Tafsir Al-Hajj 11: Tidak Ada Kaitan Antara Rezeki dan Taqwa

Tafsir Al-Hajj 11: Tidak Ada Kaitan Antara Rezeki dan Taqwa Dr. KH. A. Musta'in Syafi'i.

Oleh: Dr. KH. Ahmad Musta'in Syafi'ie

Rubrik Tafsir Al-Quran Aktual ini diasuh oleh pakar tafsir Dr. KH. A. Musta'in Syafi'i, Mudir Madrasatul Qur'an Pesantren Tebuireng Jombang, Jawa Timur. Kiai Musta'in selain dikenal sebagai mufassir mumpuni juga Ulama Hafidz (hafal al-Quran 30 juz). Kiai yang selalu berpenampilan santai ini juga Ketua Dewan Masyayikh Pesantren Tebuireng.

Tafsir ini ditulis secara khusus untuk pembaca HARIAN BANGSA, surat kabar yang berkantor pusat di Jl Cipta Menanggal I nomor 35 Surabaya. Tafsir ini terbit tiap hari, kecuali Ahad. Kali ini Kiai Musta’in menafsiri Surat Al-Hajj': 11. Selamat mengaji serial tafsir yang banyak diminati pembaca.

11. Wa minan-nāsi may ya‘budullāha ‘alā ḥarf(in), fa in aṣābahū khairuniṭma'anna bih(ī), wa in aṣābathu fitnatuninqalaba ‘alā wajhih(ī), khasirad-dun-yā wal-ākhirah(ta), żālika huwal-khusrānul-mubīn(u).

Di antara manusia ada yang menyembah Allah hanya di tepi (tidak dengan penuh keyakinan). Jika memperoleh kebaikan, dia pun tenang. Akan tetapi, jika ditimpa suatu cobaan, dia berbalik ke belakang (kembali kufur). Dia merugi di dunia dan akhirat. Itulah kerugian yang nyata.

TAFSIR

Taqwa itu urusan prestasi keimanan dan murni orientasinya ukhrawi, kehidupan di akhirat nanti, surga imbalannya. Tak ada konsekuensi logis antara ketaqwaan dan rezeki. Tidaklah yang paling bertaqwa mesti paling banyak uangnya. Tidaklah yang paling banyak ibadahnya, pasti paling banyak asetnya.

Sedangkan rezeki adalah murni pemberian Tuhan secara bebas tanpa diskriminasi agama dan kepatuhan. Bagi Tuhan, pokoknya memberi, titik. Tidak pandang siapa pun dan tanpa pertimbangan dari siapa pun.

Nyatanya, orang terkaya di dunia bukanlah dari kalangan muslim. Justru dari mereka yang nonmuslim, seperti Elon Musk, Larry Elison, Bernard Arnault, Warren Buffet, dan sebagainya.

Sama-sama dari kalangan sahabat Nabi yang patuh, ahli sejarah mana yang tidak kenal kesufian Abu Dzarr al-Ghifari R.A. Tapi keseharian dia bersama keluarga hidup sangat sederhana. Meski begitu, Rasulullah SAW pernah mengisyaratkan, dialah orang yang menghadap Tuhan menuju surga “sendirian”.

Siapa pula yang tidak kenal Abd al-Rahman ibn ‘Auf R.A. Datang ke Madinah dalam kondisi tangan kosong, tanpa punya dirham. Tapi punya iffah yang dalam, tidak mau dibantu sama sekali. Dia meminta agar ditunjukkan “pasarnya mana?”. “dulluni ila al-suq”. Lalu berbisnis di pasar dan dalam waktu singkat menjadi sahabat terkaya nomor dua setelah sahabat Utsman ibn Affan R.A, menantu Rasulullah SAW.

Ya, tapi suatu kali Rasulullah SAW pernah mengisyaratkan, bahwa kelak Abd al- Rahman ibn Auf masuk surga sambil ngesot, berjalan pakai pantat. “yadkhul al-jannah habwa..”. Mendengar ucapan nabi itu, dia bersedih dan spontan mensedekahkan sekian banyak hartanya demi bisa masuk surga sambil berjalan normal.

Meskipun kenyataan di lapangan seperti itu, tetapi Allah SWT menjanjikan khusus bagi orang yang bertaqwa diberi kemudahan dalam urusannya. Pasti diberi keluasan rezeki yang datang tak terduga-duga sebelumnya. Ada saja jalan keluar saat menghadapi problem. Ada saja cara Tuhan memberi rezeki. (al-Tahrim: 2-3).

Artinya, orang yang bertaqwa kepada-Nya dengan benar, maka pasti dijamin hidupnya berkecukupan (makhraja). Ingat, Tuhan tidak menjanjikan kaya raya, tapi berkecukupan. Hidupnya nikmat dan longgar, tidak akan pernah jatuh melarat hingga cari-cari utangan, apalagi meminta-minta.

Sekali lagi, orang beriman itu tidak akan bisa jatuh miskin. Lha kok sampai ada yang sampai jatuh melarat, itu pasti ada yang salah di hadapan Tuhan. Mungkin ada amanah yang diterlantarkan, seperti orang berilmu mendalam tetapi tidak diamalkan, tidak diajarkan. Penulis punya contoh banyak, antara lain:

Seorang santri hafidz al-qur’an mutqin, hafalannya mantap dan bagus. Bacaannya fasih dan indah. Sang kiai tertarik dan diambil menantu dijodohkan dengan cucunya. Dalam perjalanan membangun rumah tangga, namanya santri yang tidak puya modal uang cukup, dia harus kerja keras demi menghidupi keluarga.

Bahkan berdagang ke mana-mana sampai sering kali meninggalkan mengajar. Itu dia lakukan, selain tuntutan keluarga, karena kiainya sudah wafat, jadi tidak ada yang disegani. Subhanallah... bukannya mendapat rezeki banyak, malahan punya utang banyak.

Dan Tuhan hadir memberi teguran. Suatu malam dia bermimpi kehadiran sang kiai yang sudah lama wafat memberi kitab kepadanya dan menyodorkan dengan lembut. Dia terbangun dan paham takwil mimpi tersebut. Yakni, sebuah isyarat agar kembali mengajar dengan serius seperti yang dikehendaki kiai dulu saat memungutnya menjadi menantu. Dan spontan diputuskan “mengajar, titik”.

Awalnya dia ragu karena dihantui pertanyaan “Lha terus, keluargaku makan apa, belanjaan dari mana dan seterusnya?”. Itu wajar, karena zaman dulu honorarium mengajar di pondok pesantren itu sangat minim, jauh di bawah UMR dan tidak cukup. Ya, tapi keputusan mengajar adalah harga mati.

Dan, betul. Awalnya sering bertengkar dengan istri karena urusan uang belanja. Tetapi akhirnya sama-sama menyadari dan ikhlas. Lambat laun terasa ada perubahan, di mana rezeki semakin hadir. Akhirnya menjadi kiai terhormat dengan rezeki cukup, bahkan berlebih. Itulah berkah ikhlas mengajar dengan istiqamah. “Tak kan pernah merugi berbisnis dengan Tuhan”.