SURABAYA, BANGSAONLINE.com - Kasus princess kekaisaran Huawei,
Meng Wanzhou menyita dunia. Tapi apa hubungannya dengan perang AS-Tiongkok? Juga
dengan panglima militer tak taat presiden?
Simak tulisan wartawan kondang, Dahlan Iskan, berjudul PHP Milley di Disway pagi ini, Minggu, 19 September 2021. Di bawah ini BANGSAONLINE.com menurunkan secara lengkap. Namun agar bisa baca tuntas sebaiknya klik langsung BANGSAONLINE.com karena di aplikasi aggregator sering terpotong. Selamat membaca:
Baca Juga: Tiongkok Banjir Mobil Listrik
MUNGKIN ini PHP lagi. Atau bukan. Sang wanita sudah ditahan tiga tahun –Desember nanti. Proses pengadilannyi pun sudah selesai: pertengahan Agustus lalu.
Hakim perlu waktu tiga bulan untuk menyusun berkas putusan. Vonis itu baru akan dibacakan akhir bulan depan.
Anda sudah tahu siapa sang wanita: princess kekaisaran Huawei, Meng Wanzhou. Yang sejak Desember 2018 ditahan di Vancouver, Kanada. Di sebuah rumah mewah miliknyi sendiri. Yang diawasi keamanan swasta selama 24 jam sehari –atas biaya yang ditahan.
Baca Juga: Temui Pengusaha di Vietnam, Jokowi Ajak untuk Berinvestasi di IKN
Pergelangan kaki Meng juga dipasangi gelang elektronik: agar termonitor ke mana saja kaki itu melangkah.
Mungkin ini bukan lagi PHP: yang menulis ini harian bukan kaleng-kaleng di Kanada, Globe and Mail. "Departemen Kehakiman Amerika Serikat lagi bicara dengan pengacara Meng Wanzhou yang memungkinkannyi kembali ke Tiongkok".
Memang Globe and Mail hanya mengutip sumber di Kanada. Tapi reputasi koran tersebut terjaga. Selama ini GM berhasil menjaga mutu dan standar jurnalisme. Yang tidak berhasil hanya menaikkan gaji wartawannya. Wartawan harian itu kini lagi mogok. Minta naik gaji 2 persen. Mereka juga mengancam akan menerbitkan harian online sendiri: The Globe Nation.
Baca Juga: Masjid Tertua di China Tak Ditempati Salat, Kenapa? Laporan M Mas'ud Adnan dari Tiongkok (3)
Rupanya ancaman itu berhasil membuat manajemen memenuhi keinginan wartawannya. Kemarin mulai dikonsep rumusan perjanjian bersamanya.
Enam bulan lalu juga pernah ada bocoran rahasia: Tiongkok lagi menyiapkan pesawat Boeing 757 untuk menjemput Meng. Tapi penjemputan itu tidak pernah menjadi kenyataan.
Tentu rumit sekali mencari jalan keluar bagi kasus high profile seperti itu. Terutama agar tidak sampai ada cermin yang terbelah. Terutama wajah Donald Trump ¬–yang diyakini berada di balik penyanderaan itu.
Baca Juga: Teater Kolosal Impresi Teh Menakjubkan, Untung 1 Yuan Dapat 1 Miliar, Laporan dari Tiongkok (2)
Kasus penahanan Meng adalah ibarat Royco bermerica bagi sop panas perang dagang Amerika-Tiongkok.
Kita masih ingat: senjata pembelaan Meng terakhir adalah dokumen yang akhirnya didapat dari Bank HSBC Hongkong.
Pihak Meng pernah mencari senjata seperti itu ke London: minta dokumen bank yang sama yang berpusat di ibu kota Inggris itu. Mintanya sampai ke pengadilan. Hakim pun menyidangkan permintaan itu: ditolak.
Baca Juga: CEO BANGSAONLINE Dicegat Pramugari dan Petugas Imigrasi di Bandara Fuzhou, Laporan dari Tiongkok
Pemerintah Tiongkok rupanya mulai harus menginjakkan sepatu ke kaki HSBC Hongkong. Kalau sampai HSBC tidak memenuhi permintaan itu bisa-bisa bangkrut pelan-pelan. Atau cepat.
Dokumen itu pun diserahkan ke pihak Meng. Itulah dokumen presentasi Meng, saat makan siang di HSBC Hongkong. Di dokumen itu terlihat Meng membeberkan apa adanya. Tidak ada yang ditutup-tutupi. Bahwa Huawei bekerja sama dengan Skycom yang punya bisnis di Iran. Huawei mengatakan Skycom sudah bukan anak perusahaan Huawei. Amerika menganggap sebaliknya.
