Forum Muktamar Tebuireng 2025: Turats Nabawi Desak Pemerintah Tinjau Ulang Hilirisasi SDA

Forum Muktamar Tebuireng 2025: Turats Nabawi Desak Pemerintah Tinjau Ulang Hilirisasi SDA Acara Mutun 2025 di Ponpes Tebuireng, Jombang. Foto: AAN AMRULLOH/ BANGSAONLINE

JOMBANG, BANGSAONLINE.com - Muktamar Turats Nabawi (Mutun) 2025 yang diselenggarakan oleh Ma’had Aly Hasyim Asy’ari di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, resmi ditutup, pada Sabtu (13/12/2025).

Forum intelektual keagamaan ini menghasilkan lima rekomendasi kritis yang ditujukan kepada pemerintah terkait kebijakan hilirisasi sumber daya alam (SDA) dan isu lingkungan hidup yang dianggap mendesak.

Lima poin rekomendasi tersebut adalah hasil pembahasan mendalam terhadap empat isu strategis yang menjadi fokus utama Bahtsul Masail Mutun 2025.

Mudir Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng, Dr. KH. Achmad Roziqi, Lc., M.H., memimpin penyampaian rekomendasi pada sesi akhir muktamar. Ia menegaskan perlunya upaya konkret untuk meminimalisir dampak ekologis dari hilirisasi SDA yang masif.

Berikut adalah lima rekomendasi kritis dari Forum Muktamar Turats Nabawi 2025:

  • Penegakan Hukum yang Tegas: Mendesak penegakan hukum secara tegas terhadap pelanggar yang menyebabkan kerusakan lingkungan dalam proses hilirisasi.
  • Keterbukaan Kajian: Membuka ruang kajian dan diskusi yang lebih terbuka dengan para aktivis dan ahli lingkungan.
  • Pengawasan AMDAL Ketat: Memastikan pengawasan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dilakukan secara ketat.
  • Teknologi Ramah Lingkungan: Mewajibkan penggunaan teknologi yang ramah lingkungan dalam setiap tahapan proses hilirisasi.
  • Rehabilitasi Pasca-Hilirisasi: Memastikan rehabilitasi ekologis pasca-hilirisasi benar-benar dilaksanakan dengan optimal.

Menurut KH. Achmad Roziqi, yang didampingi oleh Pengasuh Pesantren Tebuireng Jombang, KH Abdul Hakim Mahfudz juga menekankan prinsip dasar yang harus dipegang oleh para pelaku industri.

"Kami ingin agar hilirisasi tidak menimbulkan mafsadah (kerusakan) yang tidak wajar, mematuhi regulasi dan persyaratan teknis, serta menjaga hak masyarakat dan generasi mendatang," tegasnya.

Sementara dalam Forum Bahtsul Masail Mutun 2025, memusatkan kajian pada empat isu strategis lingkungan yang didalami dari sudut pandang fikih dan syariah, yaitu:

Pertama, keseimbangan hilirisasi SDA, yaitu menyoroti kebijakan hilirisasi SDA sebagai motor ekonomi yang berisiko menimbulkan kerusakan ekologis yang tidak terhindarkan, serta mendalami pandangan fikih terhadap kerusakan lingkungan yang diakibatkannya.

Kedua, dampak UU Cipta Kerja yang mengkaji keberlanjutan Undang-Undang Cipta Kerja yang dinilai berpotensi melemahkan perlindungan lingkungan, khususnya terkait partisipasi publik dalam pelestarian alam.

Ketiga, konsep Green Wakaf yang menggabungkan wakaf dengan konservasi lingkungan, termasuk legalitas wakaf untuk perlindungan satwa liar (seperti tanah habitat badak) dan pemanfaatan hasil hutan dari tanah wakaf konservasi permanen.

Terakhir, perlindungan lingkungan dalam syariah, yakni mendalami pandangan Yusuf Al-Qardhawi mengenai Hifdzul Bi’ah (perlindungan lingkungan) sebagai bagian dari maqashid syariah (tujuan utama syariah), dan mengkaji apakah menjaga lingkungan kini dapat dianggap sebagai kebutuhan primer (dharuriyyah) yang menuntut peran negara lebih kuat.

Rekomendasi ini diharapkan dapat menjadi masukan penting bagi pemerintah agar dapat menjalankan kebijakan hilirisasi yang tidak hanya berorientasi pada peningkatan ekonomi, tetapi juga berkelanjutan dan bertanggung jawab secara ekologis.