
Oleh: Aguk Irawan MN
Hari Jumat malam yang lalu, tanggl 11 Juli 2025, jam 11.45 saya mendapatkan kabar dari group wa Jamaah LKiS, "Mas Imam kritis. Sempat mengalami dua kali henti jantung. Mohon doanya terus."
Menjelang subuh ketika saya terbangun, Mas Imam sudah dikabarkan meninggal dunia di RS Sardjito Yogyakarta. Berita singkat ini membuatku terkejut dan kaget. Jantung terasa berhenti berdetak untuk beberapa detik.
BACA JUGA:
Entahlah, rasa-rasanya saya merasa tidak saja kehilangan sosok guru, kiai, tetapi juga sahabat yang tidak hanya selalu enak diajak diskusi, tetapi seringkali hal-hal yang saya pikirkan sebelumnya harus saya pertimbangkan kembali usai bertemu dengan Mas Imam Aziz. Selalu saja begitu, pikiran-pikirannya menantang saya untuk “berpikir” ulang dengan jernih.
Meskipun saya terlambat mengenal, saya merasa beruntung, bahwa di hidup ini saya bisa mencecap sedikit secara langsung. Kearifan, pemikiran dan keistiqomahan perjuangan Mas Imas pada mustadl'afin.
Meski yang agak intensif hanya satu, dua kesempatan saja. Gagasan-gagasan dan caranya menyampaikan ide yang tenang membuatku tertarik dan tertantang untuk berdiskusi lebih lanjut dalam hiruk pikuk kehidupan dunia di sekitarku.
"Teruslah banyak bertanya dan mengirim surat kepada para sastrawan eksil seperti Kusni Sulang dan Agam Wispi," katanya datar pada saya saat mungkin pertama kali bertemu dengan Mas Imam di Kantor Syarikat awal tahun 2000-an. Kantor yang kini berubah menjadi Pesantren Bumi Cendekia.
Padahal sebelum itu, saya sudah sering ke LKiS ikut kegiatan kultural ini-itu, bahkan menginap berhari-hari, tapi tak pernah beruntung, bertemu dan bisa diskusi dengan sosok yang namanya saya kenal terlebih dahulu sebagai penerjemah buku Kiri Islam karya Kazuo Shimogaki. Bahkan jauh hari namanya sudah saya baca pada Kumpulam puisi Karya Bang Andi Muawiyah Ramli, "Orang-Orang NU dalam Puisi."
Pada suatu waktu, di luar dugaan, dan ini yang membuat saya terharu, ternyata Mas Imam, orang "besar" yang sering disebut sebagai "bapak" aktifis NU Yogya ini benar-benar murah hati memberi apresiasi kepada orang kecil semacam saya, saat menyodorkan kliping tulisan-tulisan saya yang saat itu, pasca reformasi banyak bertanya prihal tragedi 1965 pada sastrawan eksil di mailinglist dan akan diterbitkan oleh Syarikat (Masyarakat santri untuk advokasi rakyat) yang beliau pimpin.
"Saya senang, sampean berdialog secara berimbang, tidak saja dengan eksilian Lekra, tetapi juga Manifestan seperti Bung Ikranegara," katanya lagi memberi apresiasi. Bibir saya rasanya kaku tak bisa berkata-kata lagi. Sebelum saya bertemu dengan redaktur, Mas Setyo (Markijok) untuk membicarakan hal teknis penerbitan buku "Aku Dikutuk Jadi Laut", dan peluncurannya akan menghadirkan Kusni Sulang. Saat itu Mas Imam Aziz meminta saya memberi kata pengantar lebih panjang.
Kemudian topik pembicaraan berganti pada sastra dan sungguh saya terkejut lagi, saat beliau mangaku membaca kumpulan Cerpen saya "Sungai yang Memerah" yang isinya hampir semua kisah tragis tentang tragedi 65.
Saat itu bacaan saya pada buku Prahara Budaya dan bendel majalah Horison memang membuat saya benar-benar gandrung pada tema sejarah 65 dan Mas Imam tidak hanya fasih bicara sejarah 65 tetapi punya agenda kebangsaan yang terselubung, yaitu rekonsialiasi.
Alasan perlunya rekonsiliasi bagi korban peristiwa 65, menurut Mas Imam Aziz adalah untuk memberikan pengakuan atas penderitaan yang dialami para korban dan mendorong pertanggungjawaban dari mereka yang bertanggung jawab atas penyimpangan di masa Orde Baru. Para korban peristiwa 65, siapapun itu baik yang selamat maupun keluarga yang ditinggalkan adalah anak bangsa dan mengalami trauma dan penderitaan yang mendalam.
