Oleh: Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag*
25. Walabitsuu fii kahfihim tsalaatsa mi-atin siniina waizdaaduu tis’aan
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty
Dan mereka tinggal dalam gua selama tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun.
26. Quli allaahu a’lamu bimaa labitsuu lahu ghaybu alssamaawaati waal-ardhi abshir bihi wa-asmi’ maa lahum min duunihi min waliyyin walaa yusyriku fii hukmihi ahadaan
Katakanlah, “Allah lebih mengetahui berapa lamanya mereka tinggal (di gua); milik-Nya semua yang tersembunyi di langit dan di bumi. Alangkah terang penglihatan-Nya dan alangkah tajam pendengaran-Nya; tidak ada seorang pelindung pun bagi mereka selain Dia; dan Dia tidak mengambil seorang pun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan keputusan.”
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia
TAFSIR AKTUAL
Al-imam al-qurthuby menurunkan sejarah turunnya ayat ini (25) terkait dengan diskusi kecil yang mempersoalkan lama pemuda gua tidur di dalam gua. Versi al-Dlahhak, ayat itu semula hanya mengabarkan lamanya 300 saja tanpa keterangan waktu lebih detail. "..walabitsu fi kahfihim tsalats mi'ah". Kemudian menimbulkan pertanyaan: "300 apa? Tahun, bulan, atau hari?
Kemudian dijelaskan bahwa yang dimaksud adalah 300 tahun. "..walabitsu fi kahfihim tsalats mi'ah sinin". Ada tambahan kata "sinin", tahun. Itu pun masih menyisakan pertanyaan. Apakah hitungan tahun itu pakai dasar hitungan syamsiyah seperti yang biasa mereka pakai atau berdasar hitungan tahun qamariyah yang biasa dipakai bangsa arab?
Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana
Kemudian turun tambahan kata "wa izdadu tis'a ", plus sembilan. Jadi total lama tidur adalah 309 tahun. Di sini, meskipun tidak dijelaskan sembilan apa, tapi sudah terbaca, bahwa yang dimaksud adalah "tahun, sanah". Orang arab, utamanya yang ahli bahasa sudah mengerti dari tampilan 'adad (tis') yang berbentuk mudzakkar.
Dalam 'adad mufrad, jika al-'adad sudah dipatok "mudzakkar", maka al-ma'dud pasti mu'annats. Karena kaedahnya harus mukhalif, berlawanan. Soal waktu, yang berbentuk mu'annats adalah yang "tahun" (sanah). Lagian, sebelumnya sudah disebutkan kata tahun (Sinin, jamak). Sehingga tidak mungkin lagi dimaknai sepuluh bulan atau hari.
Dari sini, al-qur'an mengajarkan, bahwa al-ma'dud itu boleh dibuang (mahdzuf), tidak harus disebut terus-menerus. Karena sudah maklum dan tinggal mencocokkan saja. Jadi tidak perlu "wa izdadu tis'a sanawat/Sinin". Cukup "tis'a" saja.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok
Terma "Tsalats mi'ah sinin". Kata "sinin" berbentuk jamak, bertanwin dan terpisah dari kata mi'ah. Susunan ini tidak lazim menurut kaedah dasar al-'adad "ma fauq al-mi'ah", 'adad 100 ke atas. Mestinya, al-ma'dud harus berbentuk mufrad (tunggal) dan beri'rab jarr (khafd) sebagai posisi idhafah. Yakni "Tsalatsa mi'ati sanatin".
Ajaran yang diambil dari ilmu bahasa arab adalah, bahwa idhafah yang berjajar menumpuk, tiga kata (Tsaats Mi'ah Sanah) boleh dipenggal demi keindahan dan varian bahasa. Jadinya cuma gandeng dua saja (Tsalats Mi'atin), diputus dengan tanwin.
Sedangkan al-ma'dudnya disendirikan. Boleh disesuaikan dengan i'rab asal kata sebelumnya (Tsalats), yakni nasab, sehingga menjadi "Sinin". Dan taqdir kalamnya menjadi "Badal, 'athaf bayan" atau "al-maf'ul bih", taqdirnya: "a'ni atau ya'ni (Allah menghendaki) "sinina". Atau fashl dan dibaca rafa'. Jadinya "sinun" seperti qiraah al-Dhahhak. Taqdirnya "tilka sinun", susunan mubtada'-khabar dengan al-mubtada' mahdzuf.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata
Kembali ke terma "Tsalats Mi'atin Sinina" (300 tahun) dan "Tsalats Mi'atin Sinina wa izdadu tis'a" (309 tahun). Sesungguhnya sama, tidak ada beda antara hitungan 300 dan 309 tahun. Pertama Tuhan menyebut 300 tahun, lalu menyebut lagi 309 tahun setelah ada pertanyaan hitungan apa yang dipakai.
Dua angka itu adalah pemaduan antara dua hisab syamsiah dan qamariah yang ternyata dibenarkan oleh ahli falak atau ahli anstronomi. Allah SWT mengajarkan, bahwa ada pergeseran waktu antara dua hisab tersebut. Bahwa setiap 100 tahun hisab syamsiah akan bertambah tiga tahun menurut hisab qamariah. Atau setiap 33 tahun plus 4 bulan bergeser satu tahun.
Maka sama-sama benar mereka mengatakan, bahwa usia Rasulillah SAW hanyalah 61 tahun lebih sedikit karena pakai hitungan syamsiah. Dan benar juga yang mengatakan 63 tahun karena pakai hisab qamariah.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman
Total, 300 tahun menurut hisab syamsiah menjadi 309 menurut hisab qamariah. Maka terjawablah pertanyaan mereka dan Tuhan tidak mencla-mencle. Sekaligus mengajarkan, bahwa hitungan tahun boleh-boleh saja pakai syamsiah atau qmariah. Tuhan tidak mendiskreditkan: syamsiah milik non muslim dan qamariah milik islam. Syamsiah menghitung pakai jasa matahari, dan qamariah pakai jasa rembulan.
Jelaslah, bahwa hitung-hitungan itu lintas keyakinan dan lintas agama. Perkoro mau membuat identitas sendiri, seperti tahun baru hijriah yang diawali bulan Muharram, itu sah-sah saja dan bagus sebagai karakter dan identidas muslim. Tapi sekali lagi bukan bagian dari sendi keimanan.
*Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag adalah Mufassir, Pengasuh Rubrik Tafsir Alquran Aktual HARIAN BANGSA, dan Pengasuh Pondok Pesantren Madrasatul Qur’an (MQ), Tebuireng, Jombang.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Memetik Hikmah dari Kepemimpinan Nabi Daud dan Nabi Sulaiman
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News