JAKARTA, BANGSAONLINE.com - Sindikat penjualan organ tubuh yang baru-baru ini dibongkar Bareskrim Polri cukup menggegerkan publik. Pasalnya, di Indonesia penjualan organ tubuh merupakan praktik ilegal dan dilarang keras.
Namun, para pelaku banyak mengakalinya dengan mengincar target masyarakat miskin yang sedang terlilit hutang. Seperti dialami IP (19 tahun).
Baca Juga: Jenazah TKI tak Utuh Dipulangkan, Diduga jadi Korban Penjualan Organ
IP mengaku tidak sadar menjadi korban penjualan organ tubuh ginjal. Diiming-imingi uang, warga Kabupaten Bandung tersebut terjerat ke dalam tipu daya pelaku. Kepada polisi, saat diperiksa beberapa waktu lalu, IP menceritakan awal mula musibah yang menghampirinya, yakni pada Agustus 2015 lalu.
"Saksi korban bercerita, ekonominya sedang sulit. Pelaku bernama Amang lalu mendatangi korban," ujar Kepala Subdirektorat III Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Kombes (Pol) Umar Surya Fana seperti dilansir kompas.com, Jumat (29/1).
Amang menawari IP agar menyerahkan satu ginjalnya untuk dijual. Amang menyebutkan, harga per ginjal adalah Rp 75 juta.
Baca Juga: Bongkar Praktik Mafia Penjualan Ginjal, Bareskrim Geledah RSCM
Amang meyakinkan IP, tidak akan ada gangguan kesehatan jika hanya hidup dengan satu ginjal. IP lalu setuju. Keesokan harinya, Amang menemani IP ke sebuah klinik di Bandung untuk tes kesehatan. Di klinik itu, IP dipertemukan dengan Dedi.
Dedi yang kemudian mengurus segala administrasi pengecekan kesehatan. Menurut hasil cek kesehatan itu, dokter menyatakan bahwa ginjal IP dalam keadaan baik dan siap ditransplantasi.
"Tiga hari kemudian, dua pelaku itu membawa IP ke salah satu rumah sakit negeri untuk pemeriksaan sebelum transplantasi ginjal. Tanggal 23 Agustus 2015, ginjal kirinya diangkat untuk dipindahkan ke orang lain," ujar Umar.
Baca Juga: Polisi Bongkar Sindikat Jual Beli Ginjal, Satu Ginjal Dijual Rp 300 Juta
Umar mengatakan, IP tak mengerti bagaimana prosedur transplantasi ginjal. Dia tidak tahu nama dokter yang mengoperasinya. Bahkan, IP tidak tahu kepada siapa ginjalnya dijual. Dia pun tidak tahu berapa nilai jual ginjalnya. "Korban tahunya hanya mendapatkan uang Rp 75 juta. Uang itu diterima setelah ginjalnya diangkat," ujar Umar.
IP, lanjut Umar, juga sempat disodori surat dari pihak rumah sakit sebelum dioperasi. Inti surat itu adalah meminta persetujuan sebagai donor ginjal.
"Saksi tidak diberi salinan dokumen itu karena butuh uang segera. Maka, saksi korban menandatangani saja surat itu walaupun dia tidak baca isinya dan tidak tahu apakah sesuai prosedur atau tidak," ujar dia.
Selain IP, Badan Reserse Kriminal Mabes Polri juga melakukan pengembangan terkait sindikat penjualan organ tubuh ilegal di Kecamatan Majalaya, Kabupaten Bandung. Daerah ini menjadi salah satu tempat yang warganya banyak menjadi korban. Para korban merupakan hasil rekrutan salah seorang pelaku bernama Yana Priatna alias Amang, warga Majalaya.
Dari sekian banyak korban, Edi Midun (39) warga Kampung Pangkalan RT 01 RW 05 Desa Wangisagara, Kecamatan Majalaya, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, menjadi salah satu korban rekrutan Yana. Pria yang berprofesi sebagai sopir angkutan barang itu mengaku terpaksa menjual ginjal kirinya lantaran terlilit utang. Dia menceritakan, pada Agustus 2014 Amang menawarkan Edi untuk melakukan donor ginjal.
