Oleh: Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag*
79. Ammaa alssafiinatu fakaanat limasaakiina ya’maluuna fii albahri fa-aradtu an a’iibahaa wakaana waraa-ahum malikun ya/khudzu kulla safiinatin ghashbaan
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty
(Adapun perahu itu adalah milik orang miskin yang bekerja di laut; aku bermaksud merusaknya, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang akan merampas setiap perahu.)
80. Wa-ammaa alghulaamu fakaana abawaahu mu/minayni fakhasyiinaa an yurhiqahumaa thughyaanan wakufraan
Dan adapun anak muda (kafir) itu, kedua orang tuanya mukmin, dan kami khawatir kalau dia akan memaksa kedua orang tuanya kepada kesesatan dan kekafiran.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia
81. Fa-aradnaa an yubdilahumaa rabbuhumaa khayran minhu zakaatan wa-aqraba ruhmaan
Kemudian kami menghendaki, sekiranya Tuhan mereka menggantinya dengan (seorang anak) lain yang lebih baik kesuciannya daripada (anak) itu dan lebih sayang (kepada ibu bapaknya).
TAFSIR AKTUAL
Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana
Setelah diuji tiga kali dan tidak lulus, Musa harus meninggalkan guru spiritualnya yang sudah susah payah dicari-cari. Tentu saja Musa sangat kecewa. Tapi apa boleh buat, nasi telah menjadi bubur. Kebesaran jiwa guru Khidir adalah tidak marah sama sekali saat calon muridnya membandel.
Meskipun pada akhirnya harus diusir, tapi tidak berarti itu kegagalan total. Musa tetap menjadi nabi, meski gagal menjadi murid Khidir. Khidir tetap berkenan memberi wejangan berharga, tapi terbatas hanya seputar apa yang diujikan saja. Yakni pada seputar perahu yang dirusak, anak kecil yang dibunuh, dan pagar rusak yang direnovasi tanpa upah.
Andai saja Musa mau bersabar, mau diam sebentar dan tidak menyoal apa-apa sampai Khidir sendiri yang menjelaskan tiga persoalan membingungkan tersebut, niscaya Musa dan seluruh umat di dunia ini akan mendapatkan ilmu menakjubkan, hikmah muta’aliah, hikmah tingkat tinggi dari seorang mahaguru Khidir A.S.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok
Dari sini kita mengerti, bahwa tidaklah bahwa kecerdasan, intelegensi (IQ) itu satu-satunya yang menyebabkan seseorang sukses. Cerdas memang perlu, tapi tidak kalah pentingnya adalah emosi, kesabaran, kedewasaan, kematangan berpikir. Pada ayat ini, bahwa Musa gagal dalam uji emosi dan kesabaran (EQ), bukan pada IQ atau kecerdasan. Justru temuan akhir, malah spiritual (SQ) menjadi penyempurna keberhasilan, mendampingi IQ dan EQ.
Khidir A.S. memberi contoh kepada semua guru, pengajar, atau pendidik. Bahwa, meskipun anak didik tidak bisa menjawab soal ujian semester dengan baik, tidak naik kelas, atau bahkan tidak lulus ujian akhir, tapi tidaklah boleh disayangkan apalagi dimarahi. Tetap didekap dan dirangkul dalam kehangatan ilmu dan kasih sayang.
Terhadap kepentingan ilmu, Khidir tidak membiarkan begitu saja materi uji yang tidak bisa dijawab sang murid. Karena hal itu akan menimbulkan kebimbangan berlarut-larut dan ketidakpastian keilmuan murid. Khidir A.S. berkenan menjelaskan setiap soal yang diberikan dan tidak dimampui sang murid menjawabnya. Dengan demikian murid menjadi mengerti hakikat ilmu dan jawaban yang sebenarnya.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata
-------
REFLEKSI UJUNG TAHUN 2020
Berikut nanti akan dipapar evaluasi Khidir A.S. terkait tiga materi tes yang tidak bisa dijawab Musa A.S.. Namun ada baiknya kita mengevaluasi diri sebelum mengikuti evaluasi Khidir nanti. Hal demikian itung-itung sebagai tulisan sela memanfaatkan moment berharga, akhir tahun 2020.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman
Bahwa hal yang paling populis mewarnai tahun ini adalah Corona, Covid-19, atau pandemik. Hampir semua tatanan kehidupan berantakan karenanya, tidak hanya ekonomi, keimanan, pola pikir bahkan ibadah pun malang kadak dan nggak genah.
