Sastra Interdisipliner Yes, Monodisipliner No!

Sastra Interdisipliner Yes, Monodisipliner No! Agus Salimullah.

Oleh: Agus Salimullah*

DUNIA kita saat ini boleh dibilang lesu darah. Lebih-lebih di dunia . Saya melihat tak banyak lembaga setingkat SMA atau MA yang membuka kelas bahasa yang notabene melingkupi materi tentang dan bahasa. Dari sekian banyak sekolah di suatu kota, mungkin hanya dua atau tiga sekolah yang membuka kelas bahasa.

Baca Juga: Di SMA Award 2024, Pj Gubernur Jatim Minta Konsisten Berprestasi Tingkat Nasional dan Internasional

Dari hal seperti itu saja sudah bisa terbaca. Bagaimana keseriusan pemerintah, dalam hal ini pengelola sekolah mengembangkan di sekolah. Tak cukup di sini saja, dengan alasan klasik, semisal keterbatasan anggaran, tidak sedikit pula perpustakaan sekolah yang mengenyampingkan buku bacaan tentang , baik itu antologi puisi, antologi cerpen, novel, atau buku-buku lainnya tentang .

Lantas, benarkah pula terjadinya kelesuan dunia kita juga dipengaruhi dominasi perspektif monodisipliner? Kita lihat saja bagaimana kita melibatkan disiplin lain dan cenderung melihat disiplin ilmu termasuk secara tunggal.

Dari perspektif monodisipliner, tumbuh anggapan bahwa studi hanya terbatas pada studi teks-teks , dan tidak memperhatikan kaitannya dengan elemen-elemen lain di luarnya. Corak perspektif monodisipliner dapat dilihat dalam karya-karya semacam An Introduction to The Language of Poetry (Chatman, 1968), Poetic Imagery (Wells, 1961), The Verbal Icon (Wimsatt, 1967), dan Aspects of The Novel (Forster, 1978).

Baca Juga: Tingkatkan Literasi Siswa, Khofifah Dorong Inovasi Digital di Perpustakaan

Perlu diingat, bahwa kajian karya dengan perspektif monodisipliner akan sangat merugikan itu sendiri. Sebab, perspektif monodisipliner justru mengarahkan studi hanya pada persoalan bagaimana meningkatkan keterampilan berbahasa, mengembangkan kosakata, atau paling luas mencari tema-tema kemanusiaan yang dianggap universal. Akibatnya, selain membuat semakin teralienasi dari disiplin-disiplin keilmuan lainnya, perspektif monodisipliner juga mereduksi makna, mengkaburkan peran dan menyesatkan cara pandang terhadap realitas.

Kita lihat di Amerika dan Eropa misalnya. Dominasi perspektif monodisipliner saat ini sudah ditinggalkan. Di sana, kajian telah mengalami kemajuan yang sangat pesat. Para ilmuan dan wan di kedua benua tersebut, saling bahu-membahu mengembangkan kajian-kajian hingga melampaui perspektif monodisipliner-yang mereka sebut sebagai perspektif interdisipliner. Dengan perspektif interdisipliner tersebut, orang dituntut untuk tidak hanya berkutat pada satu disiplin ilmu saja, namun secara lebih luas juga harus bisa melihat hubungan kajiannya dengan ilmu lain.

Sebenarnya ada beberapa keuntungan perspektif interdisipliner dalam studi . Pertama, studi tidak mengasingkan dirinya lagi dari studi-studi kemanusiaan yang praktis karena ketika bersinggungan dengan ilmu-ilmu sosial dan teknik, misalnya, studi harus mampu menjawab permasalahan-permasalahan pragmatis yang dihadapi oleh manusia.

Baca Juga: PT Megasurya Mas Beri CSR Beasiswa untuk 356 Siswa di Sidoarjo

Kedua, posisi karya akan sejajar dengan penelitian antropologi, sosiologi, sejarah, serta disiplin ilmu sosial lainnya. Sebab, melalui studi-studi tentang motif-motif (pola-pola) dalam karya , karya-karya tersebut akan menjadi semacam pola-pola berulang dalam kehidupan manusia. Karya akan menjadi monumen kemanusiaan pada tingkat lokal, nasional maupun internasional yang membantu manusia pada tingkat-tingkat yang berkaitan.

