Oleh: Dr. KH. Ahmad Musta'in Syafi'ie
Rubrik Tafsir Al-Quran Aktual ini diasuh oleh pakar tafsir Dr KH A. Musta'in Syafi'i, Mudir Madrasatul Qur'an Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur. Kiai Musta'in selain dikenal sebagai mufassir munpuni juga Ulama Hafidz (hafal al-Quran 30 juz). Kiai yang selalu berpenampilan santai ini juga Ketua Dewan Masyayikh Pesantren Tebuireng.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Gunung-Gunung Ikut Bertasbih
Tafsir ini ditulis secara khusus untuk pembaca HARIAN BANGSA, surat kabar yang berkantor pusat di Jl Cipta Menanggal I nomor 35 Surabaya. Tafsir ini terbit tiap hari, kecuali Ahad. Kali ini Kiai Musta’in menafsiri Surat Al-Abiya: 34-35. Selamat mengaji serial tafsir yang banyak diminati pembaca ini:
MAKHLUQ HIDUP, WAJIB MATI
“Kull nafs dza’iqah al-maut”. Setiap ciptaan yang hidup pasti akan berakhir kematian. Nafs, artinya diri, jiwa, awak-awakan (Jawa), atau semakna dengan itu. Kata “nafs” bisa idlafah secara umum, bisa kepada makhluq berakal, tidak berakal bahkan dengan Tuhan, Allah SWT.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Nabi Daud Melahirkan Generasi Lebih Hebat, Bukan Memaksakan Jabatan
Tapi pada ayat ini, konteknya khusus untuk makhluq hidup dan tidak berlaku untuk Tuhan. Justeru Tuhan-lah yang mencipta kematian (maut) tersebut, sehingga dia pasti tunduk dan patuh secara mutlak kepada-Nya.
Maut itu “remote” Tuhan yang super canggih dan selalu ada di “tangan-Nya”. Siapa saja tersasar “remote-Nya”, pasti maut.
Jika seseorang bertanya: “Kapan remote itu mengarah ke diri kita..?”. Jawabannya: “Seperti televisi yang sedang “on”, dia tidak mengerti kapan diremote mati, off, oleh penggunanya”.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: 70 Persen Hakim Masuk Neraka
Kata nafs itu juga dimaknai sebagai paduan antara jiwa dan raga. Ruh dan jasad. Ada jasad, tanpa ruh namanya mayyit. Ada ruh tanpa jasad namanya demit.
Nafs juga sebutan bagi manusia yang oleh al-Fajr:27 dipanggil sebagai jiwa yang tenang, “Ya ayyatuha al-nafs al-muthma’innah”. Ini sapaan Tuhan khusus untuk hamba-Nya yang beriman. Sedangkan mereka yang ingkar, jiwanya kacau dan liar, kelabakan, kelayapan entah kemana. Lalu ditangkap paksa dan disiksa. Seperti polisi yang memburu bajingan melarikan diri.
Kok susah-susah, ya langsung di dor, beres. Baik nafs yang bagus maupun yang buruk tetap diadili di depan Tuhan.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty
Bahasa lain dari kematian adalah ajal. “Ajal” artinya jatuh tempo, wis wayahe, sudah waktunya. Jadi, kematian itu adalah ketetapan-Nya dan pasti terjadi serta tidak bisa ditunda maupun dimajukan. Catatan ajal setiap orang sangat akurat di memori malaikat Izrael. Dan tak bisa dihackking.
Jadi, kalau belum waktunya mati, sakit separah apapun, ya tidak bakalan mati. Sebaliknya, meskipun tidak sakit dan masih sehat, segar-bugar, kalau waktunya mati, ya mati.
Makanya ada pepatah Arab: ”Hishny ajaly”, yang menjaga diri saya adalah ajal saya sendiri. Ada orang yang lama sakit hingga sangat kurus dan lemah, tapi tidak mati-mati. Tapi ada pula yang sehat dan berkeringat karena sedang berolah raga, lalu mati di lapangan saat itu juga. Kematian itu satu, tapi jalannya banyak.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia
Ajal, sungguh tidak bisa diprediksi dan tidak pula ada rumusannya. Tidaklah yang lebih tua pasti mati duluan ketimbang yang masih usia muda. Ibarat buah kelapa, terserah pemiliknya. Mau diunduh saat kelapa sudah tua atau masih muda. Ya, memang terserah kebutuhan, tetapi trend sekarang menunjuk, bahwa es kelapa muda kian diminati. (bersambung)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News