JAKARTA, BANGSAONLINE.com – Sikap Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang tidak akan jadi oposisi terhadap pemerintah – bahkan justru siap bekerjasama - menjadi indikasi politik bahwa partai yang dipimpin Megawati Soekarnoputri itu bakal merapat ke Prabowo Subianto. Bahkan sejumlah elit PDIP dikabarkan sedang berusaha untuk mempertemukan Megawati dengan Prabowo Subianto.
Yang menarik, para petinggi Partai Gerindra juga tampak menyambut positif manuver politik PDIP yang akan merapat ke Prabowo. Salah satunya tercermin dari pernyataan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Gerindra Ahmad Muzani.
Baca Juga: Gerindra Sebut PDIP Dukung Pemerintahan Prabowo Subianto
Menurut Ahmad Muzani, sejak Prabowo terpilih menjadi presiden hubungan Megawati dan Prabowo masih terjalin dengan baik. Ketua MPR RI itu mengakui bahwa Prabowo dan Mega belum bertemu tapi segala bentuk komunikasi masih dilakukan antara kedua tokoh tersebut.
Manuver politik PDIP itu tentu tak lepas dari rencana Kongres PDIP yang akan berlangsung pada April 2025. Megawati Soekarnoputri – terutama Puan Maharani –tak ingin Kongres PDIP “diganggu” oleh pemerintah. Maka satu-satunya jalan PDIP harus merapat ke Presiden Prabowo Subianto.
Sikap PDIP itu tentu sekaligus untuk menghalau Joko Widodo (Jokowi) yang oleh PDIP dicurigai akan mengambil alih PDIP. Dan momentum untuk merebut PDIP itu adalah Kongres PDIP yang merupakan permusyawaratan tertinggi partai.
Baca Juga: Jokowi Panik Dengarkan Pidato Mega? Ini Kata Bang Nalar
Bagaimana sikap Prabowo Subianto? Seperti sinyal politik para petinggi Gerindra tampaknya Prabowo akan menyambut dengan dua tangan terbuka. Prabowo selain tak punya persoalan politik serius dengan Megawati juga sangat diuntungkan dari segi stabilitas politik di parlemen.
Memang jumlah kursi PDIP di DPR RI turun pada pemilu 2024. Tapi PDIP masih menempati posisi teratas dengan jumlah 110 kursi DPR RI (25.384.673 suara). Di bawah PDIP menyusul Golkar dengan jumlah 102 kursi DPR RI (23.208.488 suara).
Partai Gerindra justru menempati peringkat ketiga tapi dengan selisih cukup jauh. Gerindra mendapat 86 kursi DPR RI (20.071.345 suara).
Baca Juga: Jokowi Gusar, Prabowo dan Pimpinan Parpol Tak Membela saat Masuk Presiden Terkorup Dunia
Nah, dengan bergabungnya PDIP ke pemerintah otomatis memperkuat posisi Prabowo Subianto di parlemen. Hanya saja Prabowo otomatis harus berhadapan dengan Jokowi – teman seiring saat Pilpres.
Inilah dilema politik Prabowo. Apalagi sampai sekarang bayang-bayang Jokowi dalam pemerintahan Prabowo sangat kuat. Bahkan disebut-sebut ada 17 menteri Prabowo yang merupakan loyalis Jokowi. Tak aneh, jika Prabowo masih sempat “sowan” ke Solo, meski Jokowi sudah turun dari jabatan presiden. Tindakan politik Prabowo sowan ke Solo itu sempat disayangkan banyak pihak karena seharusnya justru Jokowi yang datang ke Istana untuk menemui Prabowo.
Tapi untuk manuver politik PDIP tentu Prabowo sudah punya kalkulasi politik sendiri. Artinya, selain mempertimbangkan stabilitas politik jangka pendek, Prabowo juga bakal mengalkulasi Pilpres 2029. Ini juga berarti Prabowo akan menghitung, lebih menguntungkan mana antara bermitra dengan Jokowi atau dengan Megawati dalam menyongsong Pilpres 2029.