Dalam diri manusia itu ada sensorial (usaha lahiriah, prokes) dan ada spiritual (iman, tawakkul). Jika salah satunya dominan, maka yang lain pasti kalah. Jika lebih dominan protokol kesehatannya, maka “Tuhan”nya akan terpinggirkan dan sebaliknya. Agama mengajarkan agar keduanya dipakai secara benar, sementara kaum sufi lebih mengedepankan spiritual.
Ingat kisah pak ustadz tentang nabi Musa A.S. yang sakit gigi. Merengek-rengek memohon kesembuhan kepada Allah SWT. Disuruhnya ambil daun yang ditunjuk, dihaluskan, dan dilaburkan di gigi yang sakit. Dengan izin-Nya, sembuh. Lain waktu sakit gigi lagi dan Musa langsung ambil daun yang sama, digunakan dengan cara yang sama dan tidak sembuh.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Memetik Hikmah dari Kepemimpinan Nabi Daud dan Nabi Sulaiman
Musa protes: “Ya Tuhan, gimana resep-Mu kok tidak manjur, seriuskah petunjuk-Mu itu?”. Tuhan menjawab: “Dulu, ketika sakit gigi pertama, kamu meminta kesembuhan kepada Aku, lalu Aku sembuhkan lantaran daun. Tapi kini kamu tidak meminta kesembuhan kepada-Ku, melainkan langsung kepada daun. Ya silakan protes pada daun itu..”.
Masa pandemi ini keimanan seseorang benar-benar diuji. Dalihnya mematuhi protokol kesehatan, tapi sejatinya sudah “kehilangan” Tuhan-nya, cuma tidak terasa apalagi diakui. Pajabat, aparat bisa bertindak erasional dan congkak. Lihatlah, menteri kesehatan meriwayatkan dari WHO, bahwa “yang wajib bermasker hanya yang sakit saja”.
Tapi pak polisi mengoperasi dan mendenda pengendara mobil yang nampak tidak pakai masker walau sendirian, di dalam mobil pribadi, ber-AC, mewah, serta sudah disteril. Mana lebih aman: sendirian di dalam mobil tertutup atau pakai masker di luaran? Tidak dimengerti, nalar apa ini.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Keputusan Bijak untuk Sengketa Peternak Kambing Vs Petani
Bangsa ini masih ingat, dulu ada ilmuwan asing memberi tahu, bahwa Corona sudah masuk Indonesia, namun menteri itu mencak-mencak. Pemerintah mempersilakan kapal pesiar bersandar di perairan pertiwi ini, bahkan membuka pariwisata seluas-luasnya dengan memangkas harga tiket. Sok dan barlagak. Akhirnya mingkem setelah melihat kenyataan.
Polemik di televisi tentang aduan masyarakat, di mana orang sakit cenderung dicovid-covid-kan. Jenazah dalam peti mati tidak boleh dibuka, langsung dikubur dengan jaminan sudah dimandikan, sudah dikafani, dst. Keluarga tidak percaya dan dibuka paksa, ternyata dusta. Karena sangat banyak, rasanya itu beneran dan bukan hoax.
Warga masjid masih terngiang, betapa pemerintah serius sekali menutup masjid, keras bahkan “kejam”, tapi tetap membuka pasar, perusahaan, dll. Meskipun sudah mematuhi protokol kesehatan, tetap saja masjid harus ditutup. Ilmuwan, kiai, ustadz pro pemerintah meneriakkan dalil-dalil agama mendukung pemerintah. Bahkan, masjid istiqlal-pun sempat tidak menyelenggarakan shalat jumah, padahal jamaah sudah datang memadati dengan protokol kesehatan super ketat.
Sekarang dan sekarang, justru si pandemi itu jauh lebih ganas dan lebih banyak menelan korban. Logikanya, fatwa menutup masjid itu eksis terus, bahkan malah lebih kenceng. Dan tiba-tiba pemerintah membolehkan masjid dibuka kembali. Kasihan para ustadz pesanan itu kecele dan tertipu. Dalil-dalil yang dulu mereka teriakkan, kini entah ke mana?
