Kontradiksi Jokowi, antara Kepala Rumah Tangga dan Kepala Negara

Kontradiksi Jokowi, antara Kepala Rumah Tangga dan Kepala Negara Suhermanto Ja'far. Foto: dok. pribadi

Oleh: Suhermanto Ja’far

Setiap tahun politik – terutama pilpres dan pileg – selalu muncul pernyataan pejabat publik - dalam hal ini presiden - yang mengundang kontroversi. Proposisi yang disampaikan presiden mengandung kaidah hukum berpikir (logika) disebut law of contradiction. Kaidah law of contradiction ini memunculkan fallacy of thinking yang masuk pada contradictio in terminis.

Contradictio in terminis merupakan pernyataan atau proposisi yang didalamnya mengandung penjelasan yang bertolak belakang bahkan bertentangan, sebagaimana pernyataan Presiden tentang netralitas pejabat publik dalam pilpres tetapi presiden boleh berpihak pada paslon tertentu.

Selama pemerintahan , kehidupan damai, egaliterianisme, demokrasi dan stabilitas telah terbangun dengan baik, tetapi sejak menjelang pilpres mengalami distorsi, sejak sebagai presiden mengatakan secara terang benderang tentang keberpihakannya pada paslon tertentu, sehingga menimbulkan suatu ketidak puasan masayarakat tentang sikap presiden .

Ini sudah terbukti dengan munculnya konflik-konflik antar rakyat yang pro dan menolak atas pernyataan presiden tersebut. Apalagi ditambah dengan perilaku elit-elit politik negeri ini - meminjam istilah Foucault - serangkaian perilaku kegilaan dalam pemilu kali ini. Konsensus akan kebersamaan, kebebasan dan persaudaraan justru dikorbankan oleh ambisi-ambisi politik kelompok. Benar sekali, jika saat ini kehidupan dan kedamain bersama untuk mewujudkan masyarakat egaliter, justru berubah menjadi ashabiyah-jahiliyah, homo homini lupus. Artinya, manusia adalah serigala bagi sesama manusianya.

Pemerintah (Negara) sebagai perwujudan etis bagi moralitas para warganya harus menjunjung tinggi kebebasan moralitas otonom (Sittlichkeit dalam istilah Hegel). Para elit politik harus mengembangkan perilaku politik dengan sikap relasi I and Thou (Martin Buber) menggantikan paradigma I and it (Marx dan Hobbes), yang cenderung menjajah (menguasai), sehingga setiap orang harus dimusuhi jika bukan kelompoknya. Orang lain (kelompok lain) merupakan bahaya (neraka) dalam bahasa Sartre.

Berdasarkan pada premis-premis tersebut di atas, Thomas Hobbes menyimpulkan bahwa keadaan normal adalah keadaan konflik terus menerus, brutal, agresif dan anarkhis dalam mempertahankan dan merebut kekuasaan. Keadaan alamiah pra-politik setiap individu adalah mementingkan diri sendiri. Watak alami manusia ini akan terbawa secara otomatis tatkala setiap individu akan membentuk suatu dunia bersama orang lain.

Dengan demikian jika ada orang memiliki keinginan yang sama mereka menjadi musuh. Mereka berusaha mencegah setiap orang mencapai tujuan dan mengalahkan satu sama lainnya. Akibatnya terjadi konflik terus menerus karena kesamaan dasar manusia mencegah orang mendapat kedudukan lebih tinggi yang bersifat tetap terhadap orang lain. Dalam keadaan alamiah ini, yang oleh Hobbes dijadikan gambaran dari hubungan antara manusia ketika tidak ada kekuasaan politik yang berdaulat, tidak ada hukum legal atau moral yang mengatur tindakan manusia. Kehidupan manusia berdasarkan keadaan alaminya bersifat miskin, terpencil, penuh bahaya, dan brutal.

Antara Netralitas dan Berpihak

Ambivalensi pernyataan presiden tentang netralitas dan keberpihakan mengundang reaksi dari banyak pihak, termasuk kalangan civitas akademika dari berbagai perguruan tinggi. Reaksi ini muncul dan menganggap presiden telah “mengkerdilkan demokrasi”. Pengkerdilan demokrasi muncul dalam diri presiden, karena muncul konflik kepentingan dalam diri presiden antara dengan kepala rumah tangga dalam .

Sebagai , Presiden adalah milik seluruh rakyat Indonesia yang berdiri di atas golongan dan tidak memihak pada kelompok tertentu. Sebagai kepala keluarga, presiden secara psikologis adalah milik keluarga, sehingga dalam ini, presiden berpihak kepada cawapres tertentu karena dia adalah anaknya.

Konflik kepentingan inilah yang menjadi penyebab reaksi sebagian rakyat Indonesia yang menilai presiden telah merusak demokrasi yang telah terbangun lama. Ini diperkuat dengan pernyataan presiden yang akan cawe-cawe dalam pilpres kali ini.

Lihat juga video 'Sejumlah Pemuda di Pasuruan Dukung Muhaimin Maju Calon Presiden 2024':


Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO