jadi gunjingan politik di internal PKB. Abdul Halim Iskandar yang dapat karpet merah (jadi menteri) karena kakak kandung Cak Imin, juga menimbulkan kecemburuan sosial.
Namun Cucun Syamsurijal, salah satu Ketua PKB, mengatakan bahwa Halim Iskandar disodorkan jadi menteri karena ia salah satu komandan pemenangan Jokowi-Kiai Ma’ruf dalam pilpres. Halim Iskandar menjabat Wakil Ketua Tim Kampanye Daerah. Tapi Yuli Andriani, mantan Bendahara Tim Kampanye Jawa Timur, mengaku tak pernah sekali pun bertemu Halim Iskandar dalam rapat pemenangan Jokowi-Kiai Ma’ruf.
Baca Juga: Panas! Saling Sindir soal Stunting hingga 'Kerpek' Catatan Warnai Debat Terakhir Pilbup Jombang 2024
Dalam sejarah PKB, sejak Cak Imin jadi ketua umum, aroma mementingkan keluarga memang terasa sekali. Lihat saja dalam kabinet Jokowi sebelumnya. Cak Imin menyodorkan Muhammad Nasir kepada Jokowi, di samping nama lain. Padahal Muhammad Nasir - yang lalu ditunjuk sebagai Menristekdikti - bukan pengurus PKB. Siapa dia? Siapa lagi kalau bukan kakak ipar Cak Imin. Nasir – seperti dikutip detik.com – menikah dengan Hasibyah. Karena itu, tak usah heran jika pada Kebinet Indonesia Maju Cak Imin menyodorkan kakaknya sendiri sebagai menteri, yaitu Abdul Halim Iskandar.
Begitu juga penunjukan orang luar PKB sebagai menteri. Pada Kabinet Jokowi sebelumnya, Rusdi Kirana - bos Lion Air - yang tak pernah bersinggungan dengan NU tiba-tiba disodorkan jadi menteri. Ia bahkan kemudian dipoles sebagai “kader PKB instan” dengan jabatan Wakil Ketua Umum di PKB. Hanya saja karena suatu “hal”, ia gagal jadi menteri tapi dikompensasi sebagai Duta Besar Malaysia. Kini Rusdi Kirana hengkang dari PKB.
Baca Juga: Lazisnu Surabaya Jadi Perantara Kebaikan
Sejatinya, respons kiai-kiai NU terhadap susunan Kabinet Indonesa Maju terbelah menjadi dua kelompok. Pertama, para elit NU struktural yang kecewa dan diekspresikan secara terbuka oleh Robikin Emhas.
Kedua, para kiai NU kultural yang direpresentasikan oleh KH Salahuddin Wahid (Gus Sholah). Cucu pendiri NU Hadratussyaikh KHM Hasyim Asy’ari itu justru heran dengan sikap elit PBNU yang kecewa dan protes terhadap kebijakan Jokowi memilih menteri agama tak sesuai harapan mereka. Menurut Gus Sholah, NU wajar dapat jatah menteri karena para kiai NU berperan memenangkan Jokowi-Kiai Ma’ruf, di samping nahdliyin merupakan representasi umat Islam terbesar.
Tapi, kata Gus Sholah, NU tak wajar jika minta jatah menteri, apalagi menyodorkan nama, karena lobi politik itu domain partai politik. Pengasuh Pesantren Tebuireng Jombang itu selama ini memang getol bersuara keras agar NU tak terlibat politik praktis dan money politics.
Baca Juga: Pesantren di Lereng Gunung, 624 Santrinya Lolos PTN dan di 11 Perguruan Tinggi AS, Eropa dan Timteng
Nah, dari dua pandangan berbeda itu, mari kita muhasabah (evaluasi diri) sekaligus kilas balik: seperti apa jati diri kultural NU. Review historis kultural NU itu urgen agar organisasi Ahlussunnah Wal Jamaah yang didirikan Hadratussyaikh KHM Hasyim Asy’ari itu tak selalu jadi “pendorong mobil mogok yang kemudian ditinggal ketika mesin mobil sudah hidup” seperti sekarang. Apalagi NU tak lama lagi akan menggelar Muktamar NU ke-34, yaitu pada 2020 mendatang.
Dalam sejarah kultural NU, ada dua peristiwa penting terkait jabatan. Pertama, peristiwa KH Mahrus Aly dari Pondok Pesantren Lirboyo Kediri. Suatu saat KH Imron Hamzah - atas kesepakatan para kiai - sowan ke Lirboyo minta agar Kiai Mahrus Aly berkenan menjadi Rais Syuriah PWNU Jawa Timur. Tapi Kiai Mahrus Aly langsung menolak.
Kiai Imron Hamzah tak putus asa. Beberapa hari kemudian Kiai Imron Hamzah sowan lagi ke Lirboyo. Apa yang terjadi? Kiai Mahrus Aly langsung sakit. Kiai ahli silat itu mencret-mencret, – maaf – mungkin karena stres. Bahkan istri Kiai Mahrus Aly memohon kepada Kiai Imron Hamzah agar tak datang lagi ke Lirboyo. Karena setiap mendengar Kiai Imron Hamzah sowan, Kiai Mahrus Aly langsung sakit.
Baca Juga: Barisan Jawara Deklarasi Dukung Khofifah-Emil
Artinya, saking tak bersedianya menjabat Rais Syuriah, Kiai Mahrus Aly sampai trauma mendengar nama Kiai Imron. Namun pada akhirnya, Kiai Mahrus Aly tak bisa mengelak ketika para kiai dan peserta Konferwil PWNU Jatim memberikan amanah sebagai Rais Syuriah PWNU Jatim. Karena dalam NU, juga ada ajaran bahwa amanah yang dimandatkan harus diterima dengan penuh tanggungjawab.