Terpujilah ilmuwan yang punya prinsip dan berkarakter serta tidak mudah apriori terhadap syahwat pemerintah. Sejatinya mereka berilmu tinggi, tapi karena menjabat atau berkepentingan, maka bisa jadi fatwanya tidak sejernih ilmunya.
Ini sekadar muhasabah, bukan mengungkit masa lalu, tapi proyeksi ke depan lebih baik. Utamanya kini, - konon – virus Corona bermutasi. Moga tidak lebih bijak dan Tuhan selalu memberkahi. Jika mau sehat, maka kita harus siap menelan pil sepahit apa pun. Barakallah fikum.
----------------
Pertama, Tentang Perahu yang Dirusak
Bahwa perahu itu milik beberapa orang miskin yang berjumlah sekitar sepuluh orang. Karena keterbatasan dana dan ingin bisnis bidang transportasi laut, mereka urunan untuk membeli satu perahu. Kemudian dioperasikan dan hasilnya dibagi bersama.
Tapi jalur pelayaran atau penyeberangan yang dilalui Khidir dan rombongan ini merupakan jalur tidak aman. Sering terjadi perompakan dan pembajakan. Mereka tidak segan-segan merampas barang-barang bawaan termasuk perahu yang melintas di jalur tersebut. Apalagi perahu yang dipandang punya nilai jual seperti milik kongsi para miskin ini. Qiraah lain membaca: “wa kan wara’ahum malik ya’khudz kull safinah shalihah ghasba”. Ada tambahan kata “shalihah” (bagus) sebagai sifat lafadh “safinah”.
Menuju pulau tujuan, Khidir sudah mengerti, bahwa di depan, di tengah laut sudah ada bajak laut yang menghadang dan hendak merompak. Perompak itu bernama Hudad ibn Budad yang sudah masyhur sebagai pembajak kejam. Agar perahu yang ditumpangi tidak menarik perhatian, maka perahu itu dirusak, sehingga nampak tenggelam. Nyatanya, pembajak itu berlalu begitu saja dan tidak tertarik. Maka selamatlah semua.
Ada dua kecerdasan yang dimiliki Khidir, hal mana tidak dimiliki Musa. Pertama, ada kalkulasi sangat matang yang dimiliki seorang Khidir A.S., yaitu lebih baik kehilangan barang sedikit demi menyelamatkan barang besar daripada kehilangan semuanya. Perahu rusak, tapi selamat lebih dipilih daripada perahu utuh tapi membahayakan. Bisa jadi perahu dirampas dan orangnya dibunuh.
Dalam kaedah fiqhiyah disebut “irtikab akhaff al-dlararain”. Mengambil risiko yang paling ringan dari risiko-risiko besar yang mesti dihadapi. Anda sedang berkendara dan bersama anda rombongan orang-orang shalih dalam satu mobil. Sebagai driver, anda sudah berada di jalur yang benar. Tetapi di depan ada bus ugal-ugalan yang mendahului kendaran lain dan memaksa masuk.
Jika anda tidak mengalah, tidak keluar dari badan jalan, maka tabrakan pasti terjadi dan risikonya sangat besar dari kedua belah pihak.Tapi jika anda banting kiri dan keluar dari badan jalan, maka akan menabrak seorang penjual bakso bersepeda pancal. Dalam agama, harus pilih banting kiri dengan risiko hanya satu orang korban. Dan itu bukan kejahatan, tapi keterpaksaan.
Hal yang sama. Lebih baik menggilas satu pengendara sepeda motor yang tiba-tiba nyelonong atau memotong jalan dari pada menghindari tapi diri dan semua penumpang mobil hancur. Tentu, yang terbaik adalah keselamatan semua. Semoga Allah selalu melindungi kita.
Dalam pengadilan syari’ah islam, memang yang dihukum adalah pelaku, orang yang nyata-nyata menabrak (al-mubasyir). Tetapi ada alasan pembenar terhadap tindakan tersebut, sehingga terdapat syubhat dalam proses pengadilan. Alasan pembenar inilah selanjutnya meringankan terdakwa, setidaknya tidak dianggap sebagai pembunuhan sengaja yang berkonsekuensi qisas.
