
Menurut dia, dalam dokumen Perjanjian Kerja Sama (PKS), tertulis dengan jelas bahwa desa selaku pihak kedua wajib menyampaikan laporan keuangan pengelolaan Rusunawa setiap enam bulan. Namun kewajiban itu tidak dijalankan.
“Itu yang menjadi pokok masalah. Dalam PKS-nya disebutkan ada laporan berkala. Tapi faktanya? Enggak pernah ada laporan yang diterima oleh dinas,” ujarnya.
Kisnu juga menyinggung adanya pembukuan fiktif oleh pengelola. Laporan keuangan yang ditampilkan di persidangan menunjukkan data yang berbeda antara neraca, dana masuk, dan realisasi pengeluaran.
“Ada bendahara, ada kasir, ada buku laporan, tapi semua berbeda-beda isinya. Ini menunjukkan bahwa tidak ada sistem pengelolaan keuangan yang sah dan dapat dipertanggungjawabkan,” tuturnya.
Nilai aset Rusunawa Tambaksawah yang cukup besar, yakni mencapai sekitar Rp 25 miliar untuk bangunan utama dan Rp10 miliar untuk flat tambahan, menurut JPU, seharusnya mendorong pengawasan ketat dari pemerintah daerah.
“Asetnya besar, uangnya besar. Maka pengelolaannya harus profesional dan bisa diaudit. Tapi kenyataannya, Pihak Pemerintah daerah yakni Dinas Perumahan Pemukiman dan cipta Karya Kabupaten Sidoarjo justru tidak melaksanakan Fungsinya melaksanakan Pembinaan, Pengawasan Pemantauan sebagai Pengguna Anggaran yang semuanya kabur, dan justru menimbulkan kerugian negara,” urai Kisnu.
Dikonfirmasi secara terpisah Kepala Kejaksaan Negeri Sidoarjo Roy Rovalino Herudiansyah, melalui Kepala seksi Tindak Pidana Khusus John Franky Yanafia Ariandi, menyampaikan, JPU telah mengungkap dengan jelas adanya Fakta-Fakta segala bentuk Penyimpangan yang terjadi bukan dari sisi Pengelola Pemerintah Desa Tambak Sawah saja dalam proses persidangan.
Namun Kali ini seluruh Kesalahan Dari Pihak Pemerintah Daerah Kabupaten Sidoarjo. Lima saksi Kepala Dinas yang dihadirkan tersebut sangat relevan dan mendukung konstruksi perkara oleh karena Dinas Perumahan Permukiman Cipta Karya dan Tata Ruang selaku pengguna barang dan kepala Dinas lah yang mempunyai tugas dan kewajiban untuk melalukan pengelolaan secara benar sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
"Bahwa pihak Kepala Dinas Perumahan, Permukiman, Cipta Karya dan Tata Ruang Kab Sidoarjo selaku Pengguna Barang serta UPT selaku Kuasa Pengguna Barang Milik Daerah yaitu Bangunan Rusunawa Tambaksawah sesuai dengan ketentuan Pasal 12 ayat 3 huruf i, Pasal 481 dan Pasal 482 Permendagri Nomor 19 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah," kata John.
"Di mana seharusnya Para Kepala Dinas tersebut melaksanakan fungsi pembinaan, pemantauan dan pengawasan. Sehingga hal ini turut berakibat pada penyimpangan pengelolaan Rusunawa Tambaksawah yang berakibat terjadinya Kerugian Keuangan Daerah," sambungnya.
Di samping itu, para Kepala Dinas dan UPT tersebut tidak melaksanakan pengelolaan Rusunawa Tambaksawah dengan baik sehingga bertentangan dengan ketentuan Pasal 44 UU Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
Kasus dugaan korupsi dalam pengelolaan Rusunawa Tambaksawah saat ini memasuki tahap pembuktian di pengadilan. Beberapa pejabat aktif maupun nonaktif, serta pihak pengelola, diduga kuat terlibat dalam praktik yang merugikan keuangan daerah.
Sebagai bagian dari proses pembuktian, para saksi yang dihadirkan memang terkait langsung dan diyakini bisa memperjelas dugaan penyimpangan yang terjadi selama bertahun-tahun.
Kasus ini menjadi perhatian publik karena akibat dari pengelolaan yang tidak benar, dan merugikan keuangan negara dengan jumlah yang tidak sedikit yakni mencapai Rp9.7 miliar.
Penyidik Kejari Sidoarjo memastikan akan menuntaskan proses hukum atas perkara korupsi terkait pengelolaan Rusunawa milik pemerintah daerah setempat di Tambaksawah, Kecamatan Waru, dan tidak menutup kemungkinan ada penambahan tersangka baru.(cat/mar)