Antara Mitos dan Trauma Kolektif: Membaca Fenomena Pugut di Sumbermalang

Antara Mitos dan Trauma Kolektif: Membaca Fenomena Pugut di Sumbermalang Tradisi menjaga kuburan di lereng pegunungan Sumbermalang Situbondo.

Oleh: Syaiful Bahri

Di lereng pegunungan Sumbermalang, Situbondo, narasi tentang kematian tidak berhenti pada liang lahat. Ada sebuah bayang-bayang besar berwarna merah bernama Pugut yang menghantui kesadaran kolektif warga. Sosok ini bukan sekadar cerita pengantar tidur, melainkan alasan mengapa puluhan pria dewasa rela terjaga hingga fajar di atas gundukan tanah makam yang masih basah.

Fenomena melekan (begadang) di kuburan yang terjadi di Desa Tambak Ukir, Plalangan, hingga Desa Cemara ini memicu pertanyaan besar: Mengapa di era digital ini masyarakat masih begitu kokoh memegang teguh keyakinan pada sosok "pemangsa jenazah"?

Pugut sebagai "Kebenaran Fungsional"

Dalam kacamata antropologi, sebuah mitos bertahan bukan karena masyarakatnya "terbelakang", melainkan karena mitos tersebut memiliki fungsi. Bagi warga Sumbermalang, Pugut adalah personifikasi dari rasa takut akan hilangnya kehormatan jenazah.

Meski tokoh agama dan perangkat desa telah memberikan edukasi rasional, kenyataan di lapangan berbicara lain. Adanya bukti-bukti fisik—mulai dari makam yang terbongkar, ceceran kain kafan, hingga temuan tulang di gua—mengonversi "cerita" menjadi "kebenaran empiris" bagi warga.

"Warga melihat ceceran kain kafan tak jauh janazah yang raib". Ujar Suwardi, Sekdes Plalangan.

Dalam psikologi massa, satu kesaksian tentang jenazah yang raib jauh lebih kuat dibanding seribu penjelasan ilmiah.

Pergeseran Durasi: Adaptasi Tradisi di Tengah Zaman

Menarik untuk mencermati bagaimana durasi melekan mengalami penyusutan. Desa Tambak Ukir masih memegang teguh 40 malam, Dusun Jambaran bergeser ke angka 25–30 malam, Desa Cemara menjadi 7 malam.

Perbedaan durasi ini menunjukkan adanya negosiasi budaya. Masyarakat mulai berkompromi dengan tuntutan hidup modern dan beban ekonomi, namun tetap tidak berani meninggalkan tradisi sepenuhnya.

Pengurangan malam ini adalah bentuk "jalan tengah" antara logika keamanan dan penghormatan pada leluhur.

Mengapa Edukasi Sering Kali Gagal?

Sering kali, pendekatan formal dari tokoh masyarakat atau agama menggunakan logika "hitam-putih" (percaya vs tidak percaya). Namun, bagi warga Sumbermalang, melekan bukan hanya soal melawan makhluk gaib, melainkan soal solidaritas sosial.

Berkumpulnya hingga 50 orang di pemakaman menciptakan ruang komunal yang mempererat ikatan antartetangga. Di sana ada gotong royong, distribusi makanan, dan rasa senasib sepenanggungan. Menghilangkan tradisi ini tanpa memberikan rasa aman pengganti (baik secara psikis maupun fisik) tentu akan ditolak oleh masyarakat.

Kesimpulan: Lebih dari Sekadar Mitos

Pugut mungkin saja adalah memori kolektif tentang ancaman hewan buas di masa lalu yang kini terbalut narasi mistis. Namun, bagi masyarakat Sumbermalang, ia adalah realitas yang menentukan cara mereka memperlakukan kematian.

Alih-alih memaksakan masyarakat untuk berhenti percaya, pendekatan yang lebih humanis adalah memahami bahwa tradisi melekan adalah cara warga menjaga martabat anggota keluarga mereka yang telah tiada. Selama rasa takut itu masih nyata, maka di lereng Sumbermalang, api kecil di pusara akan terus menyala hingga pagi menjelang.

Penulis merupakan wartawan HARIAN BANGSA dan BANGSAONLINE.com