Rekonsiliasi memberikan pengakuan atas pengalaman pahit mereka, yang penting untuk proses pemulihan. Seperti Gus Dur yang telah nekat mencabut Tap MPR no25 tahun 1966, rekonsiliasi menurut Mas Imam, bukan hanya tentang masa lalu, dan langkah untuk penyembuhan luka sejarah, tetapi juga tentang membangun masa depan yang lebih baik. Dengan mengakui dan belajar dari kesalahan masa lalu, rekonsiliasi dapat membantu membangun masyarakat yang lebih adil, inklusif, dan damai.
Saya berjumpa agak intensif dengan Mas Imam berikutnya ketika masa darurat Gempa 2006. Hampir setiap malam, kalau tidak di kantor LKiS di kantor Syarikat, kami bersama-sama menjadi relawan tanggap darurat gempa.
Saat itu saya benar-benar menyaksikan sendiri bagaimana taktisnya pikiran-pikiran Mas Imam, dalam pengelolaan musibah gempa disertai bagan-bagan yang dibuat secara spontan saat diskusi berlangsung.
Lebih dari itu, jaringan Mas Imam, baik di dalam dan luar negeri amat luas untuk bisa dilibatkan dalam kerja kemanusian, mulai dari bantuan logistik, shelter sampai rumah permanen. Dua diantaranya adalah Cordaid dan IOM.
Pasca tanggap darurat Gempa, masih pada tahun-tahun itu, saya juga bersyukur, turut terlibat dalam program pendampingan pemulung dan anak-anaknya yang tinggal di bantaran Kali Code dan Mas Imam sebagai salah satu instrukturnya. Perkampungan ini terletak di daerah Sorowajan dan memanjang dengan dibelah sungai. Disitulah kami mendirikan mushala di tengah dikelilingi rumah semi permanen dengan bahan seadanya. "Mereka juga berhak mendapatkan pendidikan dan bergembira," kata Mas Imam.
Pertemuan terakhir dan terasa istimewa pada helatan reuni jamaah LKiS tanggal 21 Juni 2025 yang lalu di Museum Sandi, Mas Imam nampak segar dan bugar, tak ada tanda-tanda sakit yang sebelumnya pernah dikabarkan bahwa Mas Imam sakit deabetes.
Persis usai shalat magrib saya duduk di belakang, tak dinyana istrinya Mas Imam, Mbak Rindang memanggil-manggil saya untuk bisa duduk di depan, tapi saya tak bergeming, karena tahu diri saya hanyalah santri, dan memilih kursi di belakang adalah caraku menjadi santri dari guru-guru di LKiS.
Tetapi apa boleh buat Moderatur berkali-kali memanggil saya untuk memimpin bacaan tahlil, apalagi dengan klaim permintaan Mas Imam Aziz, mau tidak mau, siap tidak siap ini adalah panggilan dari Kiai untuk santri, sayapun terpaksa maju ke depan dan duduk tidak jauh dari Mas Imam.
Sebelum hari H reuni itu, saya diminta oleh ketua Panitia, Gus Baihaqi, katanya atas permintaan Mas Imam agar semua yang ada di group LKiS dijapri satu-persatu untuk memastikan kehadirannya. Mungkin ini adalah caranya untuk pamitan.
Diantara riak gelombang kehidupan yang tak pernah berhenti, satu sosok besar itu telah pergi meninggalkan kita. Mas Imam Aziz, pejuang rakyat pinggiran yang tak kenal lelah, telah menutup mata di tengah hiruk pikuk dunia yang terus berputar. Namun, jejak langkahnya akan tetap abadi dalam sejarah perjuangan kita.
Mas Imam Aziz, dengan hati yang lembut, tetapi menyimpan bara api semangat dan jiwa yang tak pernah menyerah, telah menjadi simbol harapan bagi banyak orang. Almarhum telah banyak berjuang dengan gigih, melawan ketidakadilan dan menentang penindasan semasa Orba, membawa cahaya bagi mereka yang teraniaya. Setiap langkahnya adalah manifestasi dari keberanian dan keteguhan hati.
Di balik senyumnya yang hangat dan tatapan matanya yang tajam, Mas Imam Aziz menyembunyikan kesabaran dan ketabahan yang luar biasa. Ia adalah contoh nyata dari seorang pejuang sejati yang tidak hanya berbicara tentang perubahan, tetapi juga mewujudkannya dengan tindakan nyata.
Kini, Mas Imam Aziz telah pergi, meninggalkan duka yang mendalam di hati kita semua. Namun, warisannya akan terus hidup dalam jiwa kita. Ia telah mengajarkan kita bahwa perjuangan tidak pernah sia-sia, bahwa setiap langkah kecil kita dapat membawa perubahan besar.
Semoga kita bisa meneruskan perjuangannya dengan semangat yang sama, dengan keberanian yang sama, dan dengan cinta yang sama terhadap sesama. Semoga semua amalnya diterima Allah subhanallah Ta'ala, dan kita semua dapat menjadi lebih baik karena kehadirannya pernah dekat dan di tengah kita. Amin.