MAKKAH, BANGSAONLINE.com – Prof Dr KH Imam Ghazali Said, MA, menegaskan kembali bahwa mabit atau bermalam di Muzdalifah adalah wajib haji.
Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya yang sekarang masih berada di Makkah karena menjadi pembimbing haji KBIH Takhobbar (Telkom) itu menyatakan bahwa ulama atau kiai yang berpendapat bahwa mabit di Muzdalifah itu sunnah haji adalah qawl atau pendapat yang lemah.
Baca Juga: 179 Penyuluh Agama Islam di Lamongan Ikuti CAT
“Dalam fikih itu qawl marjuh. Yang menyatakan sunnah itu pendapat kedua dan ketiga. Jadi lemah. Lha NU dengan alasan maslahat memililih dan mengikuti qaul yang sunnah itu,” tegas Prof Imam Ghazali Said kepada BANGSAONLINE, Senin (24/6/2024).
Karena itu, Kiai Imam Ghazali minta skema murur yang diterapkan Kementerian Agama (Kemenag) Repuplik Indonesia ditinjau kembali. Menurut dia, jemaah yang ikut murur terkena dam jika tanpa uzur syar’i.
"Bagi jemaah yang ikut murur tanpa uzur syar’i, ya terkena DAM," kata Kiai Imam Ghazali Said kepada BANGSAONLINE, Jumat (21/6/2024) malam.
Baca Juga: Bakal Gelar Kongres Ke-18, Khofifah Bersama PP Muslimat NU Silaturahmi dengan Menag RI Nasaruddin
Dam adalah denda atau tebusan yang harus dibayarkan karena melanggar salah satu rukun atau syarat haji. Dam yang dimaksud adalah menyembelih kambing.
Menurut Prof Kiai Imam Ghazali, murur artinya jemaah haji hanya melintas, alias tidak bermalam di Muzdaifah. Jadi, seusai wuquf di Arafah, jemaah haji diangkut naik bus menuju Muzdalifah. Tapi sampai di Muzdalifah, para jemaah haji tidak turun dari bus. Hanya busnya saja dipelankan lajunya.
Nah, dari dalam bus itulah para jemaah haji berniat mabit atau bermalam. Tapi mereka tak turun, apalagi menginap. Mereka langsung menuju Mina.
Baca Juga: Kepala Kemenag Lamongan Tegaskan Rekrutmen PPPK Transparan dan Gratis
Menurut Prof Kiai Imam Ghazali, murur diperbolehkan, tapi khusus bagi jemaah haji yang uzur syar’i.
Apa contoh uzur syar’i? “Sakit jantung yang jika terkena angin malam bisa berakibat fatal, terkena penyakit yang daya ingatnya menurun dan yang lain,” kata Prof Kiai Imam Ghazali memberi beberapa contoh uzur syar’i.
Karena itu mendesak pemerintah – dalam hal ini Kemenag – untuk mengavaluasi skema murur. Prof Kiai Imam Ghazali secara tegas menyatakan bahwa mabit di Muzdalifah itu wajib bagi jemaah haji.
Baca Juga: Kepala Kanwil Kemenag Jatim Berikan Pembinaan ASN di Lamongan
"Hadis tentang Siti Saudah yang minta izin kepada Nabi untuk berangkat menuju Mina lebih dahulu kurang relevan untuk menjadi dasar murur itu boleh. Sebab Siti Saudah itu sudah mabit bersama Nabi, tetapi mabitnya tidak lama seperti Nabi," tegas Prof Kiai Imam Ghazali yang tahun 2024 ini kembali membimbing jemaah haji KBIH Takhobbar Surabaya.
Lalu bagaimana hukum hajinya, jika jemaah haji murur tidak uzur syar’i dan juga tidak bayar dam?
Sembari menegaskan kembali bahwa mabit (bermalam) di Muzdalifah adalah wajib haji, Prof Kiai Imam Ghazali mengatakan, jika jamaah haji meninggalkannya, maka hajinya tetap sah.
Baca Juga: Antisipasi Pernikahan Dini, Kasi Bimas Islam Kemenag Lamongan Sebut Pentingnya Peran Orang tua
"Tapi jika ia tak mau membayar Dam, maka hajinya 'digantung' alias belum sempurna, sampai ia membayar dam. Jika ia terus tak membayar Dam sampai meninggal, maka ia punya 'utang pada Allah' dan hajinya digantung. Sebaiknya ahli warisnya melunasi utangnya itu," kata pengasuh Pesantren Mahasiswa An-Nur Wonocolo Surabaya itu.
Seperti diberitakan, Pemerintah - dalam hal ini Kementerian Agama RI - menerapkan kebijakan murur bagi para jemaah haji. Tujuannya untuk menjaga keamanan dan keselamatan jemaah haji akibat kepadatan dan penumpukan jemaah haji di Muzdalifah saat puncak ibadah haji.
Bahkan Menteri Agama RI Yaqut Cholil Coumas menyatakan bahwa salah satu kunci sukses pelaksanaan jemaah haji tahun ini adalah kebijakan smart card atau kartu nusuk dan skema murur.
Baca Juga: Kepala Kemenag Lamongan Buka Bimtek Pendampingan Implementasi Kurikulum Merdeka
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News