
SURABAYA,BANGSAONLINE.com - Sidang dugaan kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang dilakukan terdakwa Vinna Natalia Wimpie Widjojo, seorang ibu rumah tangga terhadap suaminya kembali digelar di Ruang Kartika Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Rabu (3/9/2025) dengan agenda pembacaan eksepsi.
Vinna didakwa melakukan kekerasan psikis dan dia disangkakan melanggar Pasal 45 ayat (1) atau Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT).
Sayangnya sidang dengan kasus unik ini digelar dengan secara tertutup atas perintah Ketua Majelis Hakim S Pujiono, karena menyangkut harga diri keluarga besar yang berperkara.
Setelah sidang Tim kuasa hukum Vinna yang dipimpin Bangkit Mahanantiyo menjelaskan, dalam sidang sidang kuasa hukum mengajukan eksepsi (keberatan) atas dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Mosleh Rahman dari Kejaksaan Negeri Surabaya Menurutnya, dakwaan yang disusun JPU tidak bisa diterima, atau setidaknya batal demi hukum.
Ada tiga poin utama yang disampaikan, yaitu:
1.Cacat Formil dan Materil Surat dakwaan dianggap tidak jelas menentukan waktu kejadian (tempus delicti) karena terdapat perbedaan antara 15 Desember 2023 dengan 18 September 2024.
2.Dakwaan Kabur (Obscuur Libel) Bahwa dalam saksi Sena Sanjaya Tanata Kusuma telah memenuhi akta perdamaian dengan membayar uang sejumlah Rp.2 juta dan Rp.75 juta, namun Terdakwa tetap mengajukan cerai, hal demikian menimbulkan kecemasan dan seolah-olah Terdakwa telah melakukan kekerasan psikis terhadap Sena. Dengan diajukannya perkara ini ke ranah pidana, menunjukkan adanya kesesatan berpikir, mengapa? Tidak terpenuhinya prestasi para pihak telah diatur dalam Pasal 4 Akta Perdamaian.
Perkara seharusnya masuk ranah perdata, bukan pidana, karena terkait akta perdamaian yang telah disepakati di Polrestabes Surabaya. Selain itu, dakwaan dinilai tidak lengkap dan tidak menggambarkan fakta sebenarnya.
3.Daluwarsa Penuntutan – Laporan baru dibuat pada 21 November 2024, padahal menurut KUHP pengaduan hanya bisa dilakukan maksimal 6 bulan setelah peristiwa diketahui.
“Dengan adanya cacat formil, dakwaan kabur, hingga daluwarsa penuntutan, maka cukup beralasan hukum bila dakwaan JPU ditolak,” tegas Bangkit.
Selain mengajukan eksepsi, pihak Vinna juga meminta kepada Ketua Majelis Hakim , S. Pujiono agar sidang digelar terbuka untuk umum. Alasannya, dakwaan yang disangkakan bukan kekerasan seksual, sehingga tidak ada dasar hukum untuk dilakukan secara tertutup.
"Berdasarkan SEMA No. 5 Tahun 2021 hanya mengatur sidang tertutup untuk perkara KDRT yang mengandung unsur kekerasan seksual dan Dalam kasus ini, korban maupun pelaku bukan anak, sehingga tidak ada alasan hukum untuk menutup sidang. Dasar akhirnya: apa yang tidak dilarang hukum, boleh dilakukan (nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali)," tegasnya. (ald/van)