IDI Tolak Jadi Eksekutor Kebiri, Mensos: Ini Bukan Memutus Rantai Keturunan

IDI Tolak Jadi Eksekutor Kebiri, Mensos: Ini Bukan Memutus Rantai Keturunan Menteri Sosial, Khofifah Indar Parawansa

JAKARTA, BANGSAONLINE.com - Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menolak menjadi eksekutor hukuman kimia bagi pelaku kejahatan seksual pada anak. Menanggapi hal itu, Staf Khusus Presiden bidang Komunikasi Johan Budi mengatakan, eksekusi tetap dapat dijalankan meski organisasi profesi tersebut menolak menjadi eksekutor.

"Kalau sudah putusan pengadilan, itu putusan hukum. Kan eksekusi tidak ke IDI sebagai organisasi profesi dong. Masa putusan itu hakim memerintahkan di bawa ke kantor IDI, kan tidak begitu," kata Johan pada warawan di Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa (31/5).

Baca Juga: Gus Ipul Tetap Jabat Mensos di Kabinet Merah Putih

Jika hakim memutuskan seorang terpidana harus menjalani hukuman berupa kimia, Johan mengatakan, pengadilan akan menunjuk eksekutor. Namun demikian, Johan sendiri mengaku belum tahu akan seperti apa pelaksanaan teknis .

Seperti diketahui, pemerintah menambahkan kimia sebagai salah satu hukuman tambahan bagi pelaku kejahatan seksual pada anak. Hukuman tersebut diatur dalam peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 yang menjadi pelengkap UU Perlindungan Anak.

Secara umum, Perppu Nomor 1 Tahun 2016 mengatur pemberatan hukuman bagi pelaku kejahatan asusila, yakni penambahan ancaman pidana menjadi paling lama 20 tahun, pidana seumur hidup, dan hukuman mati. Adapun hukuman tambahan lainnya berupa pengumuman identitas pelaku, kimia dan pemasangan alat deteksi elektronik.

Baca Juga: Aktif Tanggulangi Kemiskinan di Jatim, Pj Gubernur dan Mensos Apresiasi Kerja Pilar Kessos

Presiden Jokowi menyebut, kehadiran pasal-pasal dalam Perppu tersebut akan memberi ruang bagi hakim untuk memberikan hukuman seberat-beratnya bagi pelaku kejahatan seksual pada anak.

"Kita berharap dengan hadirnya Perppu ini bisa menimbulkan efek jera bagi pelaku serta dapat menekan angka kejahatan seksual pada anak," ujar Presiden.

Sebelumnya, istana juga membantah keras jika Perppu Perlindungan Anak atau lebih dikenal Perppu Kebiri yang dikeluarkan pemerintah dinilai kurang memperhatikan dari sisi korban.

Baca Juga: Risma Menangis Ketika Dengar Lansia 90 Tahun di Magetan Tak Terima Bansos

"Ada di UU perlindugan, kepada korban. Saya bantah, bahwa perhatian pada korban juga ada,"ujar Juru Bicara Presiden Johan Budi SP di Kantor Presiden, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Selasa (31/5).

Johan menjelaskan, Perppu yang dikeluarkan pemerintah ditujukan untuk memperkuat UU yang berkenaan dengan tindak kekerasan terhadap anak. Ditegaskan Johan, dalam Perppu itu juga dibicarakan soal perlindungan dan pendampingan bagi korban.

"Gini lho, Perppu itu melengkapi UU. Kalau ini juga sama. Perppu bagian dari revisi sebenarnya. Nanti kan di DPR juga. Presiden concern juga pada korban. Kan di awal juga disampaikan, selain pemberatan hukuman pada pelaku juga pada korban (diberikan) apakah perlidungan, pendampingan, gitu lah," jelas Johan.

Baca Juga: Mensos Risma Tinjau Bakti Sosial Operasi Katarak di RSUD Kanjuruhan

Sementara itu, terkait dengan adanya pihak yang tak setuju dengan Perppu ini dan hendak melaporkan Presiden Jokowi ke Ombudsman, menurut Johan itu sah-sah saja.

"Ya silakan saja, kan tidak bisa melarang orang, pelapor ya silakan saja," kata Johan.

Sedangkan Khofifah Indar Parawansa angkat bicara soal Perppu Perlindungan Anak yang telah diteken Presiden Jokowi. menjelaskan sanksi tambahan berupa kimiawi tidak melanggar syariah agama.

Baca Juga: Mensos Mendadak Kunjungi Balita Penderita Hidrosefalus di Sampang

"Itu bukan Perppu Kebiri, namanya Perppu Perlindungan Anak. Ini revisi kedua, yang direvisi pasal 81 dan 82, ini terkait dengan pemberatan hukuman dan tambahan hukuman sampai seumur hidup bahkan hukuman mati," kata mengawali paparannya soal Perppu Perlindungan Anak, dalam kunjungan ke kantor detikcom di Jl Warung Buncit, Jakarta Selatan, Selasa (31/5).

melanjutkan, kalau pelakunya orang dekat, seperti orang tua, kerabat, wali, guru, dan aparat hukumannya bisa ditambah sepertiganya. Misalnya 15 tahun ditambah sepertiganya jadi bisa 20 tahun.

"Kalau penganiayaan mengakibatkan trauma mendalam bisa pemberatan hukuman seumur hidup sampai hukuman mati," kata .

Baca Juga: Mensos Hadiri Pelaksanaan Operasi Katarak Gratis di RSUD SLG Kabupaten Kediri

Ada tambahan hukuman bagi paedofil yang korbannya banyak. Maka setelah menjalani hukuman pokok bisa diberi hukuman tambahan publikasi identitas pelaku, sampai dengan zat kimia selama dua tahun setelah menjalani hukuman pokok. Yang ketiga adalah penanaman alat deteksi elektronik yang disebut cip. Di Perppu juga ditegaskan bahwa korban harus direhabilitasi.

"Kebiri kimia selama dua tahun setelah menjalani hukuman pokok. Saya sudah jelaskan di MUI, jadi ini bukan memutus mata rantai keturunan. Kalau ini untuk dua tahun kenapa, kita lihat seperti terapi supaya dia tidak menimbulkan korban baru setelah keluar penjara. Kedua, deteksi elektronik berupa cip supaya kelihatan dia ini paedofil, misal dia ke CFD kemudian ada bunyi klinting-klinting-klinting," kata Khofifah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Lihat juga video 'Marah Lagi! Mensos Risma Bentak-Bentak Pendamping PKH, ini Tanggapan Gubernur Gorontalo':


Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO