Oleh: Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag*
63. Qaaluu in haadzaani lasaahiraani yuriidaani an yukhrijaakum min ardhikum bisihrihimaa wayadzhabaa bithariiqatikumu almutslaa
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Nabi Daud Melahirkan Generasi Lebih Hebat, Bukan Memaksakan Jabatan
Mereka (para penyihir) berkata, “Sesungguhnya dua orang ini adalah benar-benar penyihir yang hendak mengusirmu dari negerimu dengan sihir mereka berdua dan hendak melenyapkan adat kebiasaanmu yang utama.
64. Fa-ajmi’uu kaydakum tsumma i'tuu shaffan waqad aflaha alyawma mani ista’laa
Kumpulkanlah segala tipu daya (sihir)-mu, kemudian datanglah dalam satu barisan! Sungguh, beruntung orang yang menang pada hari ini.”
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: 70 Persen Hakim Masuk Neraka
TAFSIR AKTUAL:
Musa A.S. dan kakaknya, Harun A.S. bertandang menghadap Fir’aun di istananya. Bak rusa masuk di kandang harimau. Meski semula takut, tapi dijalani karena diperintah Tuhan dan nyatanya aman-aman saja. Dialog terjadi, mukjizat dipamerkan sehingga Fir’aun mengkeret dan ciut nyali.
Bukan Fir’aun kalau tidak congkak dan pandai berlagak. Berteriaklah raja bangsat itu: “lihat si Musa dan Harun. Mereka tidak lebih dari tukang sihir murahan yang ingin mengusir kalian dari negeri ini. Lalu mengambil alih jalan hidup kalian yang benar nan mulia dan terhormat (al-thariqah al-mutsla)”.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty
Kehadiran nabi Musa A.S. dipandang sebagai pendatang rakus dan ambisius yang ingin merusak tatanan negeri Mesir yang damai dan mencaplok segala kenyamanan yang ada. Mau menguasai pribumi yang sudah turun temurun mengatur rumah sendiri.
Hal demikian umum dilontarkan oleh pribumi terhadap pendatang secara gebyah uyah tanpa memandang tujuan dan melihat sisi positifnya. Ratu Balqis, penguasa negeri Saba’, Yaman juga melakukan hal yang sama terhadap nabi Sulaiman A.S. yang kala itu juga sebagai raja di negeri Palestina. Penduduk Madinah dipelopori Abdullah ibn Ubay juga menuduh Rasulullah SAW begitu saat hijrah ke Madinah.
Hadratusy Syekh KHM. Hasyim Asy’ari juga berbuat demikian, tapi beda. Mereka (Fir’aun, Balqis, Ibn Ubay..) memandang pendatangnya sebagai perusak yang buruk perilaku dan harus ditentang. Padahal mereka (Musa, Sulaiman, Rasulullah SAW) datang untuk mencerahkan, mengangkat martabat, mereligiuskan, bukan menjajah dan mengeruk kekayaan.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia
Dan.. Hadratusy Syekh memandang Belanda yang memang penjajah dan perusak tatanan, perampok kekayaan nusantara, biadab, dan bajingan. Sebuah pandangan yang cerdas, arif, dan religius. Penjajah harus diusir demi merdeka total. Bisa mengelola negeri sendiri secara bebas, bisa beragama, bisa beribadah secara bebas.
Kala itu, beberapa gabungan pergerakan menginginkan Indonesia merdeka, pokoknya merdeka, dan berparlemen. Tapi KHM Asy’ari tidak mau. Sebab nantinya akan menjadi negara persemakmuran (commonwealth), di mana undang-undang kita masih disetir Londo.
Untuk itu, KHM. Hasyim Asy’ari dengan upayanya sendiri bersama para ulama, santri, dan rakyat. Beliau lantas mengeluarkan fatwa Resolusi Jihad dan tidak mau ditawar-tawar, termasuk Soekarno yang sempat datang ke Surabaya merayu agar menerima tawaran itu. Ditolak, ditolak. Meski berdarah-darah, nyatanya bisa merdeka bi idzn Allah.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok
Bisa dibayangkan, andai kita merdeka dan sekadar berparlemen, menjadi negeri persemakmuran, masih dipengaruhi LONDO, terus piye..?. tentu tidak bebas seperti sekarang. Mana yang lebih cerdas, mana yang lebih memikir kemaslahatan negeri ke depan... Sekadar pejuang atau pejuang yang kiai, yang santri...?
Kiai, santri, tidak sekadar berjuang dengan fisiknya, dengan akalnya, melainkan juga dengan spiritualnya.
Seperti nabi Musa A.S. yang tidak sekadar puas bisa menundukkan Fir’aun, sang raja congkak, melainkan juga kepada para ahli sihir dan penduduk Mesir setelah adu kesaktian secara totalitas, terbuka dan besar-besaran.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata
Kala itu, Fir’aun sangat serius dan mengerahkan semua kekuatan. Tidak hanya pemain di gelanggang, yaitu ahli sihir, bahkan semua rakyat agar hadir memberi semangat. Ya, semuanya diperintahkan datang ke gelanggang untuk menggerogikan Musa yang seorang diri. “Fa ajmi’u kaidakum tsumm i’tu shaffa...”.
“wa qad aflah al-yaum man ista’la”. Sungguh berbahagia, orang yang unggul dalam kompetisi ini. Ulama tafsir menganggap kalimat ini juga omongan mereka, berbisik satu sama lain. Mereka sangat percaya diri akan menang. Mengingat musuhnya hanya satu orang, masih muda lagi. Sementara mereka sudah senior, ahli, dan banyak.
Dikatakan sebagai berbahagia (wa qad aflah), karena jika menang akan mendapat hadiah banyak dari Fir’aun. Dan.. ternyata keadaan terbalik. Sihir mereka tak berdaya apa-apa di hadapan mukjizat Musa A.S.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman
*Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag adalah Mufassir, Pengasuh Rubrik Tafsir Alquran Aktual HARIAN BANGSA, dan Pengajar di Pondok Pesantren Madrasatul Qur’an (MQ), Tebuireng, Jombang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News