
SURABAYA, BANGSAONLINE.com – Sosok KH Muhammad Yusuf Hasyim – akrab dipanggil Pak Ud – dikenal sebagai tokoh pemberani sejak kecil. Putra bungsu Hadratussyaikh KH Muhammad Hasyim Asy’ari itu bukan hanya memiliki patriotisme tinggi tapi juga memanggul senjata dan terlibat perang sejak usia 16 tahun. Bahkan saat Hadratussyaikh ditangkap Jepang Kiai Yusuf Hasyim yang saat itu masih berusia 12 tahun sudah ikut melakukan konsolidasi dengan kiai-kiai. Pada agresi militer pertama bahu Kiai Yusuf Hasyim diterjang peluru sehingga bajunya penuh darah. Heroik dan dramatis!
Di bawah ini, M. Mas’ud Adnan, wartawan BANGSAONLINE menulis serial ketiga Seminar Nasional Pengusulan KH Muhammad Yusuf Hasyim sebagai pahlawan nasional di Masjid Nasional Al Akbar Surabaya, Ahad (16/3/2025). Selamat menyimak:
Dr KH Aguk Irawan, seorang penulis dan novelis yang menjadi salah satu tim riset KH Muhammad Yusuf Hasyim berkesimpulan pada dua hal.
“Kiai Muhammad Yusuf Hasyim seorang patriot sejati dan seorang yang sangat moderat. Jadi sebelum ada gema moderasi keagamaan, kami sudah ditunjukkan moderatisme oleh pemikiran beliau (Kiai Yusuf Hasyim) yang sangat-sangat luar biasa patriotisme dan moderatisme,” ujar Gus Aguk Irawan memaparkan hasil risetnya dalam Seminar Nasional pengusulan KH M Yusuf Hasyim sebagai Pahlawan Nasional di ruang Marwah Masjid Nasional Al Akbar Surabaya, Ahad (16/3/2025).
Alumnus Universitas Al Azhar Mesir itu kemudian menunjukkan bukti patriotisme pemikiran Pak Ud – panggilan akrab Kiai Yusuf Hasyim. Menurut dia, hampir semua tulisan keagamaan Kiai Yusuf Hasyim selalu mengutip pemikiran Imam Ghazali.
“Bahwa Addin wadaulah tauamani min batni ummi wahidin. Bahwa negara dan agama adalah saudara kandung yang lahir dari rahim seorang seorang ibu yang satu,” kata Gus Aguk.
Karena itu, kata Gus Aguk, menurut Kiai Yusuf Hasyim, ketika Indonesia terluka, maka Islam juga terluka, ketika Islam terluka, Indonesia juga akan koyak. Maka Indonesia dan Islam satu tarikan nafas, tidak bisa dibeda-bedakan.
“Ini yang luar biasa, yang menggetarkan saya,” kata pengasuh Pesantren Kreatif Baitul Kilmah Bantul Yogyakarta itu.
“Padahal waktu itu masih banyak yang disharmoni, melihat Islam hanya sebagai agama, bukan spirit membangun kebangsaan, bukan spirit membangun kemerdekaan,” tambah Gus asal Lamongan Jawa Timur itu.
Kedua, kata Gus Aguk, Kiai Yusuf Hasyim selalu mengutip pemikiran Imam Ghazali bahwa politik adalah untuk memperbaiki keadaan, untuk memperbaiki akhlak dan petunjuk atau mengarahkan agar hidup kita selama di dunia sejahtera dan akhirat.
“Maka tidak mengherankan jika pemikiran beliau telah melampaui zaman. Tahun 1967 beliau sudah mendirikan univesitas Hasyim Asy’ari. Karena dunia dan akhirat memang tidak bisa dipisahkan, tidak bisa dikotomi, tapi satu tarikan nafas. Tidak mungkin sukses melampaui dunia melupakan akhirat. Ini yang saya anggap sangat moderat luar biasa pada zamannya,” kata Gus Aguk.
Bahkan Kiai Yusuf Hasyim memasukkan puisi ke dalam pesantren, memasukkan sastra ke dalam pesantren.
“Beliau termasuk figur pertama yang memasukkan budaya dan sastra ke dalam pesantren,” tegas Gus Aguk sembari mengatakan bahwa Kiai Yusuf Hasyim adalah sosok tokoh yang komplit dan kokoh.
Gus Aguk merasa dirinya sangat kerdil ketika menyaksikan perjuangan Kiai Yusuf Hasyim yang dimulai sejak kecil. Pada tahun 1942, tutur Gus Aguk, Kiai Yusuf Hasyim berusia sekitar 12 tahun, belum 13 tahun. Tapi sudah aktif berjuang.
“Ketika ayahnya, Hadratussyaikh Kiai Muhammad Hasyim Asy’ari dipenjara, sekitar bulan Juli. Pada 9 Mei Kiai Hasyim Asy’ari diangkat menjadi Mufti Jepang, Sumubu. Juni, nggak sampai 3 minggu, (Kiai Hasyim Asy’ari) ditangkap dan dipenjara. Kemudian Agustus tanggal 8 dikeluarkan,” kata Gus Aguk.
