Kesetaraan Warga Negara dalam Fikih Siyasah, Al-Dzimmah pun Alami Pergeseran Makna

Kesetaraan Warga Negara dalam Fikih Siyasah, Al-Dzimmah pun Alami Pergeseran Makna Prof Dr KH Imam Ghazali Said, MA (kanan berkopiah hitam) saat rekaman wawancara bersama M Mas'ud Adnan, CEO HARIAN BANGSA dan BANGSAONLINE.com di ruangan perpustakaan pribadinya. Rekaman itu dilakukan di kediaman pribadi Kiai Imam Ghazali Said di Pesantren Mahasiswa An-Nur Wonocolo Surabaya. Foto: BANGSAONLINE.com

Tetapi gagasan ini masih mempergunakan terma ahl . Konsep dan gagasan ini belum bisa diterapkan secara kontekstual di negaranya. Bukan saja karena Republik Islam Pakistan berdiri atas dasar nasionalisme kebangsaan, meski mayoritas penduduknya kaum Muslim, tetapi secara politik, partai preferensi Abu al-A’la al-Mawdudi, Jama’at -i- Islami, justru selalu kalah dalam beberapa kali pemilihan umum.

Upaya serupa dilakukan oleh Rashid al-Ghannushi (1941-sekarang) dalam bukunya Huquq al-Muwatanah: Huquq Ghayr al-Muslim fi al-Mujtama’ al-Islami. Beliau mengumpulkan ayat-ayat al-Quran dan hadis-hadis nabi tentang hak-hak warga negara di negara Islam. Beliau berusaha mendefinisikan ulang hak-hak ahl dzimmah atau minoritas non-Muslim dalam bingkai solidaritas sosial sebagaimana pernah dilakukan Khalifah Umar bin al-Khattab(584-644 M.

Di buku ini dijelaskan bahwa; Islam mampu menerima konsep “warga negara setara” dengan dalil-dalil fikih yang kuat dan rasional sehingga pendapatnya itu bisa diakui sebagai hasil ijtihad yang logis dan rasional. Sayangnya, al-Ghannushi harus mendekam dua kali di penjara Tunisia, suatu negara yang didirikan atas dasar nasionalisme skuler dan bukan negara berdasarkan agama tertentu, termasuk Islam. 

Kontribusi pemikiran Ghannushi masih sejauh gagasan di atas kertas. Belum lagi penggunaan konsep ahl al-dhimmah yang pasti memantik resistensi dari warga negara non-muslim. Ketika Partai al-Nahdah yang ia dirikan berkoalisi dengan pemerintah yang merupakan representasi partai nasionalis sekuler , ide “kesetaraan warganegarnya” dalam fikih siyasah tersebut seolah makin terabaikan dan terlupakan.

Tetapi, yang terpenting dari gagasan al-Ghannushi adalah semua warga negara dalam Negara Bangsa -apapun agama dan sukunya adalah al-muwathin (warga negara) dan menghindari term ahl dzimmah bagi non muslim. Gagasan kesetaraan istilah ini diperkuat oleh pemikir Mesir Fahmi Huwaidi dalam karyanya: Muwathinun la Dzimmiyun.

Konsep ahl sendiri telah mengalami pergeseran makna dari yang semula dipahami pada masa Rasulullah SAW. Awalnya, konsep ini pernah menjadi tonggak penting toleransi dan kebersamaan dalam membangun peradaban Islam yang bersandar pada prinsip “Tidak ada paksaan dalam agama” (al-Baqarah: 25) dan juga “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku” (al-Kafirun: 6).

Ahl al-dhimmah juga bukan merupakan syarat sah berdirinya suatu negara atas dasar syariat. “Dan sungguh janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong dirimu untuk bertindak tidak adil...”(al-Maidah:8). Tujuan utamanya adalah bagaimana negara memberi jaminan agar tidak terjadi represi terhadap non-muslim dan kaum minoritas.

Maka, jika implementasi konsep warga negara dapat mewujudkan tujuan utama tersebut serta kompatibel dengan prinsip Islam untuk membangun kesetaraan, tentu hal ini bagian penting dari substansi tujuan hukum Islam, seperti diteladankan oleh Umar bin al-Khattab ketika menerima pembayaran dari suku Tiglib dengan nama zakat dan bukannya jizyah. Suatu bentuk afirmasi bahwa suku Tiglib masih menunjukkan komitmen mendukung dan menjaga keselamatan negara. (bersambung).

Prof Dr KH Imam Ghazali Said, MA adalah pengasuh Rubrik Tanya Jawab Islam di HARIAN BANGSA, dosen Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) dan Pengasuh Pesantren Mahasiswa An-Nur Wonocolo Surabaya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO