Oleh: Dr. KHA Musta'in Syafi'ie MAg. . .
BANGSAONLINE.com - Sudah menjadi tradisi umat islam melakukan perayaan hari Raya Idul Fitri setelah sebulan penuh manjalankan ibadah puasa Ramadhan. Pada tanggal satu syawal itu puasa berakhir dan pagi hari kita menjalankan shalat idul fitri secara berjamaah, boleh di masjid, boleh di hall, di jalan raya maupun di lapangan terbuka. Soal tempat bukanlah masalah karena teknik belaka. Kadang di antara kita terlalu alay dan cengeng, sehingga harus serba berdalil al-Hadis. Lalu mengutuk orang lain yang tidak sepafam dengannya.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty
Dua kali Nabi shalat id di masjid dan selebihnya di shahra', tempat terbuka atau tanah lapang. Sekarang, penduduk asli Madinah yang mewarisi sunnah Nabi secara turun-temurun saja tidak ada yang shalat di lapangan, semuanya di masjid, utamanya masjid Nabawi. Perkara jamaahnya meluber hingga ke jalan-jalan, itu soal ekses dan imbas. Yang penting sentral ibadah ada di kendalikan di dalam masjid.
Moment Idul Fitri tahun ini, 1437 H. benar-benar membuat dunia tercengang karena di negara-negara Barat yang notabenenya non muslim ternyata pada jamaah shalat idul fitri membludak di luar dugaan. Di Jerman, Korea, Tiongkok, Belgia, Amerika bahkan di New York shalat idul fitri harus di shift beberapa kali dalam satu tempat. Hal itu karena pertumbuhan umat islam di sana sangat pesat sementara masjid tidak mampu menampung jamaah yang datang serempak dan bersamaan.
Dalam islam ada dua Id (hari raya), yakni: Idul Fitri dan Idul Adha. Umumnya ilmuwan negeri ini memaknai kata "id" dengan "kembali" dan kata "Fitri" berarti "fitrah, kesucian, asal kejadian", sehingga idul fitri bermaknakan kembali ke kondisi fitrah, bersih tanpa noda dan dosa seperti bayi yang baru dilahirkan. Benarkah pemaknaan macam itu?.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia
Jika "id" diartikan kembali, lalu idul adha artinya apa?. Harusnya : "kembali ke sembelihan", karena Adha artinya sembelih, identik dengan kata nahr, menyembelih hewan. Selanjutnya kerancuan terjadi, di mana para penceramah serius sekali dan bisa berpanjanglebar memaknai idul fitri sebagai kembali ke fitrah, tapi makna tiba-tiba hilang dan tidak dipakai "sama sekali" ketika mereka membicarakan idul adha. Ya, karena mereka tidak menemukan korelasi yang pas seperti pamaknaan pada idul fitri. Berikut ini ulasannya:
Pertama, "id" adalah kata jamid, sebuah nama yang tidak berasal dari kata musytaq manapun, artinya "Hari Raya". Hari besar yang punya arti momunental, bersejarah, berkebesaran dan perlu dirayakan sebagai kebanggaan dan kemenangan. Misalnya, hari kemerdekaan, hari perhikahan dan lain-lain. Kata "Id" bermakna hari raya, perayaan ini ditera dalam al-Qur'an, "Takun lana ida li awwalina wa akhrina" (al-Maidah:114).
Ayat ini membicarakan kebawelan Bani Israil yang mendesak nabi Isa A.S. agar meminta kepada Tuhan seperangkat makanan lezat (maidah) yang turun langsung dari langit. Nabi Isa A.S. menuruti dengan alasan "bahwa maidah itu akan dijadikan pesta hari raya". Jelas sekali, pada ayat ini kata "Id " ada korelasinya dengan kata "maidah", yaitu pesta makan besar di hari raya.
Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana
Sedangkan kata "fithr" (fitri) berarti makan pagi atau sarapan. Semua yang serumpun dengan fi'il madli "fa tha ra" berarti tindakan awal, yang pertama atau kondisi alami. Kata "fathara al-sha'im", artinya orang yang puasa itu telah berbuka. Disebut "fathar" karena pertama kali makan setelah seharian tidak makan. Boleh dipakai wazan "af'ala", jadinya: "afthara al-sha'im", si pelaku puasa itu membatalkan diri dengan makan. Jika obyeknya adalah "sha'im", seperti Hadis "man afthara sha'ima", artinya "memberi makan buka puasa kepada orang yang berpuasa".
Dengan demikian, sesungguhnya arti "idul fitri " itu lebih berorientasi pada persoalan pesta sarapan atau hari raya makan pagi, di mana hari tersebut perlu dirayakan setelah satu bulan penuh tidak makan pagi.
Kedua, kata "id" adalah musytaq, berbentuk masdar dan berumpun dengan kata " 'ada - ya'ud", artinya kembali atau berulang. Dalam disiplin ilmu sharaf, kata "'ada" adalah berbina' ajwaf wawy, yang mana bentuk mudhara'ahnya harus berbunyi "ya'udu" dengan konsekuensi masdar " 'awd " (bukan: id). Bisanya menjadi "id" setelah upaya rekayasa huruf. Asalnya " 'iwd", kemudian huruf "waw" yang jatuh setelah harakat karsah disesuaikan dan diganti "ya". Jadinya, "id". Kini, kata "id" berarti kembali dan berulang. Ya, karena hari itu kembali berulang setiap tahun.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok
Jika makna ini digandeng dengan kata "fitri" yang artinya makan pagi atau sarapan, maka maknanya adalah hari makan pagi kembali, di mana sebulan yang lalu tidak diperbolehkan. Itulah, maka hari itu diharamkan berpuasa, karena Tuhan menyediakan pesta besar. Hari itu Tuhan menyambut hamba-hambaNya yang telah mematuhi perintah-Nya dengan mengadakan pesta makan pagi yang selanjutnya disebut "yaum al-dhiyafah" atau Hari suguh tamu. Berpuasa pada Hari idul Fitri ibarat tamu yang tidak mau mencicipi hidangan tuan rumah yang sudah disuguhkan dan sudah dipersilakan. Itu tamu sombong dan pongah, lebih-lebih tuan rumahnya adalah Allah SWT.
Kok bisa "fitri" (makan) menjadi makna "fitrah" (kejadian awal, bersih dan suci)?. Hal itu karena mempertimbangkan banyak hal, antara lain :
Pertama, agar tidak terperosok ke nafsu perut seperti orang Yahudi. Pendekatan historisitas, diriwayatkan bahwa orang Yahudi punya tradisi berpesta makan yang disebut "id al-fathir". Hari itu mereka berhura-hura dengan makan-makan besar sekenyangnya, bebas bersama kekasih maupun istri orang lain, tapi tidak boleh terjadi yang lebih jauh seperti berciuman apalagi senggama. Acara itu murni umbar nafsu dan bukan acara keagamaan. Di sebagian negara ada pesta macam itu, termasuk pesta tomat, pesta kue dan sebagainya.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata
Kedua, diseret ke makna yang lebih hakiki. Tidak berorientasi pada pada makna makan dan pesta sarapan pagi, melainkan kepada hakekat fitrah itu sendiri, yakni kejadian awal atau kondisi suci seperti sedia kala. Pengarahan makna ini berdasar al-Hadis bahwa orang yang berpuasa ramadhan dengan penuh ketulusan akan diampuni dosanya, bersih bagai bayi baru lahir. Hadis ini kemudian dikokohkan menjadi dasar makna "idul fitri" sebagai kembali ke fitrah atau kesucian. Kepatuhan berpuasa karena Allah plus kepatuhan makan pagi juga karena Allah inilah yang membuat Tuhan sangat sayang, lalu mengampuni segala dosa hingga bersih seperti bayi yang baru lahir.
Jadi, makna terakhir seperti yang biasa kita fahami ini sungguh makna modifikasi yang sangat cerdas, substansial dan lebih mendalam. Inilah makna filosufis yang spektakuler melampaui makna filologisnya. Para ulama dulu sungguh hebat dan mampu menggeser makna yang biasa menjadi makna luar biasa, mengubah kelezatan jasmani menjadi kelezatan ruhani.