Baca Juga: Hadir di Acara HUT PDIP ke-52, Mas Dhito Ajak Kader untuk Kuatkan Tiga Pilar
Sebab, baik Jokowi maupun Megawati punya potensi mengajukan jago untuk Pilpres 2029. Jokowi pasti menyorongkan Gibran Rakabuming Raka, meski putra sulungnya itu tak punya kapasitas. Buktinya, hingga sekarang Jokowi terus melakukan manuver politik. Diantaranya dengan aksi turun ke masyarakat.
Begitu juga Gibran. Wakil Presiden yang sering dikaitkan dengan Fufufafa itu terus melakukan pencitraan. Diantaranya menggelontor sumbangan ke korban bencana dengan sembako bertuliskan Wapres Gibran. Bahkan sebelum Prabowo dilantik sebagai presiden, sudah muncul buku berjudul Gibran The Next President. Buku itu diluncurkan di Solo pada Jumat (14/6/2024) sore.
Namun sehebat apapun manuver politik Jokowi tampaknya akan segera hilang dari belantara politik. Setidaknya jika kita menyaksikan beberapa fenomena politik yang menimpa Jokowi belakangan ini. Ditetapkannya Jokowi sebagai finalis presiden terkorup dan masuk kejahatan terorganisasi oleh Organized Corruption and Crime Reporting Project (OCCRP) telah membuat citra atau pamor Jokowi ambruk.
Baca Juga: Anggota DPR RI ini Mangkir Dipanggil KPK
Ini mudah dipahami karena OCCRP merupakan lembaga internasional yang punya reputasi baik. Memang beberapa pendukung Jokowi sempat melemparkan narasi negatif untuk men-downgrade OCCRP. Tapi tak ada yang menggubris.
Peristiwa ini menunjukkan bahwa Jokowi mulai mengalami degradasi politik luar biasa. Apalagi menyangkut korupsi dan kejahatan terorganisasi. Tak aneh, jika tak ada satu pun pimpinan partai politik yang membela Jokowi.
Bahkan Prabowo juga sama sekali tak membela. Jangankan membela, berkomentar pun tidak. Satu-satunya partai yang membela Jokowi adalah PSI yang ketua umumnya adalah Kaesang Pangarep, putra bungsu Jokowi.
Baca Juga: Dukung Kembali Mega Ketua Umum, Ribuan Kader PDIP di Berbagai Daerah Cap Jempol Darah
Kini, di tengah Jokowi terpuruk, Megawati dan petinggi PDIP semakin gencar melakukan manuver politik untuk mendekati Prabowo. Manuver politik PDIP ini otomatis menjadi tamparan telak kedua bagi Jokowi setelah ia dinobatkan sebagai finalis presiden terkorup dan masuk kejahatan terorganisasi oleh OCCRP.
Karena itu saya haqqul yakin, jika Mega sampai bertemu Prabowo – yang otomatis ada kesepakatan politik – niscaya posisi Jokowi terkunci dan terjepit. Bahkan game over. Tentu termasuk Gibran dan keluarganya.
Sebab Jokowi, selain tak punya partai politik yang bisa diandalkan, juga citranya sangat buruk belakangan ini. Apalagi saat menjabat presiden ia banyak “menyandra” pimpinan partai politik dengan dengan cara memperalat aparat dan penegak hukum. Otomatis banyak yang dendam secara politik.
Baca Juga: HUT ke-52 PDIP, DPC Gresik Gelar Syukuran dan Dengarkan Pidato Politik Megawati
Kini diakui atau tidak, kekuatan politik Jokowi sangat rapuh terutama ketika lengser dari kursi presiden. Karena ia sempat kuat secara politik bukan karena faktor kemampuan partai politik dan kharisma yang melekat, tapi karena – sekali lagi – memperalat aparat dan penegak hukum.
Karena itu jika ia tetap berambisi menjadikan Gibran, putra sulungnya, sebagai capres 2029 maka keluarga Jokowi tidak hanya akan berhadapan dengan para pimpinan partai politik yang sakit hati tapi juga berhadapan dengan mayoritas rakyat Indonesia, mengingat kapasitas Gibran yang samasekali tak memadai.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News