Ketiga, manusia yang tersentuh akan mempunyai cara melihat persoalan yang lebih utuh dalam hidup karena apa yang dipahaminya dari teks-teks -yang merupakan potret kehidupan-dapat dilihat dari sisi lain bergantung pendekatan dari disiplin lain. Dari cara pandang tersebut, manusia akan melihat perbedaan-perbedaan secara wajar, sehingga akan timbul toleransi terhadap perbedaan-perbedaan tersebut.

Keempat, bagi para pakar dari disiplin lain, studi interdisipliner akan memperkaya pengetahuan mereka tentang manusia yang meliputi keinginan-keinginannya, normalitas dan abnormalitasnya, penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan, kekecewaan-kekecewaannya sehingga para pakar tersebut lebih mempertimbangkan sisi-sisi kemanusiaan semacam itu dalam pembuatan keputusan yang berkaitan dengan disiplin-disiplin mereka.

Baca Juga: Khofifah Ajak Guru Jatim Bangun Generasi Cinta Damai dengan Ciptakan Suasana Harmoni di Sekolah

Kelima, dalam jangka panjang, akan terjadi perubahan pandangan di dalam masyarakat bahwa studi yang mulanya hanya dapat dilakukan oleh para ilmuwan , akan dapat dilakukan oleh ilmuwan dari disiplin lain, dan bahkan, orang biasa bisa melakukannya. Pendek kata, perspektif interdisipliner selain mendekatkan dengan disiplin-disiplin ilmu sosial lainnya, juga dapat mengembangkan cara pandang yang lebih utuh dan lebih luas terhadap realitas.

Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah, bagaimana cara mewujudkan kajian interdispliner, cara pandang serta pendekatan apa yang bisa digunakan? S Bassnett dalam Comparative Literature: A Critical Introduction (1995) menunjukkan ada satu pendekatan alternatif yang dapat digunakan dalam hal ini, yakni yang disebut dengan Sastra Banding. Istilah Sastra Banding (Comparative Literature), pertama kali muncul di Perancis tahun 1816, yang diambil dari rangkaian antologi pengajaran yang berjudul Cours de litterature comparee.

Kita tengok di Jerman. Istilah tersebut di negara ini disamakan dengan vergleichende literaturgeschichte yang muncul pada tahun 1854. Sementara itu, istilah comparative literature muncul di Inggris pada tahun 1848. Sementara di Eropa, banding pada awalnya digunakan sebagai perspektif untuk melacak “pengaruh” seorang penulis dari suatu negara atau budaya lain. Namun, dalam perkembangan selanjutnya terdapat kesulitan dalam mencari pengaruh tersebut, karena pikiran dan perasaan yang diungkapkan oleh suatu bahasa berbeda dengan pikiran dan perasaan yang dinyatakan dengan bahasa lain.

Baca Juga: Gandeng UI, Pesantren Algebra Bogor Optimistis Cetak Saintis dan Pemimpin Masa Depan

Sastra Banding merupakan studi yang melewati batas-batas sebuah negara tertentu dan studi tentang hubungan antara kesuan di satu pihak dan bidang lain dari pengetahuan, seperti seni, filsafat, sejarah, ilmu-ilmu sosial, ilmu-ilmu alam, agama, dan sebagainya di lain pihak. Pendeknya, Sastra Banding merupakan perbandingan satu karya dengan karya lain dan perbandingan antara karya dan lingkup ekspresi manusia yang lain (Bassnett, 1995:20).

Perspektif interdisipliner dengan pendekatan bandingnya (Comparative Literature), sangat perlu merangkul disiplin ilmu lain, seperti sejarah, sosiologi, antropologi, dan ilmu komunikasi untuk membaca karya . Dengan cara itu karya selalu dapat ditelisik sebagai teks yang tidak terpisah dari realitas sosial, konteks sejarah, dan disiplin ilmu lainnya yang begitu beragam. (*)

Penulis adalah Mahasiswa Program Pascasarjana Unisma Malang

Baca Juga: Pesan Hadratussyaikh: Guru Pakai Parfum, Jangan Ngajar Jika Ngantuk, Lapar, dan Marah

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO