Warga Dusun Jambaran, Desa Plalangan, Kecamatan Sumbermalang, Situbondo, saat menjaga makam.
SITUBONDO, BANGSAONLINE.com - Kepercayaan terhadap makhluk gaib misterius masih kuat di wilayah pegunungan Kecamatan Sumbermalang. Hingga sekarang, masyarakat setempat memegang teguh tradisi 'melekan' atau berjaga di makam jenazah baru demi menghindari ancaman makhluk bernama Pugut.
Tradisi ini masih dijalankan di sejumlah desa terpencil, seperti Plalangan, Cemara, dan Tambak Ukir. Salah satu tokoh masyarakat, Andi Susanto, menjelaskan bahwa warga percaya Pugut adalah sosok bertubuh besar berwarna merah yang menggali makam dan membawa jenazah ke gua tersembunyi.
“Masyarakat menyebutnya ‘Pugut’. Sosoknya digambarkan bertubuh besar dan berwarna merah. Keyakinannya, ia menggali makam, memanggul mayat, lalu membawanya ke gua tersembunyi untuk dimakan,” ujarnya kepada BANGSAONLINE.com, Rabu (24/12/2025).
Kesaksian serupa datang dari Hasan, seorang guru, yang menyebut sering ditemukan lubang misterius seukuran tubuh manusia di area pemakaman. Andi menambahkan, hingga tahun 2000-an masih ada kasus jenazah hilang secara misterius.
Selain faktor gaib, penjagaan juga dilakukan untuk mencegah pencurian jenazah oleh oknum yang mencari ilmu kesaktian. Penjagaan makam biasanya melibatkan hingga 50 warga semalam suntuk.
Durasi berbeda di setiap desa, seperti Tambak Ukir konsisten 40 malam, Dusun Jambaran (Plalangan) 25–30 malam, dan Desa Cemara sekitar 7 malam.
Tradisi ini membawa konsekuensi ekonomi besar bagi keluarga berduka, yang harus menyiapkan jamuan makan hingga 2 kali semalam.
“Pihak keluarga terkadang harus memotong sampai 2 ekor sapi untuk menjamu warga yang berjaga,” kata Andi.
Namun, aktivitas melekan kerap disayangkan karena sebagian warga mengisi waktu dengan perjudian kartu.
“Sayangnya, mereka memanfaatkan momen itu dengan main judi,” keluhnya.
Sekretaris Desa Plalangan, Suwardi, menuturkan hampir seluruh dusun di desanya masih menjalankan tradisi ini. Meski pihak desa bersama tokoh agama berupaya memberikan edukasi, tradisi yang berakar puluhan tahun tetap sulit dihapus dari pola pikir masyarakat pegunungan Situbondo. (sbi/mar)






