MOJOKERTO, BANGSAONLINE.com - Ritual Ruwat Sukerta atau ritual siraman untuk membersihkan diri dari nasib sial digelar setiap awal bulan Suro di Pendopo Agung, Trowulan, Mojokerto. Ratusan peserta datang dari sejumlah daerah di tanah air untuk mengikuti ritual yang dipercaya bisa mendatangkan nasib baik tersebut.
Ritual tolak balak itu menggunakan tujuh jenis air yang dianggap suci pada zaman Majapahit dengan ritual khusus.
Baca Juga: Eksotisme Telasen Topak atau Lebaran Ketupat, Hari Raya-nya Puasa Sunnah Syawal
Pemangku adat dari Pusat Lembaga Kebudayaan Jawa (PLKJ) Koordinator Jawa-Bali yang memimpin ritual Ruwat Sukerta, Ki Wiro Kadek Wongso Jumerek mengatakan, ada tujuh macam air suci yang selalu dipakai untuk ritual siraman tersebut. Yakni air kelapa, air laut tawar, air hujan, embun, sumber tempur, air sendang, serta air sumber dari tujuh petirtaan situs Majapahit.
"Yang pertama air kelapa yang kami ambil di Ujung Galuh, Pantai Kenjeran, Surabaya, lokasi itu sebagai pintu masuk ke Keraton Majapahit. Air kelapa kan bersumber dari sari-sari bumi yang naik ke atas, tidak ada kotorannya sama sekali, itu yang disebut air suci. Saya mengambil sendiri dan tidak boleh jatuh ke tanah," kata Kadek prosesi ruwat, Jumat (16/10).
Air suci ke dua, menurut Kadek diambil dari Pantai Ngobaran, Gunung Kidul, Yogyakarta dan Petirtaan Panglukan di Bali. Ternyata dibutuhkan ritual khusus untuk mengambil air laut yang tawar itu. Pasalnya, kedua lokasi itu dipercaya sebagai tempat bertapa Raja Brawijaya.
Baca Juga: Tradisi Lebaran yang Hanya Ada di Indonesia
"Ada ritualnya berupa doa dan sesaji, kami permisi ke arwah para leluhur di sekitar situ, mengambilnya pun ada tata kramanya, harus pakai gayung. Di tempat itu dulu Raja Brawijaya bertapa saat akan memeberikan tahta kepada anaknya," ujarnya.
Air suci berikutnya, lanjut Kadek, merupakan air hujan yang pertama kali turun setelah musim kemarau. Menurutnya, air hujan disucikan sebab dianggap sebagai rajanya air di muka bumi.
"Air hujan adalah rajanya air atau Tirta Nata, untuk melebur kotoran dalam tubuh harus pakai rajanya air. Kita ambil air pertama hujan di Malang kemarin, kita tampung dengan ember," sebutnya.
Baca Juga: Cara Menghitung Weton Jodoh yang Benar
Jenis air suci ke 4 yang digunakan untuk ritual Ruwat Sukerta adalah air embun. Tetesan embun pagi itu dikumpulkan dari situs Sumur Upas di Desa Sentonorejo, Trowulan, serta dari Situs Tempuran di Kecamatan Puri, Mojokerto.
"Air embun, kita ambil setelah subuh, sekitar satu minggu lamanya untuk menampung tetesan embun di situs Sumur Upas dan Situs Tempuran, di situs itu ada prasasti Raja Terakhir Majapahit, Giri Swardana Dyah Surya Wikrama atau Bhre Wengker yang didarmakan di lokasi tersebut, tempat itu juga disebut rumah para raja," ungkapnya.
Air suci lainnya berasal dari Sumber Tempur yang juga berlokasi di Desa Tempuran, Kecamatan Puri. Sumber Tempur ini dianggap suci sebab menjadi pertemuan antara Sendang Wadon dengan Sumber Kates.
Baca Juga: Berkenalan dengan Tari Jaranan
"Air suci keenam adalah air sendang. Kami ambil dari Sendang Dewi Kunti di Gunung Arjuna Malang, di sana konon tempat para dewa berdoa," jelasnya.
Sedangkan air suci ke tujuh diambil dari tujuh sumber mata air di Trowulan. Antara lain dari Siti Inggil, Petirtaan Hayam Wuruk, Tribuwana Tungga Dewi, Makam Panjang, Putri Campa, Sumur Sakti Gajah Mada, dan mata air dari Sumur Upas di Desa Sentonorejo, Trowulan.
Dari tahun ke tahun, Ruwat Sukerta yang rutin digelar setiap awal Bulan Suro di Pendopo Agung, Trowulan ini semakin diminati. Jika tahun lalu jumlah peserta hanya 56 orang, kali ini peserta mencapai 150 orang. Selain dari Mojokerto sendiri, mereka datang dari beberapa daerah. Mulai dari Jombang, Kediri, Nganjuk, Sidoarjo, hingga Surabaya. (gun/rev)
Baca Juga: Peringati HUT ke-200 Klenteng Hok Sian Kiong, Puluhan Ribu Masyarakat Padati Kota Mojokerto
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News