
BANDUNG, BANGSAONLINE.com – Habis Mulyono Terbitlah Mulyadi. Itulah judul yang tertulis di sampul Majalah Tempo terbaru. Edisi 19 – 25 Mei 2025. Tempo menyamakan Dedi Mulyadi, Gubernur Jawa Barat, dengan Mulyono – nama kecil Joko Widodo.
Maksudnya, selama menjadi pejabat, baik walikota Solo hingga presiden 10 tahun, hanya asyik masyuk dengan problem instan dan pencitraan tapi tak menyelesaikan akar persoalan.
“Dedi terlihat di mana-mana, tapi sesungguhnya ia tak menyelesaikan apa-apa,” tulis opini Tempo.
“Kita tahu ini cara efektif untuk menggaet simpati publik seperti dilakukan Joko Widodo,” tambahnya.
Sementara rakyat tak semakin sejahtera.
Sejatinya, mudah sekali untuk mengukur sukses atau tidak seorang presiden atau kepala daerah. Caranya kita ukur dari indikator pertumbuhan ekonomi. Inilah yang bisa kita lihat pada Jokowi.
Pada era Jokowi pertumbuhan ekonomi Indonesia selalu berkutat pada kisaran 5 %. Padahal saat kampanye Jokowi selalu menggembar-gemborkan target 7 %.
Yang meroket justru hutang negara secara gila-gilaan. Jokowi menjabat presiden sejak 2014, dengan utang warisan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebesar Rp 2.608,7 triliun. Pada era Jokowi utang pemerintah meroket mencapai Rp 8.502,6 triliun per Juli 2024. Ya, itulah data APBN yang diterbitkan Kementerian Keuangan per Juli 2024.
Gila. Ini berarti hutang negara pada era Jokowi naik berkali lipat. Lebih gila lagi, penarikan utang tersebut sejalan dengan pembayaran bunga utang yang tidak kalah besar. Hingga tahun 2024, 20 persen APBN hanya digunakan untuk membiayai bunga saja. Utang jumbo di era covid-19 juga membuat pemerintahan selanjutnya menanggung utang jatuh tempo Rp 800 triliun tiap tahun sejak 2025-2027.
Ironisnya, meski Jokowi tak berprestasi, tapi masih ingin menjabat presiden tiga periode. Untungnya masyarakat menolak, terutama para aktivis kelompok sipil.
Tampaknya trik menggaet simpati publik model Jokowi itu menular ke Dedi Mulyadi.
“Gaya kepemimpinan Dedi Mulyadi mungkin efektif menjaring simpati, tersebab publik yang mudah silau pada pemimpin yang populis tapi tak menyelesaikan akar masalah,” tulis Tempo.
Tempo menunjukkan contoh soal kebijakan Dedi Mulyadi yang dianggap simplistis. Yaitu soal mengatasi kenakalan remaja dengan mengirim ke barak militer. Menurut Tempo, ini cenderung militeristik.
Tempo juga memberi contoh lain. Yaitu pidato Dedi Mulyadi yang akan membagi-bagikan uang Rp 10 juta pada tiap keluarga, seandainya ia jadi gubernur Jakarta. Dalam hitungan Dedi Mulyadi, dengan APBD Rp 90 triliun, Jakarta leluasa leluasa menggaji 2,8 juta rumah tangga. Yaitu Rp 10 juta per bulan.
“Logika Dedi Mulyadi ini berbahaya,” tulis Tempo lagi. Membagikan langsung APBD, tanpa mekanisme anggaran melanggar Undang-Undang Keuangan Negara. Undang-Undang nomor 17 Tahun 2003 secara rinci mengatur APBD untuk pembiayaan dan belanja Pembangunan. Memang ada dana hhibah tapi itu untuk lembaga atau penduduk miskin.
Di negara-negara maju uang pajak kembali kepada masyarakat berupa jaminan Kesehatan, pendidikan, infrastruktur dan layanan-layanan dasar. Negara menjadi lembaga pengelola uang publik untuk kemaslahatan bersama.
Yang menarik, Tempo juga menyinggung jejak kepemimpinan Dedi Mulyadi saat menjadi Bupati Purwakarta dua periode. Ia selalu memakai kebijakan instan dan simplistis.
Hasilnya? “Indeks Pembangunan Manusia Purwakarta sampai Dedi Mulyadi selesai menjabat tak beranjak dari kategori sedang,” tulis Tempo.
Menurut Tempo, studi di Jurnal Pendidikan Indonesia edisi Januari 2022 menyimpulkan program “pendidikan karakter” Dedi Mulyadi terhambat banyak hal, terutama karena kontroversial dan minim sosialisasi.
“Dedi Mulyadi merasa cukup kebijakan publiknya mendapat like dan pengikut di kanal YouTube,” tulis Tempo.