Semua itu ada di presentasi Meng. Berarti, menurutnyi, Meng tidak menipu HSBC. Kalau praktik tersebut dilarang –karena Iran mendapat sanksi Amerika– tentu HSBC bisa menolak proposal tersebut. Nyatanya HSBC menerima.
Baca Juga: Gubernur Khofifah Kirim 4 Gus ke Tiongkok, untuk Apa?
Dokumen itu sudah diserahkan ke pengadilan tinggi di Vancouver. Itulah dokumen terakhir yang diserahkan ke pengadilan –sebagai bukti dari pihak Meng. Penyerahan dilakukan tepat menjelang sidang terakhir.
Proses persidangan itu sendiri begitu panjang: dua tahun. Meng dituduh menentang Amerika: berani melanggar sanksi yang dijatuhkan ke Iran.
Selama di tahanan rumah, Meng terlihat begitu tegar. Wajahnya selalu tampak sedikit tersenyum. Tidak pernah menunjukkan wajah yang tegang –pun saat dalam perjalanan menuju pengadilan. Gelang hitam di pergelangan kakinyi selalu disorot kamera wartawan.
Baca Juga: Jaksa Khusus Kasus Dugaan Korupsi Anak Presiden
Putri pendiri Huawei Ren Zhengfei itu ditangkap di bandara Vancouver saat transit menuju Meksiko. Dia sebenarnya sudah menghindari transit di kota Amerika. Tapi hubungan Tiongkok-Amerika memang lagi seperti Tom dan Jerry. Meng pun yang saat itu sudah menjabat direktur keuangan Huawei harus menjadi sandera Trump.
Seminggu ini Trump sendiri merasa dapat umpan yang berharga: yang saya pun sampai geleng-geleng kepala. Bahkan saya sampai ingat suasana menjelang dilengserkannya Presiden Gus Dur.
Trump, minggu ini, minta agar Panglima Militer Amerika Jenderal Mark Milley dihukum mati. Trump menganggap Jenderal Milley telah menjadi pengkhianat negara.
Baca Juga: Hebatnya Jurnalisme The New York Times dalam Tragedi Titan
Jangankan Trump, saya pun tidak menyangka kejadian itu: di akhir masa jabatan Trump, ternyata Jenderal Milley menelepon Panglima Militer Tiongkok Jenderal Li Zuocheng. Isinya: Milley menjamin Amerika tidak akan mendadak berperang atau pun menyerang Tiongkok. Kalau pun ada perintah itu –dari presiden sebagai panglima tertinggi– Milley akan memberi tahu Li Zuocheng.
Kontak telepon serupa diulangi lagi oleh Jenderal Milley beberapa waktu setelah Trump kalah Pilpres dari Joe Biden.
Ternyata militer itu seperti itu. Pun di Amerika. Bisa tidak mau taat pada perintah presiden. Dengan caranya sendiri.
Militer merasa bertanggung jawab kepada keselamatan negara. Melebihi risiko apa pun bagi diri mereka.
Militer harus menjaga negara, termasuk dari kecerobohan dan emosi tak terkontrol dari seorang presiden.
Di Amerika telepon-menelepon rahasia tingkat tinggi seperti itu memang bisa bocor ke publik.
Tentu Trump marah besar. Sekarang. Tapi Trump sudah kehilangan taringnya.
Saya kembali membayangkan: apa yang terjadi kalau pembicaraan telepon seperti itu bocor saat Trump masih presiden.
Seorang presiden, tanpa militer, ternyata bukan siapa-siapa.
Memang kalau –waktu itu– sampai terjadi perang antara Amerika-Tiongkok dunia akan ikut hancur. Tentu militer punya analisis sendiri. Berdasar gelagat, tindakan dan ucapan Trump saat itu.
Bisa jadi perang akan diperintahkan oleh presiden –sekadar untuk membuat Trump memenangkan Pemilu. Untung, waktu itu Trump tetap optimistis bakal menang. Kalau sudah tahu akan kalah bisa jadi perang benar-benar jadi senjata kemenangannya. Seperti George Bush dulu. Atau juga Obama.
Bahwa pembicaraan telepon itu diulangi lagi, tentu ada analisis lain. Trump bisa batal kalah kalau terjadi keadaan darurat perang. Maka militer mencegah agar perang jangan sampai terjadi.
Di Amerika, minggu ini lagi seru memperdebatkan itu: Jenderal Milley pengkhianat negara atau penyelamat negara.
Di Disway, Meng juga pasti seru diramal: berita koran Kanada itu PHP atau bukan. (Dahlan Iskan)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News