IKN, Simbol Kemajuan atau Primitif dan Gagah-Gagahan

IKN, Simbol Kemajuan atau Primitif dan Gagah-Gagahan Mukhlas Syarkun. Foto: bangsaonline

Oleh: Mukhlas Syarkun

JAKARTA, BANGSAONLINE.com - Ibu Kota Nusantara () kembali menjadi sorotan. Publik mulai mencari jejak tentang landasan hukum itu dibangun. Celakanya, ternyata masuk kategori program atau proyek “illegal” (karena tidak tercantum dalam visi misi presiden). Mestinya DPR tidak membahasnya sehingga tidak terbit UU .

Baca Juga: Aksi Heroik Relawan Jalan Kaki ke IKN, Khofifah Titipkan Udeng Madura

Dari segi pendanaan, juga masuk kategori pendanaan yang manipulative. Sebab ketika mengumumkan , Presiden Jokowi menyatakan bahwa akan dibiayai oleh , dan hanya sedikit saja dari APBN. Kenyataannya hingga sekarang tidak ada . Mestinya prpyel itu dihentikan sampai datangnya . Tapi tetap dijalankan dengan mengambil dana APBN.

Tentu mengganggu pos-pos lain yang lebih urgen. Maka konsekuensinya naiknya pajak, tingginya UKT (sehingga banyak mahasiswa yang tidak daftar ulang), gizi buruk yang kemudian diikuti oleh laporan lambanya IQ rakyat Indonesia.

Keadaan ini mencerminkan indikator kemunduran, terutama akibat minimnya pos anggaran, akibat disedot .

Baca Juga: Menuju IKN, AHY Hadiri Peresmian dan Penyerahan Sertifikat Istana Garuda

Ironisnya, diopinikan sebagai bangsa Indonesia, karena mampu membuat ibukota bertaraf dunia.

Ini tentu makin kontra produktif. Apalagi dibangun dengan . Sementara sekarang bukan karena mampu membangun, tetapi mampu merawat ekosistem alam sekitar mengingat dunia dihadapkan pada kecemasan global perubahan iklim.

Mengopinikan sebagai juga tidak relevan dengan perkembangan dunia terkini yang lebih efisien, baik dari segi tempat dan personalia manusia. Sementara dengan bangunan yang megah, lebih relevan zaman-zaman primitif yang gemar pamer dan merasa bangga dengan gedung-gedung menjulang tinggi seperti piramid Firaun di Mesir.

Baca Juga: Menparekraf Sebut Investasi IKN dari Luar Negeri Sentuh Angka Rp1 Triliun

Tentu juga bukan zaman IT yang justru mengurangi gedung -gedung sebab semua pelayanan sudah berbasis digitalisasi.

Begitu juga yang didatangkan dari Cina, yang juga diopinikan sebagai . Padahal bangsa Indonesia 25 tahun yang lalu sudah menciptakan pesawat sendiri. Tentu secara teknologi jauh lebih maju pesawat daripada kereta. Jadi proyek dan kereta dari Cina itu bukan symbol kemajuan dalam pengertian sebagai negara yang berdikari dengan kaki sendiri, karena semua tinggal membeli. Apalagi membelinya dengan pos APBN yang yang seharusnya untuk perbaikan gizi anak-anak Indonesia.

Kepres memberikan konsesi 90 sampai 190 tahun juga semakin memperlihatkan, bahwa Indonesia tidak cukup modal, tapi nafsu membangun yang mengorbankan sesuatu yang sangat vital yaitu hutan sebagai paru paru dunia.

Baca Juga: Menteri AHY Siapkan Baseline Program Pertanahan dan Tata Ruang Untuk Transisi Kepemimpinan

Dari sini maka, lebih relevan sebagai simbol agar dunia melihat Indonesia sebagai negara maju. Padahal sejatinya kita justeru identik dengan tahun 50-an atau zaman era primitive. Jadi di era digitalisasi ini pembangunan bukan , tetapi hanya ambisi elit yang ingin terlihat gagah meskipun harus menguras anggaran yang seharusnya untuk pendidikan dan perbaikan gizi anak Indonesia. Bukankah demikian ?

Jakarta, 16/7/2024

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO