
JEMBER, BANGSAONLINE.com - Upaya Pertamina dalam menyalurkan BBM bersubsidi, khususnya solar untuk kebutuhan nelayan, dinilai telah berada di jalur yang tepat. Namun, sejumlah pihak mengingatkan pentingnya pengawasan ketat guna mencegah potensi penyalahgunaan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.
Akademisi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Jember (Unej), Ciplis Gema Qoriah, menilai bahwa sistem distribusi berbasis digital melalui aplikasi MyPertamina dan penggunaan barcode merupakan langkah maju. Meski demikian, ia menyoroti masih adanya celah dalam sistem tersebut.
“Secara umum, pendekatan Pertamina sudah cukup baik. Tapi masih ada pertanyaan besar mengenai pemanfaatan barcode—apakah solar digunakan langsung untuk usaha nelayan, ditimbun, atau malah diperjualbelikan kembali. Belum ada sistem pelacakan yang mampu mendeteksi hal itu,” paparnya, Selasa (12/8/2025).
Ia menambahkan, praktik tidak etis atau moral hazard masih mungkin terjadi, baik dari pihak nelayan, SPBU, maupun pelaku pasar gelap yang memanfaatkan kelemahan sistem.
Sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014, solar subsidi diperuntukkan bagi kalangan tertentu, termasuk nelayan pemilik kapal di bawah 30 Gross Ton (GT) yang telah terdaftar resmi di Kementerian Kelautan dan Perikanan serta memperoleh verifikasi dari instansi daerah. Hal yang sama berlaku untuk usaha budidaya perikanan skala kecil.
Menurut Ciplis, validitas data penerima subsidi menjadi aspek krusial yang harus dijaga. Ia menekankan perlunya keterlibatan lintas sektor seperti Dinas Kependudukan, Dinas Sosial, dan Dinas Tenaga Kerja untuk melakukan verifikasi berkala.
“Misalnya anak dari keluarga nelayan, apakah masih bekerja di sektor yang sama atau sudah beralih profesi? Ini penting untuk menentukan apakah mereka masih layak menerima solar subsidi atau tidak,” ujarnya.
Ia juga menyarankan agar status nelayan (baik sebagai pemilik kapal maupun pekerja) didokumentasikan secara menyeluruh guna mencegah salah sasaran.
Lebih jauh, Ciplis menyampaikan bahwa Pertamina seharusnya tidak hanya berperan sebagai penyalur BBM, tetapi juga memperluas kontribusinya melalui program Corporate Social Responsibility (CSR).
Menurut dia, program CSR dapat diarahkan untuk mendukung kegiatan nelayan, seperti penyediaan alat tangkap dan pengembangan hilirisasi produk hasil laut.
“Namun, pemanfaatan dana CSR harus jelas, mulai dari peruntukan, pelaksana, hingga hasil akhirnya. Semua itu harus terintegrasi dengan data nasional,” tuturnya.
Sementara itu, dari sudut pandang berbeda, Bambang Budiarto, dosen ekonomi dari Universitas Surabaya, menyoroti kelemahan mendasar dari sistem subsidi BBM yang selama ini melekat pada produk.
“Model subsidi seharusnya melekat pada individu, bukan pada barang. Selama ini solar dijual murah dengan harapan membantu masyarakat, tapi tanpa kontrol ketat, sangat mudah disalahgunakan,” katanya.
Ia mengakui, digitalisasi distribusi dan peluncuran program CSR oleh Pertamina merupakan langkah positif. Namun, penyimpangan masih terjadi karena sebagian masyarakat sudah “terampil” dalam memanipulasi data dan dokumen demi keuntungan pribadi.
Solusi yang ditawarkan Bambang adalah memperketat verifikasi penerima manfaat subsidi. Barcode, katanya, seharusnya hanya diberikan kepada individu yang benar-benar memenuhi kriteria.
“Kalau subsidi bisa diarahkan tepat sasaran, efeknya akan jauh lebih terasa bagi masyarakat kecil,” cetusnya. (nga/yud/mar)