Anggota DPD RI Dapil Jatim, Lia Istifhama atau yang akrab disapa Ning Lia, saat bersama Menteri PPPA, Arifah Fauzi.
SURABAYA, BANGSAONLINE.com - Anggota DPD RI Dapil Jatim, Lia Istifhama atau yang akrab disapa Ning Lia, menyatakan dukungan penuhnya terhadap langkah Kementerian PPPA dalam menghidupkan kembali permainan tradisional sebagai strategi memperkuat karakter anak.
Upaya tersebut dianggap penting untuk merespons meningkatnya kasus kekerasan dan kerentanan anak yang dipicu perubahan gaya hidup digital.
Menurut Ning Lia, permainan rakyat dan olahraga tradisional bukan sekadar hiburan, melainkan 'bahasa budaya' yang membentuk cara berpikir, cara berinteraksi, dan cara bangsa memahami kehidupan.
Indonesia memiliki lebih dari 2.600 permainan tradisional yang masing-masing mengandung nilai luhur. Mulai dari congklak yang mengajarkan strategi dan kesabaran, gobak sodor yang melatih keberanian dan kerja tim, hingga tarik tambang dan egrang yang menumbuhkan kekompakan dan keseimbangan.
“Nilai-nilai ini bukan hanya filosofi permainan, tetapi falsafah kebangsaan. Kekuatan bangsa tidak hanya ditentukan oleh teknologi, tetapi juga keteguhan identitas budaya,” kata Ning Lia.
Keponakan Gubernur Khofifah itu turut menyampaikan, permainan tradisional adalah bagian penting dalam pembangunan karakter bangsa, terutama saat anak-anak semakin terpapar gawai dan kehilangan ruang interaksi sosial.
“Permainan tradisional adalah warisan budaya yang sarat nilai. Ketika anak-anak kembali mengenal permainan yang melatih motorik, kecerdasan sosial, ketangguhan, dan kerja sama, maka sesungguhnya kita tengah menanamkan fondasi karakter kebangsaan yang kuat. Saya sangat mendukung langkah Kemen PPPA dan KPOTI, termasuk rencana perluasan ruang permainan di berbagai daerah,” ucap putri KH Maskur Hasyim ini.
Ning Lia berharap pemerintah daerah maupun lembaga pendidikan perlu terlibat aktif agar permainan tradisional kembali menjadi aktivitas harian di lingkungan keluarga, sekolah, maupun komunitas.
"Upaya ini, bukan hanya tentang nostalgia, tetapi tentang menyelamatkan generasi dari krisis karakter akibat ketergantungan digital," tuturnya.
Sebelumnya, Menteri PPPA, Arifah Fauzi, menjelaskan bahwa tingginya angka kekerasan pada anak saat ini dipengaruhi lima faktor utama yakni tekanan ekonomi, pola asuh, media sosial, lingkungan, dan maraknya pernikahan usia anak.
Penggunaan gawai tanpa pendampingan dianggap menjadi pemicu signifikan, karena berdampak pada fisik, mental, kemampuan sosial-akademik, hingga keterlibatan anak dalam kasus kekerasan.
“Dari kasus yang kami tangani langsung, 90 persen kekerasan yang melibatkan anak dipicu penggunaan media sosial yang tidak bijaksana dan minim pengawasan. Anak tidak bisa hanya dilarang bermain gawai. Kita butuh solusi yang menghadirkan interaksi nyata, nilai kebersamaan, dan pembentukan karakter. Permainan tradisional memiliki filosofi kuat, ada kejujuran, kedisiplinan, sportivitas, dan kerja sama,” urai Arifah.
Sebagai langkah konkret, Kementerian PPPA berencana menyediakan ruang permainan tradisional berbasis kearifan lokal hingga berkolaborasi dengan Komite Permainan Rakyat dan Olahraga Tradisional Indonesia (KPOTI).
Inisiatif ini akan diperluas ke seluruh provinsi agar anak-anak memiliki ruang sosial alternatif yang sehat di luar gawai.
“Kami Kemen PPPA juga tengah mengupayakan pembentukan Museum Permainan Tradisional sebagai bentuk pelestarian budaya nasional,” kata Arifah. (mdr/mar)