Nah, selama penangkapan Hadratussyaikh itu, Kiai Yusuf Hasyim tak tinggal diam. Tapi melakukan konsolidasi dengan para kiai. Diantaranya, ke Solo, Yogyakarta, Magelang, Kebumen, dan Pekalongan.
“(Kiai Yusuf Hasyim) memberi tahu kiai-kiai bahwa ayahnya, Hadratussyaikh, sedang mendapat tekanan luar biasa dari Jepang. Jadi umur 13 tahun (Kiai Yusuf Hasyim) sudah berkonsolidasi dari pesantren ke pesantren sampai ke Kiai Ilyas yang masih keluarga yang ada di Pekalongan,” kata Gus Aguk sembari mengatakan bahwa pada usia 12 tahun Kiai Yusuf Hasyim sudah memiliki nasionalisme yang sangat kuat.
“Kalau saya instrospeksi, pada usia itu saya masih cari ikan di sungai,” katanya.
Pada tahun 1944, ungkap Gus Aguk, Kiai Yusuf Hasyim mendaftarkan diri sebagai mujahid.
“Gabung di Laskar Hizbullah. Pada 1945 resmi dan ketika Resolusi Jihad beliau memanggul senjata dan perang mempertaruhkan nyawa. Saya sampai merinding. Umur segitu. Beliau lahir 1929 tapi tahun 1945 sudah ikut berperang seperti pemuda. Kalau saya mungkin ciut. Tapi beliau masyaallah,” kata Gus Aguk.
Bahkan ketika proklamasi kemerdekaan 1945 Kiai Yusuf Hasyim juga ikut menyuarakan agar Bung Karno segera memprolamirkan kemerdekaan RI.
“Semua arsipnya ada lengkap,” kata Gus Aguk.
“Pada tahun 1947 pada agresi militer pertama beliau juga ikut berjuang,” tambah Gus Aguk.
Bahkan Kiai Yusuf Hasyim saat itu sempat terkena tembakan di bahunya. “Kalau kita baca kisahnya itu bajunya penuh darah,” kata Gus Aguk. “Sebagai anak muda seorang Gus dari kiai besar turun mempertaruhkan nyawa,” tambah Gus Aguk.
Pada 1948, kata Gus Aguk, Kiai Yusuf Hasyim berperang dengan PKI.
“Pada tahun 1949 berperang lagi dalam agresi militer kedua. Jadi terus-terusan. Ini ada kesaksian dari Kiai Rohmat sebagai ketua Pondok Gontor (Ponorogo). Saya mau menyimpulkan, seandainya tidak ada Pak Ud atau Kiai Yusuf Hasyim mungkin hari ini Gontor tidak ada karena Kiai Sahal dan Kiai Zarkasi ditawan oleh PKI dan Mayor Hambali juga ditawan oleh PKI. Yang menyelamatkan adalah Kiai Yusuf Hasyim dengan Batalyon 39 Condoromowo. Beliau sebagai komandan kompi II. Arsipnya ada, saksi sejarahnya ada, tak bisa dibantah,” kata Gus Aguk.
Menurut Gus Aguk, ketika PKI melakukan kudeta, Kiai Yusuf Hasyim sudah tak lagi bertugas di dinas kemiliteran, tapi oleh Jenderal A Yani masih diberi tugas untuk konsolidasi mengganyang PKI.
“Ketika PKI bubar beliau bersedia menggantikan menjadi anggota DPRGR karena ingin menyuarakan Islam, ingin menyarakan kitab kuning dan beliau adalah tokoh yang mengomandani untuk mengubah undang-undang perkawinan yang telah diselewengkan oleh PKI. Ini adalah jasa yang luar biasa,” katanya.
Pada 1960, tutur Gus Aguk, Kiai Yusuf Hasyim oleh Presiden Soekarno ditetapkan sebagai anggota DPRGR mewakili Ansor karena beliau Komandan Banser pertama.
“Waktu itu sejumlah anggota Masyumi mengundurkan diri karena berseberangan dengan Nasakom,” katanya.
Namun selama menjadi anggota DPRGR Kiai Yusuf Hasyim sangat kritis. Bahkan satu tahun kemudian Kiai Yusuf Hasyim mengundurkan diri karena alasan ideologi.
“Ini patriotisme luar biasa, mau meletakkan jabatan demi membela ideologi nasionalisme dan keislaman,” katanya.
Gus Aguk tampil satu sesi dengan Dr Letkol (AU) Saparuddin Barus, Kepala Museum Satria Mandala Pusat Sejarah TNI Jakarta. Dalam sesi yang dimoderatori M. Mas’ud Adnan, M,Si, itu Saparuddin Barus membahas tentang syarat-syarat calon pahlawan nasional.
Menurut Saparuddin Barus, dari segi materi dan akademik, Kiai Yusuf Hasyim sudah memenuhi syarat.
Bahkan Kiai Yusuf Hasyim sudah tidak abu-abu lagi.
“Putih semua,” kata Saparuddin Barus yang juga anggota Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP). Baru adalah doktor sejarah pertama di lingkungan TNl.
Seminar nasional itu berjalan sangat khidmat. Terutama ketika acara doa memimpin doa yang dipimpin oleh Syaikh Ahmad Muhammad Mabruk asal Mesir. (mma)