Oleh: M Mas’ud Adnan --- Kami harus membuat sesuatu yang baru, investasi yang baru (dalam momentum HUT Surabaya) yang menarik masyarakat bekerja di sana.
Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi.
Baca Juga: Korban Begal Perempuan di Surabaya Tewas
HARI ini, 31 Mei 2021, warga Kota Surabaya memang sedang merayakan HUT ke-728, meski tanpa hingar bingar seremonial mengingat pandemik Covid-19 belum berlalu. Semua warga kota Surabaya – termasuk saya – tentu berdoa semoga momentum HUT ke-728 ini menjadikan kota Surabaya lebih baik. Terutama dalam memberikan pelayanan publik dan menyejahterakan warga kota Surabaya yang kini mencapai 2.874.413 jiwa
Kota Surabaya telah melambung tinggi. Terutama secara opini publik. Prestasi Wali Kota Tri Rismaharini memang cukup bagus saat memimpin kota pahlawan ini. Wanita berjilbab itu bisa “memberesi” birokrasi dan juga menghijaukan Kota Surabaya.
Risma – panggilan akrabnya – memang mantan Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) serta Kepala Badan Perencanaan Kota Surabaya (Bapekko). Jadi ia sangat berpengalaman di bidangnya.
Baca Juga: Target Menang Total, PDIP Gresik Pasang Ribuan APK Yani-Alif dan Risma-Gus Hans
Bu Risma menjabat Wali Kota Surabaya dua periode. Mulai 2010 hingga 2020. Selama 10 tahun itu ia meraih 322 penghargaan: 30 penghargaan internasional dan 292 penghargaan nasional.
Namun prestasi pemimpin atau kepala daerah tentu tak bisa diukur dengan penghargaan semata. Apalagi penghargaan itu kadang subyektif bahkan politis. Tergantung siapa dan lembaga apa yang menganugerahkan.
Nah, parameter paling obyektif untuk mengukur sukses kepala daerah adalah manfaat yang dirasakan warganya. Setidaknya kita mengacu pada kaidah: tasharraful imam 'larra'iyah manuthun bislmaslahah. Artinya, kebijakan seorang pemimpin atas rakyatnya bergantung pada kemaslahatan.
Baca Juga: Yakini Kebenaran Islam, Dua Pemuda Resmi Mualaf dengan Bersyahadat di Masjid Al-Akbar Surabaya
Risma dalam hal ini tak sepenuhnya berhasil. Saya beri contoh konkret. Yaitu Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Surya Sembada Kota Surabaya. PDAM Surya Sembada ini di bawah Pemkot Surabaya. Di bawah kewenangan Wali Kota Surabaya.
Selama 10 tahun menjabat wali kota, Risma tak bisa menyelesaikan air bersih di kota yang disebut-sebut metropolis itu. Bahkan banyak warga – atau ibu rumah tangga - di Kota Surabaya mengeluh karena air PDAM yang mereka bayar tiap bulan ternyata keruh, banger, hitam, dan kotor.
Ironisnya, air keruh PDAM Surya Sembada itu justru menimpa warga Kota Surabaya yang rumahnya hanya beberapa meter dari kantor PDAM Surya Sembada yang megah dan mewah itu. Tepatnya di Jalan Mayjen Prof Dr Mostopo no 2 Pacarkeling, Tambaksari Kota Surabaya.
Baca Juga: Mas Iin dan Eri Cahyadi Siap Sinergi Bangun Sidoarjo dan Surabaya
Salah satu contoh. Di Kedung Sroko Tambaksari, air PDAM yang mengalir ke rumah warga rata-rata mampet, di samping keruh dan kotor. Hanya keluar pada malam hari. Jika ingin keluar pada siang hari, maka harus disedot dengan pompa air. Konsekuensinya, air para tetangga yang lain mampet. Mereka pun berlomba memakai pompa air.
Konsekuensinya, mereka harus mengeluarkan biaya tambahan. Selain untuk beli pompa juga bayar listrik. Tiap hari. Beban biaya pun makin bertambah.
Ironisya, selama Risma menjadi wali kota – 10 tahun – masalah air bersih ini tak pernah disentuh. Atau paling tidak, tak pernah terselesaikan. Hingga sekarang.
Baca Juga: 13 Orang Kecolongan HP saat Nonton Kirab Maskot KPU Jatim
Belum lagi soal sungai di kampung-kampung yang kotor. Hingga sekarang banyak sekali sungai yang tak pernah dibersihkan.
Begitu juga jalan raya. Banyak sekali jalan raya di dalam Kota Surabaya yang sangat tak layak. Paling tidak, banyak jalan raya tidak rata dan penuh gronjalan.
Yang tak masuk akal, jalan gronjalan yang membuat tak nyaman para pengendara itu banyak kita temui di kawasan pusat kota. Salah satu contoh di kawasan Bratang. Bahkan juga dekat rumah dinas wali kota. Tentu masih banyak lagi. Apalagi di kawasan Surabaya Utara.
Baca Juga: Viral Tawuran Antarpelajar di Surabaya, Polisi Tidak Tahu
Reallitas jalan raya gronjalan itu sangat paradok dengan pencitraan kota Surabaya sebagai kota metropolis. Yang seharusnya rata dan mulus tanpa gronjalan. Saya kadang berpikir, masak wali kota Surabaya tak pernah melewati jalan penuh gronjalan ini. Atau memang kepekaannya kurang karena memakai mobil mewah sehingga relatif tak terasa? Karena mobilnya empuk?
Saat ke Singapura, saya pernah menginap di suatu keluarga di sebuah apartemen. Keluarga asal Bawean itu terdiri dari suami-istri. Mereka sudah jadi warga Singapura.
Saya iseng tanya apa pekerjannya. Ia menjawab: mencari lubang di jalan raya.
Baca Juga: Hari Santri Nasional 2024, PCNU Gelar Drama Kolosal Resolusi Jihad di Tugu Pahlawan Surabaya
Ia tiap hari naik sepeda onthel menyusuri jalan raya di seantero Singapura. Mencari lubang. Sekali lagi mencari lubang. Kalau ia menemukan lubang, langsung ia laporkan. Seketika itu petugas langsung bergerak menambal dan memperbaiki jalan yang berlubang atau rusak itu.
Logikanya, jika lubang sampai dicari berarti sangat langka. Ia memang jarang sekali menemukan lubang, meski tiap hari bersepeda menyusuri jalan raya.
Coba di Kota Surabaya. Lubang tak perlu kita cari. Apalagi jalan raya gronjalan. Mudah sekali kita menemukan. Di mana-mana. Termasuk akibat tambal sulam yang dilakukan seenaknya.
Baca Juga: Keluarga Korban Tenggelam di Kenjeran Tolak Autopsi, Polisi Ngaku Kesulitan
Nah, semoga problem-problem publik dan fasilitas umum yang diwariskan atau ditinggalkan Bu Risma itu menjadi perhatian Cak Eri dalam melanjutkan kebaikan yang telah dilakukan para wali kota sebelumnya.
Tentu juga soal problem kesejahteraan warga kota Surabaya. Bukankan kemiskinan masih mewarnai kampung-kampung di kota Surabaya. Apalagi masih banyak pengangguran. Termasuk di kalangan anak-anak muda.
Belum lagi problem narkotika dan kriminal yang memperburuk kota Surabaya.
Semoga Cak Eri bisa melanjutkan kebaikan dan mengurangi kemudlaratan. Syukur jika menghilangkan sama sekali. Amin. Wallahu’alam bisshawab.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News