Tafsir Edisi Khusus: Ramadhan Bulan Kesehatan

Tafsir Edisi Khusus: Ramadhan Bulan Kesehatan Dr. KH. A. Musta'in Syafi'i.

Oleh: Dr. KH. Ahmad Musta'in Syafi'ie

Ramadhan itu maknanya hangat, panas. “idza ramidlat al-fishal”. Unta yang biasa duduk ndeprok di atas tanah pada pagi hari, lama-lama merasa kehangatan dan seterusnya kepanasan karena tanah mulai panas tersengat matahari siang. Lalu berdiri dan beranjak pergi mencari tempat yang teduh.

Sisi kebahasaan ini menggiring persepsi, bahwa rasa Ramadhan berbeda dengan non-Ramadhan. Ada beban cuaca panas, kehausan, lemes, males, lapar dan sebagainya. Padahal itu proses pembakaran dosa.

Kata orang sufi, siapa puasa Ramadhan dan sambat, mengeluh kelaparan, kehausan, kok lama sih gak surup-surup, mengharap matahari cepat terbenam, maka itu pertanda tidak ikhlas beribadah di hadapan Tuhan.

Seperti Anda yang menyuruh anak anda mengerjakan sesuatu, bersih-bersih dsb., lalu di tengah-tengah dia mengerjakan apa yang anda perintahkan dia berkata begini: “aku capek, payah.” Sambil menunjukkan ekspresi yang tak ramah.

Meski dia tetap mengerjakan, tapi sambil ngedumel. Lalu, bagaimana perasaan anda sebagai bapak yang menyuruh?

Apa hati anda suka dengan sikap anak anda, atau tersinggung, atau mengganjal dan nelongso. “Nak..nak… Setiap hari, bapak kerja keras, mencari uang demi menghidupi kalian dan bapak tidak pernah mengeluh. Kok kamu disuruh begitu saja ngedumel, nggerundel.”

Kira-kira begitulah perasaan Tuhan melihat hamba-Nya yang sambat kehausan, kelaparan.

Karena itu, segala urusan duniawi harus disesuaikan demi menghormati kewajiban puasa Ramadhan. Jangan dibalik. Urusan duniawi yang dibuat-buat sendiri didramatisir seolah memenuhi syarat untuk menggugurkan kewajiban puasa. Itu pikiran “fasiq”, tidak serius merespons perintah Tuhan.

Alasan kuno adalah kemisikinan yang menghimpit dan aturan kerja yang ketat. Kalau tidak kerja, maka tidak makan. Tapi kalau kerja, maka tidak kuat berpuasa. Atau, kalau tidak sanggup kerja, akan dipecat dsb. Abu Hurairah R.A. bekerja sebagai kuli panggul di pasar, tapi rajin berpuasa sunnah.

Sesungguhnya Tuhan sudah mengerti itu semua. Makanya memberi dispensasi kepada personil tertentu. Antara lain wanita hamil atau menyusui. Ya, di kitab fikih beragam komentar. Tetapi kolom ini memilih, bahwa wanita hamil atau menyusui boleh tidak berpuasa dengan konpensasi pilihan juga: qadla saja atau membayar fidyah saja. Kasihan kalau dibebani keduanya.

Kedua, musafir. Orang yang bepergian dan telah memenuhi syarat. Syarat jarak tempuh dsb. Safar itu touring, ngelencer, dan bukan kerja. Sopir bus jarak jauh, apakah boleh tidak puasa. Ya tanya saja kepada si supir itu: Mas, anda itu ngelencer atau kerja. Pasti menjawab kerja. Itu “mihnah” namanya dan bukan safar.

Terhadap pekerja berat sama dengan sopir di atas. Itu mihnah. Ya tinggal disederhakan, dikurangi porsi kerjanya. Ini, sekaligus pendidikan agar kerja sebelas bulan hasilnya bisa dinikmati satu bulan.

Sebuah komparasi antara kerja dan hasil yang ideal. Sekaligus pendidikan agar memlilih pekerjaaan yang produktif dan pandai mengatur belanja.

Maka nyupir, kerja berat, adalah mihnah, kerja sehari-hari yang tidak cukup kuat dipakai alasan untk tidak puasa. Andai dibolehkan tidak puasa, terus qadla’nya kapan. Lha wong di luar Ramadhan nyupir terus, kerja berat terus.

Berpuasa itu kurrikulum Tuhan yang sangat bijak. Seolah seperti “paksaan” dari Dzat Yang Mempunyai perut. Diistirahatkan sejenak demi kesehatan pelaku puasa sendiri. Memberi berkesempatan usus besar menghimpun tenaga dan pemulihan dari kerja panjang. Tentu, setelah berpuasa menjadi lebih sehat dan fresh. Itulah sabda bijak: puasa itu menyehatkan.