Peristiwa serupa terjadi pada KHR As’ad Syamsul Arifin. Menjelang Muktamar NU, para kiai minta Kiai As’ad berkenan jadi Rais Aam Syuriah PBNU. Namun Kiai As’ad menolak. “Meski Malaikat Jibril (pembawa wahyu) turun dari langit memaksa saya, saya akan menolak. Yang pantas Kiai Mahrus Aly, Lirboyo,” tegas Kiai As’ad.
Bagaimana respon Kiai Mahrus Aly? “Jangankan Malaikat Jibril, kalaupun Malaikat Izrail (pencabut nyawa) turun dan memaksa saya, saya tetap tak bersedia,” jawab Kiai Mahrus Aly.
Baca Juga: Kantor Pertanahan Kabupaten Pasuruan Jadi Tuan Rumah Monev Kanwil Jatim
Dari dua peristiwa sejarah ini jelas bahwa kultur asli NU berlomba menolak jabatan, bukan minta dan merebut jabatan. Memang ada yang bilang, dua kiai itu menolak jabatan kan jabatan di internal NU, bukan di pemerintahan. Logikanya, jika jabatan di internal NU saja mereka sangat tawaddlu, tak merebut bahkan menolak, apalagi jabatan di pemerintahan. Faktanya Kiai Mahrus Aly juga pernah menolak ketika ditawari jabatan di pemerintahan.
Kita tahu, di lingkungan NU kisah Sahabat Abu Dzar Al-Ghifari yang minta jabatan tapi dingatkan oleh Rasulullah bahwa jabatan itu berat sangat populer.
“Sesungguhnya engkau adalah orang yang lemah, dan sesungguhnya jabatan itu amanah. Sesungguhnya jabatan akan menjadi kehinaan dan penyesalan bagi orang yang menerimanya, kecuali ia mengambil dengan cara benar dan menunaikan amanah jabatan tersebut juga dengan benar.” Sejak itu Al-Ghifari benci jabatan.
Jadi NU memiliki watak kultural khas dan mulia. Dalam kultur NU asli – sekali lagi NU asli, bukan hibrid – sangat tabu minta jabatan. Maka, siapa pun yang minta jabatan berarti sudah tak sesuai adab dan kultur NU. Namun, sekali lagi, jika amanah jabatan sudah dimandatkan maka harus diterima dengan penuh tanggungjawab, tidak boleh disalahgunakan dan diselewengkan. Jadi yang perlu digaribawahi, dalam budaya NU bukan anti jabatan, tapi tidak boleh minta jabatan dan merebut jabatan, terutama lewat cara-cara tidak benar dan tidak legal.
Nah, kegagalan para kiai NU struktural menempatkan kader NU dalam jajaran kabinet Jokowi-Kiai Ma'ruf harus menjadi koreksi diri secara obyektif. Para kiai NU struktural perlu muhasabah agar ormas Islam terbesar berbasis pesantren itu tak selalu terjerumus ke dalam kubangan poliltik praktis tanpa manfaat yang berulang-ulang. Para elit NU harus mengingat kembali era kejayaan NU yang ternyata lebih terhormat, berwibawa dan bahkan disegani - dan tentu saja lebih bermanfaat dan berkah - dalam posisi politik kebangsaan, bukan politik kepentingan parsial partisan.
Era kejayaan NU itu terjadi pada dua zaman keemasan. Pertama, pada era para muassis (pendiri) dan seterusnya.
Kedua, era kejayaan NU terjadi pada grand design para ulama besar kita pada Munas dan Muktamar NU ke-27 pada 1984 di Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo Situbondo Jawa Timur yang secara historis telah menempatkan NU dalam sejarah keemasan dengan kembali ke khitah 26.
Output strukturalnya lahir duet kepemimpinan KH Ahmad Shidiq sebagai Rais Aam Syuriah PBNU dan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai ketua umum PBNU. Duet Kiai Ahmad Shidiq dengan Gus Dur itu benar-benar membawa NU ke jaman keemasan hampir mendekati kepemimpinan era para muassis NU. Duet dua ulama besar asal Jember dan Jombang itu sangat dahsyat bukan saja karena dua-duanya punya wawasan intelektual dan keagamaan tinggi tapi juga mempu meletakkan posisi NU ke real khittah 26 yang sebenarnya. Stresing garapan dan perjuangan NU pun jelas, tidak mengalami disorientasi seperti sekarang. Kiai Ahmad Shidiq fokus pada khittah NU, Aswaja dan revolusi kebudayaan, sedang Gus Dur pada bidang civil society dan ekonomi. Otomatis permberdayaan umat mulai tergarap saat itu.
Nah, dua era kejayaan NU itulah yang harus menjadi referensi utama perjalanan NU ke depan.
Ya, saatnya elit NU mendengar suara arus bawah (warga NU) yang selama ini meratapi NU karena ormas Islam yang didirikan para kiai dengan penuh tulus itu selalu terjerumus pada kubangan politik praktis dan partisan yang menggerus wibawa dan kehormatan NU. Bukankah basis massa NU lebih senang jika PBNU kembali ke khitah 26, tidak terlibat politik praktis sehingga bisa fokus pada pemberdayaan warga NU, terutama secara ekonomi, pendidikan, sosial dan intelektual?
Sekali lagi - suara warga NU itu sangat penting direspons terutama dalam Muktamar ke-34 mendatang. Wallahu’alam.
*Penulis adalah alumnus Pesantren Tebuireng dan Pascasarjana Unair yang kini mengelola HARIAN BANGSA dan BANGSAONLINE.com
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News