BONDOWOSO, BANGSAONLINE.com - Kalangan akademisi kembali menyoroti kinerja Badan Pemberdayaan Masyarakat (Bapemas) Provinsi Jawa Timur. Kali ini soal penerbitan Surat Perintah Tugas (SPT) untuk Tenaga Ahli (TA) dan Tenaga Pendamping Desa (T-PD) yang dinilai amburadul. Sebab, Sejumlah tenaga pendamping juga merasa kecewa karena penempatannya tidak di daerahnya sendiri. Hal itu mereka nilai tidak sesuai dengan amanah undang-undang desa yang memiliki semangat “desa membangun” bukan “membangun desa”. Sehingga kedatangan luar ke daerah lain tidak mencerminkan semangat undang-undang desa.
Salah satu dosen politik di UIN Sunan Ampel Surabaya. Syaeful Bahar mengatakan, penempatan secara acak tidak terlalu bijak. Alasannya sangat jelas, mengacu Undang-undang (UU) tentang Desa bahwa pemberdayaan desa harus memperhatikan lokalism dan kearifan lokal di suatu daerah.
Baca Juga: Sukses Implementasikan Tata Kelola SPK Efektif dan Terukur, Pemprov Jatim Raih Penghargaan dari BSN
Sedangkan fungsi pendamping desa, sambung Syaeful Bahar, untuk menjalankan fungsi pendampingan terutama administrasi dan program pendampingan desa. Karena itu, pendamping desa harus memiliki pengetahuan tentang kearifan lokal yang dimiliki desa tersebut.
“Konsep awal pendampingan desa untuk memberikan kesempatan kepada putra-putri daerah lokal untuk menjadi pendamping desa adalah konsep yang bagus. Tetapi ketika ada penempatan secara acak, akan menjadi pekerjaan tersendiri karena para pendamping desa tidak sekedar menjadi juru pendamping saja, tetapi juga harus menjadi partner dari desa atau kepala desa dan harus punya pola komunikasi yang baik,” ujar Syaeful Bahar kepada bangsaonline.com, Minggu (31/1)
Dicontohkan, pendamping desa asal Bondowoso harus mendampingi daerah di Madiun. Pasti mengalami banyak kendala seperti jarak, transportasi, akomodasi selama tinggal di daerah tugas. Selain itu, kesulitan lain akan tampak pada kultur dan bahasa yang menyebabkan sulitnya terjadi komunikasi yang baik.
Baca Juga: Pemprov Jatim Sabet Sertifikasi 13 Warisan Budaya Tak Benda Indonesia dari Kemenbud
“Nantinya akan menggangggu psikologis para pendamping yang ditempatkan jauh dari daerah asalnya. Para pendamping juga tidak akan bisa bekerja secara maksimal jika seperti ini dan akan sulit beradaptasi dengan kultur yang berbeda,” tambah pria yang saat ini tengah menulis disertasi di UNAIR Surabaya.
Sehingga kata Syaeful Bahar, para pendamping hanya bekerja karena ikatan kontrak saja. Jika saja para pendamping ditempatkan di daerah asalnya, bisa jadi para pendamping tidak hanya bekerja karena ikatan kontrak, tetapi secara emosional mereka seperti punya kewajiban untuk mensejahterakan dan mengembangkan daerah asalnya tersebut.
“Sebaiknya Pemprov melalui Bapemas harus menjelaskan mengapa kebijakan seperti ini bisa terjadi, dan juga Pemprov setidaknya bisa mendengar dan mempertimbangkan kritik-kritik yang ada di luaran tentang kebijakan penempatan secara acak,” pungkasnya
Baca Juga: Di Rakor GTRA Kanwil BPN Jatim, Adhy Karyono Optimistis Regulasi Baru Jadi Solusi Atasi Mafia Tanah
Kecamaman juga berasal dari Pendamping Desa asal Bondowoso, Fathorrasi yang menilai penempatan secara acak ini, jelas tidak mencerminkan undang-undang tentang desa. Selain itu, Bapemas Pemprov Jatim diinilai melenceng dari Permendesa No 3 pasal 24 e tentang penempatan Pendamping Desa, yang seharusnya penempatan tersebut disesuaikan dengan domisili dimana Pendamping Desa tersebut bertempat tinggal. Namun pihak Bapemas malah melakukan sistem acak dalam penempatan Pendamping Desa
"Bagaimana orang luar bisa memahami kearifan lokal desa yang memang tidak dikenalnya. Ini juga bisa mengurangi maksimalisasi kinerja pendamping karena ada jarak yang cukup jauh,” ujarnya dengan nada keras. (gik/rev)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News