Sidang Tipikor Rusunawa Tambaksawah: Dugaan Penyalahgunaan Wewenang, 5 Mantan Kepala Dinas Diperiksa

Sidang Tipikor Rusunawa Tambaksawah: Dugaan Penyalahgunaan Wewenang, 5 Mantan Kepala Dinas Diperiksa Sidang terkait Tipikor Rusunawa Tambaksawah, Sidoarjo.

SIDOARJO, BANGSAONLINE.com - Sidang perkara dugaan Tipikor atau tindak pidana korupsi terkait pengelolaan Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) milik Pemkab Sidoarjo di Tambaksawah, Kecamatan Waru, kembali digelar. 

Dalam persidangan kali ini, JPU menghadirkan 5 mantan Kepala Dinas Perumahan Permukiman Cipta Karya dan Tata Ruang sebagai saksi, yakni Agoes Boediono Tjahjono, Dwijo Prawiro, Sulaksono, Setyo Basukiono, dan Heri Soesanto. 

Mereka dimintai keterangan atas praktik pengelolaan Aset Barang Milik Daerah berupa pemanfaatan Rusunawa Tambak Sawah yang dinilai tidak akuntabel, dan diduga melanggar prosedur perundang-undangan.

"Pengawasan yang kami lakukan hanya bersifat fisik dengan mendatangi rusun saja, tidak ada pelaporan keuangan enam bulanan yang dikirimkan Oleh Pengelola dan kami terima untuk di lakukan pemeriksaan/ pengecekan mengenai pendapatan pengeluaran dan berapa bagi hasil," kata salah satu saksi, Sulaksono, dalam keterangannya di hadapan majelis hakim, Rabu (16/7/2025).

Salah satu pokok perkara yang mencuat dalam persidangan adalah penetapan tarif sewa kamar Rusunawa yang diduga tidak melalui mekanisme, sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan Perundang-undangan. Dalam berita acara pemeriksaan (BAP), beberapa saksi sempat menyebut penentuan tarif dilakukan oleh pemerintah desa setempat.

"Di BAP saya sempat sampaikan tarif ditentukan lewat keputusan bupati, tetapi kenyataannya tidak ada keputusan itu. Penetapan tarif dilakukan oleh pengelola Rusunawa itu sendiri yang ditunjuk oleh Pemerintah Desa Tambak Sawah," ucap Heri Soesanto yang kini menjabat sebagai Kepala Bappeda Sidoarjo.

Pernyataan tersebut memunculkan tanda tanya besar mengenai keabsahan tarif dan jalanya kegiatan pengelolaan dana sewa rusun yang diperkirakan mencapai ratusan juta rupiah. 

Proyeksi pendapatan dari rusunawa disebut berasal dari 400-an unit kamar, namun pengelolaannya tersebut tidak sesuai seperti apa yang disampaikan di  dalam isi perjanjian kerja sama yang menyebutkan, Pengeluaran Biaya Operasional telah ditentukan tidak boleh lebih dari 40 persen per tahun. 

Namun Faktanya pengeluaran jauh melambung diatas 40 persen, dan dipergunakan tidak sebagaimana mestinya dan berakibat Pemkab Sidoarjo Kehilangan pendapatan yang tidak sedikit Nilainya meskipun disebut masuk dalam 'rekening bersama' namun besaran yang disetor dapat dipastikan tanpa sistem kontrol yang jelas.

Salah satu pelanggaran yang juga disoroti adalah ketiadaan laporan berkala dari pihak pengelola kepada dinas terkait. Padahal, dalam perjanjian kerja sama (PKS), terdapat kewajiban pelaporan setiap enam bulan sekali kepada pihak pertama, yaitu Bupati Sidoarjo untuk selanjutnya dilakukan pemeriksaan/ Pengecekan.

"Saya tidak pernah menerima laporan enam bulanan selama menjabat. Bahkan tidak tahu apakah laporan itu pernah dibuat atau tidak," kata Dwijo Prawito saat dicecar JPU.

Ketidakhadiran laporan ini mengindikasikan lemahnya pengawasan internal serta potensi adanya celah penyimpangan dalam pengelolaan pendapatan dari rusunawa tersebut.

Sidang juga mengungkap ketidakjelasan status aset tanah yang digunakan untuk pembangunan Rusunawa. Saat ditanya mengenai status kepemilikan tanah, Setyo Basukiono menyatakan tanah tersebut merupakan tanah kas desa, namun tidak mengetahui proses legalitasnya lebih lanjut.

"Saya hanya mendengar tanah itu milik desa. Tidak tahu soal proses hibah atau serah terima ke pemerintah kabupaten," akunya.

Menurut keterangan para saksi, pembangunan Rusunawa dibiayai oleh Kementerian Pekerjaan Umum pusat. Namun, pengelolaan operasional setelah pembangunan justru dilakukan oleh pemerintah kabupaten tanpa prosedur dan pelaporan yang baku.

"Dari 2008 sampai 2012, hasil sewa langsung disetor ke kas daerah. Tapi setelahnya, terjadi perubahan tanpa revisi sistem yang jelas," ucap salah satu saksi.

Salah satu saksi utama, mantan Kepala Dinas Cipta Karya Sidoarjo, Sulaksono, mengaku tidak pernah menerima laporan rutin mengenai pendapatan Rusunawa dari pihak pengelola, baik secara langsung maupun melalui laporan bulanan seperti yang diatur dalam perjanjian kerja sama.

Enggak ada, Pak. Tidak pernah ada laporan dari desa atau pengelola. Kami hanya menerima setoran langsung, tidak tahu apakah jumlahnya sesuai 30% dari pendapatan atau tidak,” ujarnya.

Pengakuan ini diperkuat oleh keterangan saksi lain, termasuk pejabat dinas dari periode berbeda, yang menyatakan bahwa mereka juga tidak memiliki akses terhadap data pendapatan riil dari Rusunawa Tambaksawah.

Pembayaran bagi hasil dilakukan langsung oleh pengelola tanpa disertai bukti pendukung yang rinci dan dapat diaudit secara menyeluruh.

Dalam sidang juga terungkap bahwa pembangunan dan pengelolaan Rusunawa sejak awal tidak mengacu pada regulasi resmi yang ditetapkan pemerintah pusat. 

Seharusnya, menurut Peraturan Menteri PUPR tahun 2007, pengelolaan rusun dilakukan oleh Unit Pelaksana Teknis (UPT), bukan oleh tim yang dibentuk berdasarkan perjanjian kerja sama antara pemerintah desa dan dinas.

“Saya tidak tahu aturan itu, Pak. Baru tahu saat pemeriksaan,” kata Sulaksono ketika ditanya oleh majelis hakim soal pengetahuan terhadap aturan pengelolaan rusun oleh UPT.

Menariknya, nama Bambang, salah satu tokoh yang pernah menjadi Ketua Tim Pengelola Rusunawa, ikut disebut dalam persidangan. Meski banyak saksi menilai kinerja Bambang cukup baik, ia tetap dikaitkan dengan potensi kerugian negara sebesar Rp969 juta lebih pada periode 2008–2011.

“Saya mengenal Pak Bambang saat beliau mempresentasikan Rusunawa Tambaksawah dalam lomba nasional. Menurut saya beliau cukup kapabel,” ucap Sulaksono.

Kendati demikian, majelis hakim menyoroti ketidaksesuaian antara apresiasi terhadap kinerja Bambang dan angka kerugian yang tercatat oleh inspektorat. “Kalau dibilang orangnya baik dan bekerja sesuai tugas, lalu mengapa muncul angka kerugian negara sebesar itu?” tanya hakim yang disambut kebingungan oleh saksi.

Sementara itu, audit terhadap pengelolaan Rusunawa yang dilakukan oleh BPKAD pada 2023 juga tidak menghasilkan kesimpulan yang terang. Beberapa saksi mengaku tidak mengetahui hasil audit tersebut karena telah lengser dari jabatan ketika audit berlangsung.

Permasalahan semakin pelik karena tanah yang digunakan untuk pembangunan rusun diketahui merupakan Tanah Kas Desa (TKD), bukan aset resmi milik Pemkab Sidoarjo. Padahal, menurut Permendagri Nomor 19 Tahun 2016, pemanfaatan aset milik daerah harus melalui mekanisme yang sah seperti sewa, pinjam pakai, atau Kerja Sama Pemanfaatan (KSP).

“Kalau tanahnya milik desa, bangunannya milik pemkab, berarti harus ada perjanjian pemanfaatan resmi. Kalau tidak, pemanfaatannya bisa dikategorikan melanggar aturan,” kata hakim sembari membacakan isi regulasi yang berlaku.

Persidangan pun ditutup dengan permintaan dari pihak jaksa dan penasihat hukum agar semua dokumen terkait perjanjian, laporan keuangan, dan hasil audit dipertimbangkan dalam proses pembuktian di persidangan selanjutnya.

Sementara Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Sidoarjo, I Putu Kisnu Gupta, menilai pengelolaan Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) Tambaksawah, Kecamatan Waru, Kabupaten Sidoarjo, berlangsung secara tidak profesional, tidak transparan dan merugikan keuangan negara.

“Faktanya dalam pengelolaan aset barang milik Daerah tersebut tidak pernah ada laporan periodik dari pihak pengelola seperti yang diwajibkan dalam perjanjian kerja sama. Laporannya tidak jelas, bahkan bisa dikatakan tidak ada,” paparnya.

Lima saksi yang diperiksa merupakan pejabat yang pernah menjabat sebagai kepala dinas sejak tahun 2008 hingga 2022. Mereka dimintai keterangan soal pengawasan terhadap pengelolaan Rusunawa, termasuk soal mekanisme pencatatan dan tanggung jawab pengelolaan aset daerah.

