Oleh: M Mas’ud Adnan -- Membaca laporan Majalah Tempo terbaru sangat gamblang. Bahwa Luhut Binsar Panjahitan berada dibalik skenario penundaan pemilu. Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar (Cak Imin) yang menyuarakan kali pertama penundaan pemilu tak lebih sebagai 'wayang' yang digerakkan dalang.
Begitu juga Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan. Bahkan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto yang kursinya perkasa di parlemen juga tak lebih sebagai “pion” atau “bidak”.
Baca Juga: Hartono dari Fraksi PDIP Resmi Jabat Wakil Ketua DPRD Kabupaten Mojokerto 2024-2029
Ini memang ironis. Partai Golkar yang sebelumnya selalu menjadi inisiator politik nasional, di bawah kepemimpinan Airlangga Hartarto justru menjadi pengekor para elit politik, terutama Luhut.
Libih ironis lagi, Tempo melaporkan bahwa Airlangga Hartanto sempat diancam akan dicopot dari posisinya sebagai Menko. Ini berarti Partai Golkar sudah tak bertaring seperti pada kepemimpinan para ketua umum sebelumnya.
Muncul spekulasi bahwa tiga ketum parpol (Cak Imin, Zulkifli, dan Airlangga) mudah tunduk dan bertekuk lutut karena diduga terlibat beberapa dugaan kasus korupsi. Terutama Cak Imin dan Zulkifli memang pernah dipanggil KPK. Bahkan tidak hanya sekali. Tapi beberapa kali.
Baca Juga: Pascaputusan MK, PDIP Gresik Minta Bawaslu Tindak Pejabat dan TNI-Polri Tak Netral di Pilkada 2024
Jodi Mahardi membantah bahwa Luhut yang menyetting agenda politik tak patut itu. "Kalau untuk orkestrasi penundaan pemilu ya enggga lah. Masa sih Pak Luhut bisa tekan-tekan partai politik,” bantah Jodi Mahardi kepada sejumlah wartawan, Sabtu (5/3/2022).
Meski demikian ia mengakui bahwa Luhut memang bertemu para pimpinan parpol. Menurut dia, dalam pertemuan hanya bicara masalah kebangsaan. Tapi – kata Jodi – Luhut memang mengutarakan pandangannya bahwa ia sangat mengagumi kepemimpinan Presiden Jokowi. Jodi menganggap itu wajar.
Tampaknya 'kekaguman' Luhut itu yang kemudian dikemas menjadi alasan utama penundaan Pemilu. Maka pimpinan parpol koalisi yang sudah tak berkutik secara hukum dan politik langsung 'koor' menyanyikan lagu 'setuju'.
Baca Juga: Umroh Pakai Hijab, DPR RI Minta Selebgram Transgender ini Ditangkap
Padahal, mereka punya ambisi besar mencalonkan diri sebagai presiden. Kecuali Zulkifli Hasan yang kabarnya diiming-imingi masuk kabinet tapi hingga sekarang belum ada realisasinya, para ketua umum parpol itu banyak memasang baliho dan menggerakkan para kader partainya untuk menggalang dukungan sebagai capres.
Cak Imin, misalnya, menggerakkan para kader PKB di Jawa Timur untuk deklarasi dukungan pada dirinya sebagai capres. Meski hingga sekarang elektabiltasnya tak beranjak dari nomor sepatu, tapi Cak Imin terus mengklaim bahwa dirinya diminta jadi capres oleh kiai.
Bahkan, Cak Imin beberapa kali mengganti namanya. Pernah memperkenalkan diri sebagai Gus AMI, kini berganti lagi menyosialisasikan diri sebagai Gus Muhaimin.
Baca Juga: Pj Wali Kota Kediri Sampaikan Bela Sungkawa Atas Wafatnya Agus Sunoto Imam Mahmudi
Airlangga Hartarto juga begitu. Ia banyak memasang baliho di beberapa titik strategis di Jawa Timur. Tak tanggung-tanggung. Ia memasang gambar dirinya bersanding dengan Khofifah Indar Parawansa, Gubernur Jawa Timur. Di bawahnya tertulis: kader Golkar.
Namun tampaknya tak ada efek apa-apa. Buktinya hasil beberapa lembaga survey menunjukkan tingkat elektabilitas mereka tak beranjak signifikan.
Khofifah memang punya pendukung fanatik. Terutama Muslimat NU. Atau warga NU secara umum. Tapi dukungan itu hanya untuk Khofifah. Bukan untuk Airlangga Hartarto. Artinya, meski Airlangga Hartarto memajang foto bersanding dengan Khofifah, tapi tidak otomatis dapat 'barokah' dukungan suara dari pendukung Khofifah.
Baca Juga: Pemilih PDIP dan Demokrat di Jombang Terbelah, Dukung Warsubi-Salman pada Pilkada 2024
Tapi sudahlah. Itu urusan mereka. Yang menjadi urusan rakyat – termasuk kita – adalah manuver politik penundaan pemilu. Karena pemilu, selain melibatkan semua rakyat, juga terkait langsung dengan konsitutusi.