Pengadilan wajib mengadili sipir bus yang ugal-ugalan tadi sebagai penyebab mutlak (al-sabab) dengan menghadirkan bukti-bukti, seperti saksi hidup atau rekaman CCTV dan selanjutnya dia bisa dijatuhi hukuman kebijakan, denda, atau kurungan. Tapi tidak bisa dihukum mati karena bukan pelaku akhir atau eksekutor.
Tapi tidak begitu hukum lalu lintas kita. Bahwa yang salah hanya si penabrak tukang bakso saja, karena itu kenyataannya di TKP, tanpa memperkarakan sopir bus ugal-ugalan dan penyebab nyata, bahkan sengaja membahayakan nyawa orang banyak. Di sini, kearifan hakim sangat diperlukan, demi keadilan. Mudah-mudahan ada pemegang kebijakan yang mengerti.
Bisa dibayangkan, andai perahu tidak dirusak, lalu dirampas pembajak, maka betapa sengsaranya bagi para kongsi miskin, di mana harta satu-satunya yang merupakan sumber rezeki lenyap. Mereka menderita dan tidak bisa menghidupi anak dan keluarga seperti biasanya.
Pembolehan mengorbankan barang sedikit demi menyelamatkan sesuatu yang lebih besar ini sifatnya umum, bahkan hingga harta anak yatim-pun boleh diberlakukan demikian. Misalnya, mengambil sebagian aset anak yatim kemudian diberikan kepada preman jahat demi keamanan aset.
PERBEDAAN FAQIR DAN MISKIN
Ada delapan kelompok yang berhak menerima santunan atau zakat dan yang terdepan adalah orang Faqir (al-fuqara’), kemudian orang Miskin (al-masakin) seperti ditera pada al-Taubah:60. Yang dimaksud adalah mereka yang kekurangan materi, harta, atau penghasilan dan bukan kurang ibadah atau keimanan.
Beberapa ulama menyamakan antara keduanya dan beberapa membedakan. Al-imam al-Syafi’ie termasuk yang membedakan antara si Faqir dan si Miskin. Bahwa faqir lebih parah daripada miskin. Al-Ghazaly menggunakan rumusan model perimbangan budget, yaitu perbandingan antara debet (dakhl) dan kredit (kharj). “Man kan dakhluh aqall min kharjih”. Ketika penghasilan lebih sedikit ketimbang kebutuhan atau pengeluaran.
Kurang-kurang sedikit itulah Miskin, di mana seseorang masih bisa hidup tenang meski tidak nyaman. Miskin, artinya diam, tenang, dan tidak gelisah. Semakin kurang, semakin tidak mencukupi, maka semakin jatuh ke level Faqir, orang yang sangat butuh. Abu al-Qasim al-Ghazy mencontohkan, orang yang butuh biaya hidup sepuluh, tapi penghasilannya cuma sembilan, delapan atau tujuh dan seterusnya.
“.. amma al-safinah fakanat li masakin ya’malun fi al-bahr”. Satu perahu itu milik beberapa orang miskin untuk dipakai kerja di transportasi laut. Artinya, orang miskin itu masih punya harta, meski sedikit. Itulah kongsi pemilikan perahu. Juga punya pekerjaan tetap, yaitu kerja di laut, meski hasilnya tidak banyak. Ya, karena dibagi bersama.
Tidak sama dengan keadaan orang Faqir yang memang totalitas melaratnya dan tidak punya apa-apa. Tidak punya harta sebagai aset dan tidak juga punya pekerjaan yang menghasilkan. Begitu al-Baqarah: 273. “Li al-fuqara al-ladzin uhshiru fi sabilillah la yastathi’un dlarba fi al-ardl”. Orang faqir itu tak punya apa-apa dan tak bisa kerja apa-apa.
Artinya, sifat orang kaya itu (al-ghaniy), ada kalanya dia punya harta, aset cukup (ghani bi al-mal), meski tak punya pekerjaan cukup dan ada kalanya hanya punya pekerjaan yang cukup untuk hidup sehari-hari, tapi tak punya aset (ghaniy bi al-kasb). Yang umum, ya punya keduanya. Al-Ghaniy tidak boleh menerima zakat.