Kisnu menegaskan, sejak awal pembangunan yang dimulai pada 2007 dan serah terima fisik yang dilakukan tahun 2009, sistem pelaporan dari pihak kedua (desa) kepada Pemkab sudah tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Menurut dia, dalam dokumen Perjanjian Kerja Sama (PKS), tertulis dengan jelas bahwa desa selaku pihak kedua wajib menyampaikan laporan keuangan pengelolaan Rusunawa setiap enam bulan. Namun kewajiban itu tidak dijalankan.

“Itu yang menjadi pokok masalah. Dalam PKS-nya disebutkan ada laporan berkala. Tapi faktanya? Enggak pernah ada laporan yang diterima oleh dinas,” ujarnya.

Kisnu juga menyinggung adanya pembukuan fiktif oleh pengelola. Laporan keuangan yang ditampilkan di persidangan menunjukkan data yang berbeda antara neraca, dana masuk, dan realisasi pengeluaran.

“Ada bendahara, ada kasir, ada buku laporan, tapi semua berbeda-beda isinya. Ini menunjukkan bahwa tidak ada sistem pengelolaan keuangan yang sah dan dapat dipertanggungjawabkan,” tuturnya.

Nilai aset Rusunawa Tambaksawah yang cukup besar, yakni mencapai sekitar Rp 25 miliar untuk bangunan utama dan Rp10 miliar untuk flat tambahan, menurut JPU, seharusnya mendorong pengawasan ketat dari pemerintah daerah.

“Asetnya besar, uangnya besar. Maka pengelolaannya harus profesional dan bisa diaudit. Tapi kenyataannya, Pihak Pemerintah daerah yakni Dinas Perumahan Pemukiman dan cipta Karya Kabupaten Sidoarjo justru tidak melaksanakan Fungsinya melaksanakan Pembinaan, Pengawasan Pemantauan sebagai Pengguna Anggaran yang semuanya kabur, dan justru menimbulkan kerugian negara,” urai Kisnu.

Dikonfirmasi secara terpisah Kepala Kejaksaan Negeri Sidoarjo Roy Rovalino Herudiansyah, melalui Kepala seksi Tindak Pidana Khusus John Franky Yanafia Ariandi, menyampaikan, JPU telah mengungkap dengan jelas adanya Fakta-Fakta segala bentuk Penyimpangan yang terjadi bukan dari sisi Pengelola Pemerintah Desa Tambak Sawah saja dalam proses persidangan. 

Namun Kali ini seluruh Kesalahan Dari Pihak Pemerintah Daerah Kabupaten Sidoarjo. Lima saksi Kepala Dinas yang dihadirkan tersebut sangat relevan dan mendukung konstruksi perkara oleh karena Dinas Perumahan Permukiman Cipta Karya dan Tata Ruang selaku pengguna barang dan kepala Dinas lah yang mempunyai tugas dan kewajiban untuk melalukan pengelolaan secara benar sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

"Bahwa pihak Kepala Dinas Perumahan, Permukiman, Cipta Karya dan Tata Ruang Kab Sidoarjo selaku Pengguna Barang serta UPT selaku Kuasa Pengguna Barang Milik Daerah yaitu Bangunan Rusunawa Tambaksawah sesuai dengan ketentuan Pasal 12 ayat 3 huruf i, Pasal 481 dan Pasal 482 Permendagri Nomor 19 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah," kata John.

"Di mana seharusnya Para Kepala Dinas tersebut melaksanakan fungsi pembinaan, pemantauan dan pengawasan. Sehingga hal ini turut berakibat pada penyimpangan pengelolaan Rusunawa Tambaksawah yang berakibat terjadinya Kerugian Keuangan Daerah," sambungnya.

Di samping itu, para Kepala Dinas dan UPT tersebut tidak melaksanakan pengelolaan Rusunawa Tambaksawah dengan baik sehingga bertentangan dengan ketentuan Pasal 44 UU Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.

Kasus dugaan korupsi dalam pengelolaan Rusunawa Tambaksawah saat ini memasuki tahap pembuktian di pengadilan. Beberapa pejabat aktif maupun nonaktif, serta pihak pengelola, diduga kuat terlibat dalam praktik yang merugikan keuangan daerah.

Sebagai bagian dari proses pembuktian, para saksi yang dihadirkan memang terkait langsung dan diyakini bisa memperjelas dugaan penyimpangan yang terjadi selama bertahun-tahun.

Kasus ini menjadi perhatian publik karena akibat dari pengelolaan yang tidak benar, dan merugikan keuangan negara dengan jumlah yang tidak sedikit yakni mencapai Rp9.7 miliar.

Penyidik Kejari Sidoarjo memastikan akan menuntaskan proses hukum atas perkara korupsi terkait pengelolaan Rusunawa milik pemerintah daerah setempat di Tambaksawah, Kecamatan Waru, dan tidak menutup kemungkinan ada penambahan tersangka baru.(cat/mar)