
“Enggak ada, Pak. Tidak pernah ada laporan dari desa atau pengelola. Kami hanya menerima setoran langsung, tidak tahu apakah jumlahnya sesuai 30% dari pendapatan atau tidak,” ujarnya.
Pengakuan ini diperkuat oleh keterangan saksi lain, termasuk pejabat dinas dari periode berbeda, yang menyatakan bahwa mereka juga tidak memiliki akses terhadap data pendapatan riil dari Rusunawa Tambaksawah.
Pembayaran bagi hasil dilakukan langsung oleh pengelola tanpa disertai bukti pendukung yang rinci dan dapat diaudit secara menyeluruh.
Dalam sidang juga terungkap bahwa pembangunan dan pengelolaan Rusunawa sejak awal tidak mengacu pada regulasi resmi yang ditetapkan pemerintah pusat.
Seharusnya, menurut Peraturan Menteri PUPR tahun 2007, pengelolaan rusun dilakukan oleh Unit Pelaksana Teknis (UPT), bukan oleh tim yang dibentuk berdasarkan perjanjian kerja sama antara pemerintah desa dan dinas.
“Saya tidak tahu aturan itu, Pak. Baru tahu saat pemeriksaan,” kata Sulaksono ketika ditanya oleh majelis hakim soal pengetahuan terhadap aturan pengelolaan rusun oleh UPT.
Menariknya, nama Bambang, salah satu tokoh yang pernah menjadi Ketua Tim Pengelola Rusunawa, ikut disebut dalam persidangan. Meski banyak saksi menilai kinerja Bambang cukup baik, ia tetap dikaitkan dengan potensi kerugian negara sebesar Rp969 juta lebih pada periode 2008–2011.
“Saya mengenal Pak Bambang saat beliau mempresentasikan Rusunawa Tambaksawah dalam lomba nasional. Menurut saya beliau cukup kapabel,” ucap Sulaksono.
Kendati demikian, majelis hakim menyoroti ketidaksesuaian antara apresiasi terhadap kinerja Bambang dan angka kerugian yang tercatat oleh inspektorat. “Kalau dibilang orangnya baik dan bekerja sesuai tugas, lalu mengapa muncul angka kerugian negara sebesar itu?” tanya hakim yang disambut kebingungan oleh saksi.
Sementara itu, audit terhadap pengelolaan Rusunawa yang dilakukan oleh BPKAD pada 2023 juga tidak menghasilkan kesimpulan yang terang. Beberapa saksi mengaku tidak mengetahui hasil audit tersebut karena telah lengser dari jabatan ketika audit berlangsung.
Permasalahan semakin pelik karena tanah yang digunakan untuk pembangunan rusun diketahui merupakan Tanah Kas Desa (TKD), bukan aset resmi milik Pemkab Sidoarjo. Padahal, menurut Permendagri Nomor 19 Tahun 2016, pemanfaatan aset milik daerah harus melalui mekanisme yang sah seperti sewa, pinjam pakai, atau Kerja Sama Pemanfaatan (KSP).
“Kalau tanahnya milik desa, bangunannya milik pemkab, berarti harus ada perjanjian pemanfaatan resmi. Kalau tidak, pemanfaatannya bisa dikategorikan melanggar aturan,” kata hakim sembari membacakan isi regulasi yang berlaku.
Persidangan pun ditutup dengan permintaan dari pihak jaksa dan penasihat hukum agar semua dokumen terkait perjanjian, laporan keuangan, dan hasil audit dipertimbangkan dalam proses pembuktian di persidangan selanjutnya.
Sementara Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Sidoarjo, I Putu Kisnu Gupta, menilai pengelolaan Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) Tambaksawah, Kecamatan Waru, Kabupaten Sidoarjo, berlangsung secara tidak profesional, tidak transparan dan merugikan keuangan negara.
“Faktanya dalam pengelolaan aset barang milik Daerah tersebut tidak pernah ada laporan periodik dari pihak pengelola seperti yang diwajibkan dalam perjanjian kerja sama. Laporannya tidak jelas, bahkan bisa dikatakan tidak ada,” paparnya.
Lima saksi yang diperiksa merupakan pejabat yang pernah menjabat sebagai kepala dinas sejak tahun 2008 hingga 2022. Mereka dimintai keterangan soal pengawasan terhadap pengelolaan Rusunawa, termasuk soal mekanisme pencatatan dan tanggung jawab pengelolaan aset daerah.
Kisnu menegaskan, sejak awal pembangunan yang dimulai pada 2007 dan serah terima fisik yang dilakukan tahun 2009, sistem pelaporan dari pihak kedua (desa) kepada Pemkab sudah tidak berjalan sebagaimana mestinya.