DPR Setuju Revisi UU Terorisme, Imparsial Tolak Beri Wewenang Lebih kepada BIN

DPR Setuju Revisi UU Terorisme, Imparsial Tolak Beri Wewenang Lebih kepada BIN ilustrasi. foto: bbc.com

JAKARTA, BANGSAONLINE.com - Komisi III DPR mendukung rencana revisi UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Sikap ini disampaikan pimpinan rapat Komisi III Trimedya Panjaitan usai rapat kerja Komisi III DPR dengan Kapolri Jenderal Badrodin Haiti, di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (25/1).

Menurut Wakil Ketua Komisi III itu, pihaknya mendukung rencana kepolisian untuk memperkuat Densus 88 Antiteror melalui revisi Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 dan peraturan perundng-undangan lain. Juga peningkatan anggaran. "Kita mendukung revisi Undang-undang Terorisme," ujar Trimedya seperti dilansir metrotvnews.com.

Diketahui, Polri meminta Komisi III DPR memperluas kewenangan kepolisian untuk menjerat tindakan pendahuluan terorisme. Perluasan kewenangan polisi itu dimaksudkan untuk mencegah aksi terorisme kembali terjadi di Indonesia.

Kapolri Jenderal Badrodin Haiti memaparkan, perluasan kewenangan kepolisian ditempuh melalui revisi UU No 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Revisi difokuskan untuk penguatan Polri dalam penanggulangan terorisme, baik pencegahan, penegakan hukum maupun deradikalisasi.

"Kita sudah sampaikan bahwa ke depan ancaman terorisme harus diantisipasi dengan penguatan Densus 88. Salah satunya revisi UU 15 tahun 2003. Itu yang perlu dilakukan revisi," kata Badrodin usai rapat kerja dengan Komisi III DPR di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (25/1).

Menurut Badrodin, revisi dibutuhkan guna mencegah dan memasukan strategi preventif, seperti persiapan teror, dapat dilakukan penahanan.

"Kita memang memerlukan perluasan upaya pencegahan. Seperti kita tahu, orang yang bergabung dengan ISIS dan sudah jelas terlibat di situ ikut pelatihan militer, itu tidak bisa dipidanakan. Oleh karena itu kita memerlukan perluasan kewenangan," ujar Badrodin.

Usulan untuk revisi Undang-undang Terorisme, kata Badrodin, sudah diamini oleh seluruh pimpinan dan anggota Komisi III. "Dari hasil kesimpulan, Komisi III menyetujui revisi tersebut," ujar Badrodin.

Terpisah, seiring wacana revisi UU Terorisme tersebut, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Sutiyoso meminta pemerintah memberi kewenangan lebih untuk menangkap dan menindak terduga teroris. Namun permintaan itu ditolak mentah-mentah Presiden Joko Widodo dan politisi DPR.

Imparsial setuju bila BIN tidak diberi wewenang menangkap teroris. Alasannya jelas, BIN bukan lembaga atau institusi penegak hukum. Imparsial khawatir jika BIN diberi wewenang menangkap orang, maka akan membuat masalah baru. "Apabila BIN menangkap seseorang maka itu seperti melegalkan penculikan, itu kami keberatan" ujar Direktur Eksekutif Imparsial Al Araf, Senin (25/1) di kantor Imparsial Tebet Utara, dikutip dari merdeka.com.

Catatan lain dari Imparsial, terkait masa penangkapan, cukup 7x24 jam seperti yang tertuang dalam undang-undang. Jangan ada perpanjangan waktu karena akan memperpanjang penyiksaan yang dihadapi seseorang. Imparsial meminta pemerintah tetap menjamin keamanan dan kebebasan. "Revisi seperti itu akan menimbulkan masalah baru. Akan berpotensi ketidakseimbangan keamanan dan ham" tambah Al Araf.

Peneliti Senior Imparsial, Poengky Indarti juga menolak kewenangan lebih untuk BIN. Dia menganggap hal itu akan membuka ruang penyalahgunaan wewenang atau abuse of power. Pemberian wewenang pada BIN juga tidak sesuai hakikat intelijen sebagai badan yang mengumpulkan, mengolah dan memberikan informasi kepada pejabat pengambil kebijakan. "Jika memberikan kewenangan tersebut Indonesia bisa jadi tertawaan dunia," tambah Poengky.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memutuskan mengambil opsi revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Opsi lain yang tak dipilih adalah peraturan pemerintah pengganti UU (Perppu) dan pembuatan UU baru.

Sekretaris Kabinet Pramono Anung menyatakan, usai keputusan tersebut, Jokowi langsung menugaskan Menko Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan dan Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly, untuk memproses dalam bentuk rancangan UU yang nantinya akan diserahkan ke DPR RI.

Pramono menegaskan, revisi itu nantinya tetap akan mengedepankan asas praduga tak bersalah dan persoalan Hak Asasi Manusia (HAM).

Kader PDI Perjuangan (PDIP) itu melanjutkan, pertimbangan konten revisi sangat bergantung dari berbagai isu radikalisasi yang tumbuh di tengah-tengah masyarakat.

"Berkaitan dengan ideologi, kekerasan, pendidikan, ketimpangan, dan kesenjangan. Faktor itu menjadi petimbangan pemerintah dalam mengambil sikap nantinya," kata Pramono dalam konferensi persnya di Istana Negara, Jakarta Pusat, Kamis (21/1).

Perubahan itu akhirnya diambil, karena perkembangan ekstrimisme di Indonesia dan dunia yang menuntut penanganan yang lebih konprehensif. Terlebih, perkembangan internet membuat paham radikal bisa menyebar lewat dunia maya dan situs online. Atas dasar itu pulalah, Jokowi memerintahkan agar laman dan akun penyebar paham radikalisme ditutup.

"Selain itu, satu sumber radikalisme, selain ajaran langsung ternyata tumbuh di lapas. Maka Presiden minta Menkumham tertibkan lapas yang ada, agar tidak jadi tempat tumbuhnya radikalisme," tutup Pramono. (mtv/mer/dtc/rev)