Apalagi, mayoritas rakyat Indonesia menolak manuver penundaan pemilu. Memang Luhut mengklaim big data yang berisi percakapan 110 juta orang di media sosial mendukung penundaan Pemilu 2024. Namun, hal itu berbanding terbalik dengan hasil hitung empat lembaga survei.
Yang lucu, Luhut juga mengklaim pemilih Partai Demokrat, Partai Gerindra, dan PDIP mendukung wacana peundaan pemilu. Padahal tiga partai politik tersebut menyatakan menolak usulan penundaan Pemilu 2024.
Baca Juga: Dukung Swasembada Pangan, Menteri ATR/BPN: Butuh Tata Kelola Pertanahan yang Baik
Luhut juga mengklaim rakyat tidak mau uang Rp110 triliun dipakai untuk menyelenggarakan pemilu serentak.
“Nah, itu yang rakyat ngomong. Nah, ini kan ceruk ini atau orang-orang ini ada di Partai Demokrat, ada di Partai Gerindra, ada yang di PDIP, ada yang di PKB, ada yang di Golkar," klaim dia, dalam siniar di kanal Youtube Deddy Corbuzier, Jumat (11/3).
Walhasil, makin jelas posisi Luhut dalam manuver penundaan pemilu itu. Pertanyaannya, akankah Presiden Jokowi berhadapan dengan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri? Bukankah Jokowi jadi presiden diusung PDIP?
Baca Juga: Vinanda-Gus Qowim dapat Pesan Peningkatan Industri Pariwisata dari Jokowi
Sebab hingga hari ini, Minggu (13/3/2022), PDIP masih konsisten menolak penundaan pemilu.
“Sikap partai kami sudah disampaikan Sekjen, “ kata Politikus senior PDIP, Hendrawan Supratikno.
Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto mengatakan, Jokowi dan Megawati memiliki nafas yang sama. Tunduk pada konstitusi yang mengatur pemilu tiap lima tahun sekali. Artinya pemilu berikutnya tetap dilakukan pada 2024.
Baca Juga: Respons Ketua DPC PDIP Kabupaten Kediri soal Sejumlah Oknum Ngaku Kader dan Dukung Deny-Mudawamah
Hasto menjelaskan, pertemuan Megawati dan Presiden Jokowi dilakukan secara periodik. Kali ini dilakukan di Rumpin Bogor. Hal ini karena sejak awal, Megawati menaruh perhatian yang begitu besar terhadap gerakan penghijauan dan menjaga kelestarian alam raya.
“Nah terkait penundaan Pemilu, sikap Bu Mega dan Pak Jokowi kan senafas, taat, tunduk dan patuh pada konstitusi. Jadi karena sudah sama, ya tidak perlu dibicarakan. Nursery lebih penting bagi masa depan pembangunan yang pro lingkungan,” tegas Hasto.
Penolakan terhadap klaim Luhut dan Muhaimin yang tak berdasar itu – karena tak disertai data pendukung - tak hanya dilakukan oleh PDIP. Tapi juga langsung dipatahkan oleh hasil lembaga survei. Diantaranya, Lingkaran Survei Indonesia (LSI). Hasil survei lembaga yang dipimpin Denny JA itu menunjukkan bahwa sebesar 65,1 persen responden yang puas dengan kinerja Jokowi menentang penundaan Pemilu 2024. Sedangkan pemilih yang menyatakan tak puas dengan kinerja Jokowi, angka yang menentang penundaan pemilu jauh lebih besar yaitu sebesar 87,3 persen.
Selain mencermati hasil lembaga survei, saya juga mencermati grafik elektabilitas para tokoh nasional lewat media sosial. Kebetulan HARIAN BANGSA dan BANGSAONLINE.com punya tim terdiri dari anak-anak muda IT yang secara khusus mengelola media sosial. Termasuk tik tok. Follower tik tok HARIAN BANGSA dan BANGSAONLINE.com kini 2,4 juta.
Seperti pernah disampaikan tokoh pers Dahlan Iskan, viewers tik tok HARIAN BANGSA atau BANGSAONLINE.com terbesar di Jawa Timur. Satu video saja ada yang ditonton 56 juta viewers.
Nah, di konteks tik tok itu saya mencermati bagaimana komentar para viewers atau pemirsa. Ada dua kategori pemirsa. Pertama, para buzzer yang komentarnya sering ngawur dak tak sopan. Kedua, komentator netizen alami alias murni penonton.
Dari komentar neetizen murni itu saya mencermati bahwa penolakan terhadap penundaan pemilu cukup besar. Apalagi perpanjangan masa jabatan presiden.
Ya, mereka semua - rakyat dan pejabat tinggi negara - harus patuh konstitusi. Masa jabatan presiden RI cukup dua periode!
M Mas’ud Adnan, alumnus Pascasarjana Unair dan Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News