Kini tiba saatnya memaknai "idul adha". Rasanya, kata id pada al-adha ini lebih pas dimaknai persis kelazimannya, yakni Hari Raya, hari berpesta, hari makan besar dengan menyembelih hewan ternak. Pada pesta ini Tuhan memerintahkan umat islam yang berkecukupan berbagi makanan berkualitas untuk semua makhluq tanpa diskriminitas.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman
Beberapa ulama tidak membolehkan daging korban di tanah haram diberikan ke negara lain meskipun di sana lebih membeutuhkan. Hal itu karena pesta Idul Adha adalah pesta universal bagi seluruh makhluq tanah Haram. Tidak sebatas manusia, melainkan juga dari kalangan jin, srigala, burung, semut dan serangga lain. Semua itu adalah makhluq-Nya dan Tuhan telah menyediakan pesta untuk mereka setahun sekali. Andai tak habis atau tak sempat, maka diberikan tenggang waktu tiga hari ke depan yang disebut hari-hari tasyriq. Para hamba disilakan menjemur daging itu agar awet untuk cadangan di hari-hari selanjutnya.
Surah al-Kautsar adalah surah pendek yang mengkover persoalan idul adha ini dengan menunjuk shalat id (fa shalli lirabbik) dan menyembelih hewan ternak (wa inhar). Makanan berkualitas adalah lauk pauk berupa daging, daging unta, sapi atau kambing. Unta adalah harta orang arab yang dibanggakan. Pada surah ini diperintahkan untuk disembelih dan dagingnya dibagi-bagikan sebagai pesta rakyat tanpa sekat dan batas.
Perpsektif munasabah bain al-suwar, surah al-Kautsar ini bagaikan countereffect terhadap surah sebelumnya, yakni al-Ma'un, di mana orang-orang kafir pada super pelit, hingga tidak mau meminjamkan perkakas rumah (al-ma'un) kepada tetangganya yang membutuhkan. al-Kautsar turun memerintahkan manusia berbagi dan berkorban untuk semua. Jadi tidak machting bila kata "id" di sini diberi makna kembali, kecuali dipaksakan. Seperti, watak asli manusia itu sosial, tapi karena terpuruk nafsu, maka menjadi bakhil. Makanya harus kembali sosial lagi dan berkorban. "idul adha".
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Memetik Hikmah dari Kepemimpinan Nabi Daud dan Nabi Sulaiman
Ada tiga nama bagi hari raya id al-adha ini, selain al-adha di atas adalah "yaum al-nahr". Nahr artinya menyembelih hewan yang kemudian ditafsir meluas menjadi menyembelih hawa nafsu kebinatangan kita sendiri. Dalam kontek ini, hewan adalah simbol nafsu yang perlu disembelih. Dan ketiga, id al-Qurban. Kembali derdekat-dekat dengan Tuhan.
al-Hajj:37 menunjuk bahwa Tuhan tidak butuh daging, melainkan menggagas ketaqwaan hamba-Nya. Dari sini, diharap seorang mukmin yang berkorban bisa kembali mendekat Tuhan seperti dulu mereka lahir karena sentuhan Tuhan. Manusia menjadi terpental dari hadapan Tuhan karena purukan nafsu, dosa dan kemaksiatan. Lalu nafsu itu kini disembelih dan ketaqwaan muncul membalut diri sehingga dekat kembali dengan-Nya, mendekat dan mendekat, mendekat dan semakin dekat, lalu sangat dekat. Itulah idul al-qurban.
Apapun maknanya, yang terpenting hari ini bersimpuh, moga ibadah diterima dan dosa diampuni. Taqabbal Allah minna wa minkum al-shiyam wa al-qiyam. wa ja'alana min al-'aidin al-faizin. Mohon ampunan atas segala kesalahan.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Keputusan Bijak untuk Sengketa Peternak Kambing Vs Petani
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News