Kedua, Anak Yang Dibunuh
“Wa amma al-ghulam fa kan abawah mukminain fa khasyina an yurhiqahuma thughyana wa kufra”. Dia anak yang bakal tumbuh durhaka dan menyesatkan kedua orang tuanya yang mukmin shalih. Makanya, sejak dini dibunuh saja dari pada sekeluarga nanti kafir dan durhaka semua.
Musa A.S. sama sekali tidak mengerti keadaan di depan macam ini, makanya protes keras. Tetapi tidak hanya terhenti di pembunuhan itu saja, Khidir memang benar-benar mengerti iradah Allah SWT selanjutnya, yaitu mengganti anak tersebut dengan anak yang shalih dan membahagiakan kedua orang tuanya kelak. Hal itu karena kesabaran mereka ditinggal mati anak kesayangannya.
Jika yang dimaksud Ghulam itu anak yang sudah dewasa, maka kebrutalan anak tersebut sudah kelewat batas sehingga kedua orang tuanya sendiri tidak mampu menasihati dan mencegahnya, bahkan selalu lolos dari jerat hukum yang berlaku waktu itu.
Dan Khidir datang untuk menghentikan kebrutalan tersebut, maka pantas orang tuanya ikhlas, di samping yakin bakal diganti dengan anak yang shalih. “fa aradna an yubdilahuma rabbuhuma khaira minh zakah wa aqarab ruhma”.
Sifat anak pengganti itu adalah “khair” (lebih bagus ketimbang yang dibunuh) yang rinciaannya adalah: “Zakah”, hatinya bersih, lembut, dan pemaaf. “Ruhma”, penuh hormat dan kasih sayang, santun, dan sosial. Hal mana tidak dimiliki oleh si Haisur, nama anak yang dibunuh Khadlir A.S.
Dari kata “ruhma” yang senada dengan kata “Rahim” timbul berbagai tafsir. Bahwa pada saat pembunuhan itu, si ibu sedang mengandung dan bayi itulah yang digadang-gadang sebagai anak shalih. Sebagai orang tua tentu bersedih anaknya dibunuh, tapi sekaligus gembira dengan kelahiran anak berikutnya. Dan keikhlasan mereka lebih tinggi.
Ibn Juraij mengatakan bahwa bayi itu perempuan yang cantik dan sangat shalihah, lalu dinikahi oleh seorang nabi dari kalangan bani Israel dan melahirkan keturunan yang bagus-bagus, ulama’ besar dan juru dakwah yang mukhlish. Al-Imam al-Kalby pro pada pandangan ini. Inilah pelajaran bersabar, pasrah yang membuahkan hal terbaik.
Ketiga, Pagar Direnovasi
Musa sudah dua kali gagal dan memasuki tes ketiga, yaitu jalan-jalan jauh dan melelahkan. Karena kelaparan-kehausan, Khidir A.S. bertamu ke rumah besar dan meminta suguhan, tapi ditolak. Segera dia keluar dan melihat pagar rumah itu rusak dan mau roboh, lalu diperbaiki. Usai perbaikan, Musa nyeletuk: “pantas kiranya tuan guru meminta upah barang sedikit..”. Ya sudah, Musa gagal untuk ketiga kalinya dan ini penjelasannya.
Bahwa tepat di bawah pagar yang rusak tersebut sesungguhnya ada “kanz”, sebut saja kotak berisikan emas yang sengaja ditanam di luar rumah untuk mengelabuhi penjahat dan di atasnya dibangun pagar sebagai tanda.
Pemiliknya adalah keluarga yang shalih, kaya, dan punya dua anak. Karena keadaan, maka dia sengaja menyimpannya di perut bumi dengan rasa pasrah kepada Allah SWT saja. Harapannya kelak, emas itu bisa dijadikan modal anak-anaknya dalam menuntut ilmu dan kebajikan. Allah sendiri yang mengatur dan benar, kedua ayah dan ibu itu meninggal dan kedua anaknya menjadi yatim.
Jadi, bisa dibayangkan jika pagar itu roboh, maka peti berisikan emas dan barang berharga itu akan nampak sehingga berpotensi lenyap, lalu gagallah cita-cita keluarga shalih tersebut. Khadlir mengerti itu, makanya dia merasa berkewajiban melindungi dengan caranya sendiri. Dijelaskan demikian, Musa hanya diam dan merasa tidak apa-apanya di hadapan maha guru Khadlir A.S.