Edi mengaku sempat ragu, namun lantaran kondisi ekonomi yang kian mendesak serta jumlah utang yang terus bertambah, Edi pun menyetujui ajakan pelaku.
Saat itu, pelaku mengimingi uang puluhan juta agar Edi mau menerima ajakannya. "Saya kenal dia sejak lama. Dulu sama-sama sopir. Dia (Yana) nawarin ke saya. Saya terpaksa terima karena utang saya besar, sampai Rp 35 juta," ucap Edi.
Setelah ada kata sepakat, korban kemudian dibawa pelaku untuk menjalani serangkaian tes kesehatan di klinik laboratorium di Bandung. Pada Oktober 2014, proses operasi pun dilakukan di salah satu rumah sakit terkenal di Jakarta. "Saya gak tahu nama rumah sakitnya, tapi itu rumah sakit besar. Pokoknya (ruangannya) bagus, ada televisi, tempat tidurnya bisa naik turun otomatis, dipencet tombolnya," akunya.
Usai menjalani operasi dan pemulihan, uang yang dijanjikan pun dibayar pelaku secara tunai.
Sementara itu, Ifan Sopian (18) warga Kampung Simpang, Desa Wangisagara, Kecamatan Majalaya mengaku menawarkan diri kepada Yana untuk menjadi donor. Dia terpaksa menjual ginjal ekonomi lantaran mesti memenuhi kebutuhan keluarganya. "Saya dililit utang, saya ngajukan diri, karena faktor ekonomi. Saya kenal dia karena ya sekampung lah," ucap Ifan di kediamannya.
Pada Agustus 2015 Ifan diantar Yana menuju tol Pasir Koja yang kemudian dijemput oleh tersangka Kwok Herry Susanto dan Dedi Supriadi. "Sebelumnya saya menjalani tes kesehatan di Bandung. Di rontgen, USG, dan tes darah," jelasnya. Proses operasi dilakukan di salah satu rumah sakit terkenal di Jakarta.
Sementara itu, nama Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) diduga menjadi tempat pengoperasian si penjual untuk mengambil ginjalnya.
Adanya berita tersebut, pihak RSCM pun membantah keterlibatan dokter-dokternya dalam kasus jual-beli ginjal tersebut. Direktur Utama RSCM C.H. Soejono mengatakan operasi untuk melakukan transplantasi ginjal tersebut membutuhkan kerjasama tim, dan pihak yang terlibat ditetapkan melalui tim advokasi.
“Tidak ada dokter RSCM melakukan seperti itu. Soalnya kami punya mekanisme,” ujar Soejono membantah keterlibatan RSCM.
Menurutnya, transplantasi bukanlah operasi yang main-main. Pasien yang menjalani operasi transplantasi dilakukan penahbisan melalui tim advokasi dengan ketat. Penahbisan yang dimaksud adalah penetapan pendonor ‘oke’ untuk dioperasi setelah melewati beberapa tahap pengecekan sebelum operasi dilakukan.
Hal tersebut dilakukan untuk melindungi calon pendonor dan memastikannya bebas dari paksaan atau iming-iming lain untuk menjual ginjalnya. “Kami lakukan pencegahan supaya hal yang tidak terjadi. Dengan menerjunkan tim advokasi transplantasi tipa akan operasi,” jelasnya.
Dia juga menjelaskan, selain tim advokasi, pihak RSCM juga menyedikan tim psikiatrik forensik yang akan mewawancarai calon pendonor.
Hal ini dimaksudkan untuk memeriksa emosional, intelektual dan kognitif pendonor guna memastikan memiliki kemampuan mengambil keputusan sendiri dan bebas dari tekanan.
Seojono memastikan bahwa dua tim tersebut mampu mendeteksi bila ada salah satu pegawainya yang mencoba melanggar ketentuan. Jika memang terbukti ada dokter RSCM yang terlibat dalam sindikat jual-beli ginjal tersebut, Soejono mengatakan akan menyerahkan semua urusan tersebut kepada pihak yang berwajib. “Insya Allah, di RSCM tidak ada,” ujarnya lagi. (mer/tic/rmo/rev)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News