KOTA KEDIRI, BANGSAONLINE.com - Mengaji kitab kuning sudah menjadi agenda rutin bagi santri Pondok Pesantren Lirboyo pada Ramadan, khususnya bagi santri yang sedang tidak pulang kampung. Pun begitu pada bulan Ramadan 1445 Hijriah atau tahun 2024 ini, mengaji kitab kuning juga dilakukan.
Meski seharian Kota Kediri diguyur hujan, tidak mengurangi minat sejumlah santri di sana untuk ikut mengaji kitab kuning di Masjid Agung Lawang Songo, bangunan yang sudah ada sejak abad ke-17 itu, Kamis (14/3/2024).
Baca Juga: Jaring Atlet untuk Porprov, Pordasi Kediri Gelar Kejurprov Berkuda di Lapangan Desa Wates
Mereka mempelajari berbagai aspek agama dan ilmu pengetahuan yang terkandung dalam kitab kuning, mulai dari tafsir Alquran hingga fikih yang dipandu salah satu kiai pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo.
Kitab kuning mencakup berbagai topik keislaman, mulai dari tafsir Alquran hingga fikih (hukum Islam), sejarah Islam, dan berbagai aspek lain dari agama dan ilmu pengetahuan. Selain itu, kitab kuning juga berisi literatur Arab yang digunakan sebagai referensi utama dalam tradisi pesantren.
Fuad, salah satu santri yang ikut ngaji kitab kuning, mengatakan, dalam kehidupan pesantren, kitab kuning memang menjadi salah satu sumber pembelajaran. Para santri belajar membaca, memahami, dan menghafal kitab kuning untuk mendalami ilmu agama Islam.
Baca Juga: Buka Rakerda Kejati Jatim 2024 di Kediri, Kajati: Pentingnya Penegakan Hukum Humanis dan Profesional
"Kami mengikuti kajian kitab kuning di Masjid Lawang Songo. Tapi tempat mengaji kitab kuning, sebenarnya tidak hanya di dalam masjid Lawang Songo saja, tapi juga ada di tempat lain di komplek Ponpes Lirboyo ini," ujarnya kepada BANGSAONLINE.com.
Menurut dia, untuk mengikuti ngaji kitab kuning ini, para santri memang bebas memilih ke tempat mengaji yang dipimpin oleh kiai yang mana. Sebab, sejak pagi hingga usai tarawih selalu ada jadwal mengaji kitab dan Alquran.
Baca Juga: Gandeng Peradi, Fakultas Hukum Uniska Adakan Ujian Profesi Advokat
Perlu diketahui, Masjid Agung Lawang Songo Pondok Lirboyo dibangun setelah 2 tahun Ponpes Lirboyo berdiri. Ponpes Lirboyo sendiri didirikan oleh KH. Abdul Karim menantu KH. Sholeh dari Banjarmlati, Kediri.
Karena Pondok Pesantren Lirboyo sudah berwujud dan kian hari semakin banyak santri yang berdatangan, KH. Sholeh Banjarmlati, sang mertua KH. Abdul Karim, menganggap belum sempurna kalau belum ada masjidnya.
Maka dari itu, 2,5 tahun setelah berdirinya Pondok Pesantren Lirboyo, tepatnya pada 1913 M, maka muncul gagasan dari KH. Sholeh untuk mendirikan masjid di sekitar pondok. Semula masjid itu amat sederhana sekali, tidak lebih dari dinding dan atap yang terbuat dari kayu.
Baca Juga: Uniska dan ID Consulting Jepang Teken MoU Strategis untuk Penyerapan Tenaga Kerja
Namun, setelah beberapa lama digunakan, lambat laun bangunan itu mengalami kerapuhan. Bahkan suatu ketika bangunan itu hancur porak poranda ditiup angin beliung dengan kencang.
Akhirnya KH. Muhammad, kakak ipar KH. Abdul Karim, mempunyai inisiatif untuk membangun kembali masjid yang telah rusak itu dengan bangunan yang lebih permanen. Jalan keluar yang ditempuh KH. Muhammad adalah menemui KH. Abdul Karim guna meminta pertimbangan dan bermusyawarah.
Tidak lama kemudian KH. Abdul Karim mengutus KH. Ya’qub, adik iparnya untuk sowan berkonsultasi dengan KH. Ma’ruf Kedunglo mengenai langkah selanjutnya yang harus ditempuh dalam pelaksanaan pembangunan masjid tersebut.
Baca Juga: Peringatan Hari Disabilitas Internasional, Mbak Chicha Berkomitmen Setarakan Hak Penyandang
Dari pertemuan antara KH. Ya’qub dengan KH. Ma’ruf Kedunglo itu membuahkan persetujuan, yaitu dana pembangunan masjid dimintakan dari sumbangan para dermawan dan hartawan. Usai pembangunan itu selesai, peresmian dilakukan pada tanggal 15 Rabi’ul Awwal 1347 H/ 1928 M.
Acara itu bertepatan juga dengan acara ngunduh mantu putri KH. Abdul Karim yang kedua, Nyai Salamah dengan KH. Manshur Paculgowang. Dalam tempo penggarapan yang tidak terlalu lama, masjid itu sudah berdiri tegak dan megah dengan mustakanya yang menjulang tinggi.
Dinding serta lantainya yang terbuat dari batu merah, gaya bangunannya yang bergaya klasik, dan merupakan penggabungan gaya arsitektur Jawa kuno dengan Timur Tengah.
Baca Juga: Sambut Hari Ibu, Ketua TP-PKK Kabupaten Kediri Usung Subtema Perempuan Berbudaya
Untuk mengenang kembali masa keemasan Islam pada abad pertengahan, dan atas prakarsa KH. Ma’ruf Kedunglo, pintu yang semula hanya satu, ditambah lagi menjadi 9, mirip kejayaan daulat Fatimiyyah. Makanya Masjid tua di Ponpes Lirboyo Kediri ini disebut juga sebagai Masjid Agung Lawang Songo atau Pintu Sembilan. (uji/mar)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News