Meski tiga kali diuji dan tidak lulus, tidak berarti Musa A.S. gagal total dalam menempuh karier akademik. Musa tetap menjadi nabi utusan Allah yang hebat dan perkasa. Terhadap kisah Musa dan Khidir di atas, beberapa bisa dipetik sebagai hikmah, antara lain:
Pertama, bahwa ilmu Allah itu sangat banyak, bervariasi, dan tidak terbatas. Seseorang tidak akan pernah bisa menguasai semua. Hanya disiplin tertentu saja yang dibisai manusia. Khidir A.S. sangat piawai dalam bidang kema’rifatan, tapi kurang di bidang kerja bimbingan publik. Sebaliknya Musa yang aktivis dan hebat dalam membimbing umat, tapi kurang di bidang kemakrifatan.
Memang manusia cuma punya satu “qalbu” (jantung-hati). “ma ja’al Allah li rajul min qalbai fi jawfih”. (al-Ahzab:4). Artinya, hanya bidang tertentu saja yang bisa dikuasai manusia. Makanya, orang bijak memberi panduan akademik dan berkata: “Lebih baik tahu banyak dalam sedikit hal, daripada tahu sedikit dalam banyak hal”. Itulah yang sekarang disebut sebagai “spesifikasi”.
Kedua, jangan cepat-cepat mengambil keputusan berdasar yang terlihat, yang terlintas dalam akal kita. Bisa jadi hal besar tidak terdeteksi oleh akal, tapi nyata adanya di depan nanti. Makanya, wong Jowo berkata: “ojo grusah-grusuh”. Di balik kulit durian yang lancip dan membahayakan, tersimpan buah amat lezat yang mengagumkan. Akal bukanlah satu-satunya rujukan, melainkan salah satunya.
Ketiga, kisah tersebut sungguh membuktikan tingginya derajat “karamah” yang dimiliki seorang Khidir A.S. Maka, karamah itu nyata adanya dengan dalil ayat kaji di atas. Siapa mengingkari adanya karamah, berarti mengingkari sebagian ayat al-qur’an, berarti kufur, pada sebagian isinya.
Tidak sama dengan tidak percaya terhadap orangnya, personalnya. Misalnya, “saya tidak percaya bahwa si Fulan punya karamah begini dan begini”. Itu sebuah pilihan dan tidak merusak iman.
Dari paparan ayat di atas, apakah karamah itu boleh ditampakkan, dipamerkan? Mayoritas ulama mengatakan tidak boleh, karena itu merupakan anugerah dan rahasia. Tetapi ada kekecualian, seperti situasi darurat dan emergensi. Atau demi pengajaran dan menghindari salah paham dan itu seperlunya saja, terbatas, dan tertutup.
“Terpaksa” Khidir A.S. menampilkan karamahnya yang bisa melihat kejadian di masa depan dengan membuka rahasia-rahasia yang dia ketahui. Ya, agar Musa tidak salah paham menuduh Khidir sebagai nabi biadab dan melanggar syariah. Ternyata di atas syariah yang terlihat ada syariah yang tak terlihat.
Dan penjelasan Khidir hanya sebatas yang diperlukan dan tidak lebih. Hanya di hadapan muridnya sendiri, Musa A.S. dan tidak dipublis. Begitu pula kemukjizatan yang ditampilkan oleh Rasulullah SAW sebagai penguat dakwah, meski tidak selalu diterima. Malah dituduh tukang sihir dan lain-lain.
Keempat, perjalanan Khidir bagian akhir itu sebagai dalil bahwa seseorang boleh meminta makanan secukupnya saat kelaparan. Itulah ikhtiar yang diwajibkan. Perkara dikabulkan atau ditolak itu urusan lain. Tidak benar hanya pasrah dan menunggu takdir “durian jatuh” saat kelaparan membahayakan. Bahkan Tuhan membolehkan makan bangkai jika terpaksa, secukupnya dan tidak berlebihan.
*Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag adalah Mufassir, Pengasuh Rubrik Tafsir Alquran Aktual HARIAN BANGSA, dan Pengasuh Pondok Pesantren Madrasatul Qur’an (MQ), Tebuireng, Jombang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News